FSPI Nilai Soeharto Layak Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional
JAKARTA – Forum Silaturahmi Pemuda Islam (FSPI) menilai Presiden kedua Republik Indonesia, Jenderal Besar H.M. Soeharto, layak dianugerahi gelar Pahlawan Nasional atas jasa dan kontribusinya dalam menjaga keutuhan serta stabilitas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Koordinator Presidium FSPI, Zuhelmi, mengatakan kepemimpinan Soeharto pasca peristiwa G30S/PKI menjadi titik balik penting dalam penyelamatan bangsa dari potensi disintegrasi. Ia menilai langkah Soeharto kala itu berhasil memulihkan keamanan nasional sekaligus menata kembali arah pembangunan Indonesia.
“Soeharto berhasil membawa Indonesia keluar dari masa kekacauan menuju stabilitas nasional. Pembangunan ekonomi, pertanian, dan infrastruktur di bawah kepemimpinannya menjadi fondasi kuat bagi kemajuan bangsa,” ujar Zuhelmi dalam keterangan tertulis, Jumat (7/11).
Menurut Zuhelmi, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto memiliki urgensi historis dan moral. Pengakuan tersebut, kata dia, bukan berarti menutup catatan kelam masa lalu, melainkan menilai kontribusi Soeharto secara objektif dan proporsional.
“Kita harus menempatkan sejarah secara adil. Soeharto adalah tokoh yang berjasa besar membangun Indonesia modern. Penghargaan ini menjadi refleksi untuk menghargai jasa pemimpin yang memberi dampak besar bagi bangsa,” jelasnya.
Secara hukum, penganugerahan gelar Pahlawan Nasional diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2010 sebagai aturan pelaksanaannya. Dalam regulasi tersebut disebutkan, gelar Pahlawan Nasional diberikan kepada warga negara Indonesia yang semasa hidupnya berjasa luar biasa bagi bangsa dan negara, serta tidak pernah melakukan tindakan yang mencederai keutuhan NKRI.
Lebih lanjut, Zuhelmi menyoroti sejumlah capaian penting masa pemerintahan Soeharto yang berkontribusi besar terhadap pembangunan nasional. Ia menyebut antara lain program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang menurunkan angka kemiskinan dari sekitar 40 persen pada awal 1970-an menjadi 11 persen pada akhir 1990-an, Instruksi Presiden Desa Tertinggal (IDT) yang memperkuat ekonomi perdesaan, hingga program swasembada pangan yang membuat Indonesia diakui FAO pada tahun 1984.
“Program Repelita dan IDT memperkuat pemerataan pembangunan. Penguatan Puskesmas dan pendidikan dasar meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Itu semua bagian dari legacy Soeharto yang masih dirasakan manfaatnya,” imbuhnya.
FSPI juga menilai ketegasan Soeharto dalam menumpas gerakan PKI merupakan langkah strategis untuk menjaga kedaulatan negara. Meski diakui terdapat kontroversi dalam pelaksanaannya, Zuhelmi menegaskan bahwa tindakan tersebut dilakukan dalam konteks penyelamatan bangsa dari ancaman ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.
Pandangan serupa pernah disampaikan oleh sejarawan Universitas Indonesia, Prof. Asvi Warman Adam, yang menilai penilaian terhadap Soeharto perlu dilakukan secara proporsional. Ia menyebut Soeharto sebagai “tokoh yang memiliki dua sisi sejarah: keberhasilan pembangunan di satu sisi, dan catatan pelanggaran hak asasi manusia di sisi lain.”
FSPI menilai bahwa keseimbangan pandangan tersebut penting agar generasi kini dapat mengambil pelajaran dari sejarah, bukan sekadar menilai masa lalu dengan kacamata politik masa kini.
Sebagai penutup, Zuhelmi berharap penganugerahan gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto dapat menjadi momentum refleksi dan keteladanan bagi masyarakat.
“Yang perlu diteladani adalah disiplin, kerja keras, dan komitmen beliau terhadap bangsa. Semoga gelar ini menjadi pengingat bahwa membangun negara membutuhkan keteguhan dan semangat pengabdian,” pungkasnya.