Desak Akses Kerja yang Inklusif, Netty: 70% Penyandang Disabilitas Masih Bekerja di Sektor Informal
JAKARTA — Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani Aher, menegaskan pentingnya percepatan implementasi kebijakan negara yang berpihak pada penyandang disabilitas. Pernyataan ini disampaikan dalam momentum Hari Disabilitas Internasional, dengan menyoroti berbagai kesenjangan yang masih dialami kelompok disabilitas di Indonesia.
Menurut Netty, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai sekitar 8,5 persen populasi, atau setara dengan lebih dari 22 juta jiwa. Dengan angka sebesar itu, isu disabilitas seharusnya menjadi agenda strategis dalam seluruh pembangunan nasional.
“Ketika kita bicara disabilitas, ini bukan isu kecil. Dua puluh dua juta lebih masyarakat kita membutuhkan layanan kesehatan, pendidikan, dan akses publik yang setara. Ini pekerjaan besar yang harus kita lakukan bersama,” ujar Netty yang juga ketua DPP PKS Bidang Pembinaan Masyarakat Rentan dan Disabilitas, Rabu (3/12).
Netty mengungkapkan bahwa penyandang disabilitas masih menghadapi ketimpangan serius dalam akses pendidikan. Rata-rata lama sekolah penyandang disabilitas baru mencapai 7,57 tahun, dan 20–25 persen dari mereka bahkan tidak pernah bersekolah.
Adapun akses ke perguruan tinggi masih sangat rendah, berada di bawah 3 persen.
“Selama akses pendidikan belum setara, mustahil kita berharap penyandang disabilitas bisa bersaing di pasar kerja. Ini persoalan struktural yang harus segera dibenahi,” tegasnya.
“Tingkat partisipasi kerja penyandang disabilitas di Indonesia juga rendah yakni baru mencapai 23 persen. Dari jumlah itu, sekitar 70 persen bekerja di sektor informal yang rentan dan tidak terlindungi. Lapangan kerja inklusif harus diperluas. Kita tidak bisa membiarkan penyandang disabilitas terus terpinggirkan dari dunia kerja formal,” kata Netty.
Selain hambatan struktural, kata Netty, penyandang disabilitas masih menghadapi persoalan sosial yang berat, mulai dari stigma hingga kekerasan.
“Disabilitas dianggap aib, bahkan ada keluarga yang menyembunyikan atau memasung anak disabilitas. Kekerasan psikis menempati angka tertinggi, yakni 37 persen. Kekerasan fisik mencapai 22 persen, disusul kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi,” katanya.
“Stigma sosial ini sangat menyakitkan. Penyandang disabilitas bukan kutukan, bukan aib. Mereka sama seperti kita semua, manusia yang punya hak, martabat, dan potensi,” ujar Netty.
Netty mengingatkan pentingnya memastikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas benar-benar diterapkan.
“Regulasi sudah ada, namun implementasinya belum optimal. Pemerintah pusat dan daerah harus memperkuat layanan, anggaran, dan program inklusif agar hak-hak disabilitas terpenuhi,” ujarnya.
