Esensi Makna dan Moderasi Beragama dalam Haji

Oleh: Muhammad bin Muh Said, Pembina Majelis Dzikir RI 1 & Guru Besar Ekonomi Islam FEB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Haji merupakan salah satu pilar memainkan peran penting sebagaimana pilar-pilar Islam lain. Haji menjadi ibadah yang memantik rasa kaum Muslim untuk menunaikannya guna komprehensivitas ke-Islam-an mereka.
Karena itu, berbagai upaya terus diperjuangkan kaum Muslimin untuk dapat menunaikannya. Ada banyak cara yang mereka tempuh mulai dari menabung dari penghasilan baik dari hasil tani, kebun, pertanian, perdagangan, bahkan ada yang menjual harta-benda dan ternak mereke guna memenuhi kebutuhan menunaikan ibadah haji.
Meskipun haji menjadi pilar Islam kelima dari lima pilar (rukun), namun ibadah ini tidak dipaksakan untuk ditunaikan oleh seluruh umat Islam. Ketentuan, syarat dan rukun bagi mereka yang mau menunaikan ibadah haji telah dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa hanya mereka yang mampu (istata’a) saja yang dapat menunaikannya.
Memiliki kemampuan atau “mampu” menunaikan haji tentu dipahami secara komprehensif, tidak saja mampu secara fisik (sehat), mampu secara material (ekonomi), tetapi juga secara psiko-spiritual dan sosial serta hukum.
Secara ekonomi, misalnya umat Islam diwajibkan menunaikan ibadah haji tanpa harus meninggalkan beban baik pelaku haji dan keluarga yang ditinggal pergi selama berhaji. Moderasi sikap beragama dalam berhaji sangat tinggi.
Haji mengandung esensi kepedulian terhadap yang lain (care of others) selain memenuhi dahaga spiritual (bathin) individu. Bagi mereka yang belum mampu secara ekonomi dan kesehatan, tidak ada paksaan. Sungguhnya Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan hasil usaha (kemampuan).