BUDAYA MEMINTA MAAF DALAM KEPEMIMPINAN: Refleksi Keteladanan Rasulullah SAW

Oleh: Munawir Kamaluddin, Guru Besar UIN Alaudin, Makassar
Adakah kita berani bertanya dengan jujur, apakah keberanian seorang pemimpin untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf merupakan tanda kelemahan, atau justru kekuatan moral yang dapat merajut kembali kepercayaan rakyat, sebagaimana kelembutan hati Rasulullah SAW. yang selalu menjadi penyejuk bagi umatnya?
Jika ucapan atau sikap pemimpin tanpa sengaja melukai rakyat, sejauh mana tanggung jawab itu harus dipikul? Cukupkah dengan kata maaf yang dibacakan secara formal, ataukah harus diwujudkan dalam tindakan nyata yang menenangkan hati dan memperbaiki keadaan?
Dalam menghadapi gejolak sosial, bagaimana bangsa ini menjaga keseimbangan antara hak rakyat menuntut keadilan dan kewajiban menjaga ketenteraman, agar amarah tidak menjelma menjadi kekacauan, seraya meneladani Rasulullah SAW. yang mampu memadamkan dendam dengan kasih sayang?
Dan bila permintaan maaf telah disampaikan namun keresahan tetap menyelimuti masyarakat, mungkinkah yang perlu dipulihkan bukan sekadar kata-kata, melainkan juga ikatan kepercayaan dan kedekatan hati antara pemimpin dan rakyatnya?
Di tengah peringatan Maulid Nabi SAW. tidakkah kita seharusnya berani menuntut agar budaya meminta maaf dalam kepemimpinan tidak berhenti sebagai simbol belaka, tetapi menjelma menjadi teladan nyata yang menghadirkan keadilan, transparansi, dan kepedulian bagi seluruh umat?
Pertanyaan-pertanyaan reflektif ini menjadi semakin relevan ketika kita menatap realitas kebangsaan.
Baru-baru ini, negeri kita kembali diguncang tragedi, tewasnya Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek daring, di tengah demonstrasi yang ricuh, menyulut amarah publik dan menyebar laksana api di padang kering.
Gelombang solidaritas yang awalnya damai pun berubah menjadi amukan massa, vandalisme, bahkan pembakaran fasilitas umum.
Di saat bersamaan, pernyataan seorang Menteri tentang profesi guru yang kemudian dimodifikasi dan dibesar-besarkan media menimbulkan kontroversi luas, hingga akhirnya ia menyampaikan permintaan maaf secara resmi.
Dua peristiwa ini membuka mata kita betapa besar kuasa kata, betapa tajam dampak kebijakan, dan betapa mendesaknya budaya meminta maaf untuk meredam gejolak sosial.
Al-Qur’an telah lama mengajarkan bahwa pintu pengampunan selalu terbuka. Allah berfirman:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah: Wahai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)
Ayat ini bukan hanya janji langit untuk hamba, tetapi juga teladan bagi pemimpin, bahwa mengakui salah dan memohon maaf bukanlah tanda kelemahan, melainkan jalan menuju rahmat dan kemuliaan. Rasulullah SAW. pun bersabda:
«مَنْ لَا يَرْحَمِ النَّاسَ لَا يُرْحَمُ»
“Barangsiapa tidak menyayangi manusia, maka ia tidak akan disayangi (oleh Allah).”
Dan beliau menambahkan dalam hadis lain:
«مَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ»
“Tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim)
Inilah fondasi budaya meminta maaf dalam kepemimpinan: kerendahan hati yang justru meninggikan martabat.
Namun, realitas kita hari ini kerap berlawanan. Banyak elit bangsa, di eksekutif, legislatif, yudikatif, hingga partai politik dan ormas, lebih mendahulukan kepentingan personal ketimbang kepentingan kolektif.
Permintaan maaf yang seharusnya menjadi jembatan rekonsiliasi, seringkali berubah menjadi sekadar ritual basa-basi untuk menjaga citra.
Kata “maaf” hadir di panggung media, tetapi tanpa langkah konkret memperbaiki kerusakan.
Ego politik, kalkulasi elektoral, dan kekhawatiran dianggap lemah membuat para pemimpin lebih suka berdalih ketimbang berbenah.
Inilah wajah krisis budaya maaf kita, defensif, formalistik, dan jauh dari ruh empati.
Akibatnya, rakyat yang terluka justru semakin kehilangan kepercayaan, dan ruang publik menjadi rentan terhadap letupan amarah yang menjelma anarkisme.
Vandalisme dalam kerumunan bukan muncul dari ruang kosong, ia lahir dari de-individuasi, dari rasa kehilangan, dari provokasi, dan dari ketidakadilan struktural yang lama dipendam.
Ketika rakyat merasa suara mereka tak didengar, mereka berteriak dengan cara yang destruktif.
Tetapi tentu, tindakan kriminal ini tak bisa dibenarkan. Amarah massa hanya bisa dihentikan bila pemimpin hadir bukan sebagai penguasa yang arogan, melainkan sebagai penyejuk yang berani mengakui salah, meminta maaf, dan memperbaiki.
Budaya meminta maaf sejatinya adalah budaya akhlak. Ia lahir dari kesadaran bahwa manusia adalah makhluk lemah yang tak luput dari salah, termasuk pemimpin.
Bedanya, kesalahan pemimpin memiliki dampak kolektif; maka permintaan maaf pemimpin harus hadir bukan hanya dengan kata, tetapi dengan tindakan nyata.
Bentuk konkrit dari tindakan nyata adalah dengan investigasi yang transparan, sanksi yang adil, kompensasi yang layak, dan kebijakan korektif yang berpihak pada rakyat.
Di sinilah letak teladan Rasulullah SAW. Beliau tidak pernah segan untuk menyampaikan maaf bila ada yang tersinggung, bahkan kepada non-Muslim.
Dengan kerendahan hati itu, beliau mampu menaklukkan hati manusia, bukan dengan pedang, melainkan dengan kelembutan.
Maka, momentum Maulid Nabi tahun 1446 H ini seharusnya kita maknai bukan hanya dengan lantunan shalawat, tetapi juga dengan meneguhkan budaya maaf dalam kepemimpinan.
Pemimpin negeri ini, dari presiden hingga pejabat publik, dari politisi hingga aparat keamanan, harus belajar berkata “maaf” dengan tulus, dan rakyat harus belajar menuntut tanggung jawab dengan akhlak.
Sebab, bangsa ini tidak butuh pemimpin yang sempurna, tetapi pemimpin yang berani jujur pada kekhilafannya.
Akhirnya, marilah kita berdoa dengan doa yang diajarkan Allahdalam al-qur’an
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan hidup dan keturunan sebagai penyejuk hati kami, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: 74)
Semoga doa ini menjadi cahaya yang membimbing bangsa kita: agar lahir pemimpin yang rendah hati, berani meminta maaf, dan tulus memperbaiki, agar rakyat pun belajar memaafkan tanpa kehilangan akal sehat untuk tetap menuntut keadilan.
#Wallahu A’lam Bis-Sawab🙏