FSPI Sentil Ferry Irwandi Cengeng dan Anti-Kritik: Jangan Main Perasaan di Tengah Bencana

 FSPI Sentil Ferry Irwandi Cengeng dan Anti-Kritik: Jangan Main Perasaan di Tengah Bencana

JAKARTA – Forum Silaturahmi Pemuda Islam (FSPI) melontarkan kritik terhadap sikap Ferry Irwandi yang mengaku merasa dipojokkan setelah kontennya soal penanganan bencana di Sumatera menuai sorotan publik.

FSPI menilai sikap tersebut sebagai bentuk reaksi berlebihan, cengeng, dan tidak dewasa dalam menyikapi kritik.
Koordinator Presidium FSPI, Zuhelmi Tanjung, menegaskan bahwa cara Ferry merespons kritik justru menunjukkan mental anti-kritik dan tidak siap berada di ruang publik yang terbuka.

“Kalau tidak siap dikritik, jangan bermain di ruang publik. Kritik itu bukan penyerangan, tapi bagian dari kontrol sosial. Jangan sedikit-sedikit baper, lalu merasa dizalimi,” ujar Zuhelmi, Senin (8/12).

Ia menilai, sikap Ferry yang memosisikan diri sebagai korban justru berpotensi mengalihkan fokus dari persoalan utama, yakni keakuratan informasi di tengah situasi darurat bencana.

“Ini bencana, bukan panggung drama. Publik butuh kejelasan, bukan narasi playing victim. Kalau kontennya dipersoalkan, hadapi dengan data, bukan dengan air mata,” tegasnya.

Zuhelmi juga menekankan bahwa klarifikasi yang dilakukan media dan publik merupakan bagian dari kerja verifikasi yang sah dan justru diperlukan demi menjaga akurasi informasi. Ia menolak anggapan bahwa permintaan konfirmasi merupakan bentuk pemojokan.

“Verifikasi itu kewajiban, bukan intimidasi. Kalau merasa ‘dipukul’ hanya karena diminta klarifikasi, berarti ada yang salah dengan cara berpikirnya,” katanya.

Menurutnya, di tengah situasi krisis, para pembuat konten justru dituntut lebih bertanggung jawab, bukan sebaliknya bersikap reaktif dan emosional. Konten yang spekulatif, tendensius, atau tidak berbasis data dinilai sangat berbahaya karena dapat menimbulkan kepanikan dan bias persepsi publik.

“Jangan hanya mengejar viral lalu alergi terhadap kritik. Itu ciri influencer yang tidak siap dewasa,” lanjut Zuhelmi.

Zuhelmi juga mengingatkan bahwa kebebasan berekspresi tidak bisa dipisahkan dari tanggung jawab moral. Sikap anti-kritik, menurut Zuhelmi, justru merusak kualitas demokrasi digital.

“Kalau semua kritik dianggap serangan, lalu di mana ruang forumnya? Demokrasi bukan ruang menyanjung, tapi ruang saling mengoreksi,” tegasnya.

Ia pun menegaskan bahwa fokus utama publik saat ini adalah keselamatan dan pemulihan korban bencana, bukan polemik personal di media sosial.

“Berhentilah merasa paling tersakiti. Yang benar-benar terluka hari ini adalah para korban bencana,” pungkas Zuhelmi.

Facebook Comments Box