EFEKTIFITAS KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN PEMULIHAN UMKM: Antara Retorika dan Realita

 EFEKTIFITAS KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN PEMULIHAN UMKM: Antara Retorika dan Realita

Oleh: Munawir Kamaluddin, Guru Besar UIN Alaudin, Makassar

Pernahkah kita bertanya dalam hening yang jujur , mengapa suara UMKM selalu menjadi nyanyian manis di bibir kekuasaan, namun sering kali tak sampai pada telinga kebijakan yang benar-benar menyembuhkan luka ekonomi rakyat kecil?

Apakah kebijakan yang digembar-gemborkan dengan slogan pemulihan dan keberpihakan benar-benar menyentuh akar penderitaan mereka yang bertahan di ujung realitas?

Ataukah semuanya hanya berhenti pada kata “dukungan” yang indah di podium, namun rapuh di lapangan kehidupan?

Pertanyaan-pertanyaan ini tidak lahir dari kecurigaan, tetapi dari kerinduan, kerinduan akan kehadiran kebijakan yang tidak hanya menenangkan telinga rakyat, tetapi menenteramkan perut, menegakkan martabat, dan menghidupkan asa di tengah gelombang ketidakpastian ekonomi.

Negeri ini menyaksikan jutaan pelaku UMKM yang bagai denyut nadi ekonomi bangsa, mereka berdiri di pasar-pasar tradisional, di warung kecil di pinggir jalan, di bengkel sederhana di sudut kota, di ladang-ladang yang menggantungkan hidup pada cuaca dan keajaiban semesta.

Mereka bukan sekadar penggerak ekonomi, tetapi penjaga rasa kemanusiaan, yang tetap berusaha meski dikepung oleh harga bahan baku yang naik, modal yang sulit dijangkau, dan kebijakan yang sering lebih sibuk membuat laporan daripada mendengarkan napas rakyat kecil.

Ketika pemerintah meluncurkan program pemulihan ekonomi pasca pandemi, UMKM dijanjikan menjadi prioritas.

Bantuan modal, pelatihan digital, akses pembiayaan, dan pendampingan disebut-sebut akan menjadi suluh penerang jalan keluar dari keterpurukan.

Namun di lapangan, terlalu sering yang datang lebih dahulu adalah birokrasi,bukan solusi.

Rakyat diminta mengisi formulir, menunggu validasi data, mengikuti tahapan yang panjang, sementara dapur mereka menunggu bahan makanan untuk dimasak. Di sinilah jurang antara retorika dan realita tampak semakin dalam.

Dalam pandangan Islam, kebijakan publik sejatinya adalah amanah besar yang harus ditegakkan di atas nilai keadilan. Allah SWT. berfirman dalam Surah An-Nisa’ ayat 58:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.” (QS. An-Nisa’: 58)

Ayat ini seolah menegur lembut setiap pemegang kuasa, janganlah kebijakan hanya berhenti pada administrasi, tetapi hadir sebagai wujud kasih terhadap mereka yang menunggu uluran tangan keadilan.

Keadilan dalam Islam bukanlah sekadar pembagian angka dan anggaran, tetapi kesetaraan rasa, kehadiran empati, dan tanggung jawab moral untuk tidak menutup mata pada yang lemah.

Rasulullah SAW. pernah bersabda:
اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا، فَشَقَّ عَلَيْهِمْ، فَاشْقُقْ عَلَيْهِ، وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا، فَرَفَقَ بِهِمْ، فَارْفُقْ بِهِ
“Ya Allah, siapa pun yang mengurus urusan umatku lalu ia mempersulit mereka, maka persulitlah ia; dan siapa pun yang mengurus urusan umatku lalu ia berlemah lembut kepada mereka, maka berlemah lembutlah Engkau kepadanya.” (HR. Muslim)

Hadits ini mengguncang nurani setiap pembuat kebijakan: bahwa kekuasaan bukanlah kehormatan, melainkan beban yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.

Setiap kebijakan yang tidak menyentuh realita, sejatinya adalah bentuk kelemahan spiritual dalam memaknai tanggung jawab sosial.

Jika kita menelusuri pandangan para ulama klasik, Umar bin Khattab ra. pernah berkata:
“لو أن بغلة عثرت في العراق لسألني الله عنها، لِمَ لَمْ تُسَوِّ لها الطريق يا عمر؟”
“Seandainya seekor keledai tersandung di Irak, niscaya Allah akan menanyai aku, mengapa engkau tidak memperbaiki jalan untuknya, wahai Umar?”

Kata-kata ini bukan sekadar metafora politik, melainkan simbol kepekaan seorang pemimpin terhadap penderitaan makhluk sekecil apa pun di bawah kepemimpinannya.

Maka, bagaimana dengan ribuan pelaku UMKM yang tersandung oleh kebijakan yang tidak berpihak, oleh mekanisme bantuan yang tak tepat sasaran, oleh program pelatihan yang hanya berujung pada sertifikat tanpa manfaat?

Namun di balik kritik, selalu ada harapan. Dalam setiap kebijakan yang tersesat, masih ada ruang untuk perbaikan.

Dalam setiap retorika yang kosong, masih mungkin disuntikkan ruh keikhlasan. Pemerintah perlu menata ulang orientasi kebijakannya, bukan semata-mata untuk menampilkan angka pertumbuhan ekonomi, tetapi untuk menumbuhkan keberdayaan manusia.

Kebijakan yang efektif adalah kebijakan yang menghidupkan, bukan sekadar menghitung. Ia harus berpijak pada tiga hal: keberpihakan nyata kepada yang lemah, kemudahan akses yang merata, dan kesinambungan dampak yang terukur.

Program digitalisasi UMKM, misalnya, tidak akan berarti tanpa literasi digital yang mendalam.

Bantuan modal tidak akan membuahkan hasil jika tidak disertai pembinaan yang berkelanjutan. Dan pendampingan tidak akan bermakna jika hanya datang pada saat peresmian program.

Islam sendiri mengajarkan keseimbangan antara kebijakan duniawi dan orientasi ukhrawi. Dalam Surah Al-Hasyr ayat 7, Allah SWT. menegaskan:
كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنكُمْ
“Agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”

Ayat ini adalah seruan abadi bagi setiap negara: bahwa ekonomi tidak boleh dikuasai oleh segelintir elit, sementara jutaan rakyat kecil berjuang sendiri menahan lapar di tengah derasnya arus kompetisi global.

Pemulihan UMKM harus menjadi gerakan moral nasional, bukan sekadar proyek ekonomi.

Sesungguhnya, bangsa ini tidak kekurangan potensi, tetapi sering kehilangan kejujuran dalam mengeksekusi niat baik.

Retorika kebijakan hanyalah bayangan dari kebenaran, sementara realita adalah cermin yang tidak bisa ditipu.

Bila pemerintah ingin benar-benar menegakkan keadilan ekonomi, maka ia harus belajar dari keikhlasan seorang pedagang kecil yang tetap jujur meski untungnya tipis, dari petani yang tetap menanam meski hasilnya tak pasti, dan dari pengrajin yang terus berkarya meski tangannya lelah.

Akhirnya, efektivitas kebijakan pemulihan UMKM tidak diukur dari seberapa banyak program diluncurkan, tetapi seberapa banyak hati rakyat yang disembuhkan olehnya.

Retorika mungkin bisa membangun citra, tetapi hanya keikhlasan dan keadilan yang dapat membangun bangsa.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: «خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ»
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad)

Maka hendaklah setiap kebijakan publik lahir dari semangat kemanusiaan, bukan kepentingan kekuasaan.

Sebab ketika kebijakan menjadi ladang ibadah, bukan arena pencitraan, di sanalah ekonomi akan pulih, dan martabat bangsa akan tegak kembali.

Apakah kita siap berhenti sekadar berbicara, dan mulai benar-benar mendengar suara kecil dari kios, ladang, bengkel, dan pasar rakyat itu?

Karena di sanalah, dalam kejujuran dan kesederhanaan mereka terletak masa depan ekonomi bangsa yang sesungguhnya.

Pada akhirnya, pembahasan tentang “Efektivitas Kebijakan Pemerintah dalam Pemulihan UMKM: Antara Retorika dan Realita” bukan sekadar refleksi ekonomi, melainkan juga cermin nurani bangsa.

UMKM bukan hanya sektor usaha, melainkan denyut kehidupan sosial, budaya, dan spiritual masyarakat Indonesia.

Mereka adalah wajah keikhlasan yang tetap tersenyum di tengah badai, pelaku ekonomi sejati yang menegakkan nilai kerja keras, kejujuran, dan ketahanan moral yang tak lekang oleh waktu.

Kebijakan pemerintah akan kehilangan maknanya bila berhenti pada tataran retorika, tanpa menembus realitas yang hidup di lapangan.

Karena sesungguhnya, efektivitas kebijakan tidak diukur dari indahnya naskah pidato atau tebalnya laporan keberhasilan, melainkan dari seberapa besar kebijakan itu mampu menenangkan keresahan rakyat, membuka pintu keadilan ekonomi, dan memulihkan martabat mereka yang lama terpinggirkan.

Allah SWT. berfirman dalam Surah Al-Ma’un ayat 1–3:
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ ۝ فَذَٰلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ ۝ وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin.”

Ayat ini menegaskan bahwa iman yang sejati tidak berhenti di lidah, tetapi hidup dalam kepedulian sosial.

Kebijakan publik yang tidak berpihak kepada yang lemah sejatinya adalah bentuk pendustaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang diajarkan oleh agama.

Maka sudah saatnya pemerintah dan seluruh elemen bangsa menata ulang kesadaran kolektifnya. Pemulihan UMKM tidak cukup dengan program, tetapi dengan empati yang jujur dan visi keberpihakan yang berkelanjutan.

Negara harus hadir bukan sebagai pengatur yang jauh, melainkan sebagai pelindung yang dekat, bukan sebagai pengamat yang dingin, melainkan sebagai sahabat yang ikut menanggung beban rakyatnya.
Sebagaimana pesan Umar bin Abdul Aziz rahimahullah:

“إِنَّ الْعَدْلَ أَفْضَلُ مِنَ السِّیَاسَةِ”
“Sesungguhnya keadilan lebih mulia daripada sekadar kebijakan.”

Keadilanlah yang menghidupkan kebijakan, bukan sebaliknya. Retorika yang indah akan sirna, tetapi keadilan yang nyata akan dikenang oleh rakyat sepanjang zaman.

Karena itu, mari kita bangun kebijakan pemulihan UMKM yang tidak sekadar menjadi gema janji, tetapi menjadi napas kehidupan baru bagi ekonomi rakyat.

Mari kita satukan niat, ilmu, dan iman untuk menegakkan kembali ruh keadilan ekonomi, sebagaimana pesan Rasulullah SAW.:
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ، يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Seorang mukmin bagi mukmin lainnya bagaikan satu bangunan, yang saling menguatkan satu sama lain.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jika kebijakan menjadi bangunan yang saling menguatkan antara rakyat dan pemerintah, antara kekuasaan dan nurani, maka dari tangan-tangan UMKM itulah akan tumbuh peradaban ekonomi yang berkeadilan, berakhlak, dan penuh keberkahan.

Dan pada titik itulah, bangsa ini akan menemukan kembali makna sejati dari kata “pemulihan”, bukan sekadar pulih secara ekonomi, tetapi juga pulih secara moral, spiritual, dan kemanusiaan.

#Wallahu ‘Alam Bis-Shawab

Facebook Comments Box