Gencatan Senjata Hamas – Israel dan Perubahan Dunia Islam

 Gencatan Senjata Hamas – Israel dan Perubahan Dunia Islam

Sejak inisiatif serbuan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan 1200 orang Israel dan menawan tentara-tentara Israel, tiba-tiba saja dunia Islam terbelalak. Banyak pihak yang dihadapkan pada situasi simalakama, terutama negara-negara yang sudah mengindikasikan untuk membangun hubungan resmi dengan Israel.

Arab Saudi di antara yang paling kagok, mungkin juga termasuk Indonesia yang rada-rada mulai melipir dari sikap kerasnya terhadap Israel berubah mempromosikan solusi dua negara terhadap konflik Israel vs Palestina.

Namun negara yang melandaskan operasinya demi kepentingan Islam dan bangsanya, seperti Iran, dan juga gerakan-gerakan besar seperti Hauthi dan Hizbullah, memperoleh reputasi pahlawan karena bersedia menolong Hamas dan sekutu-sekutu aksi perlawanan mereka di Palestina secara militer, sehingga dengan demikian medan perang pun tidak lagi sebatas wilayah Ghaza.

Tiba-tiba Libanon Selatan dan Haifa terbakar oleh serangan Hizbullah. Laut Merah sebagai jalur logistik yang menguntungkan bagi Israel, tersendat dan macet oleh pemblokiran Hauthi. Hal ini memaksa posisi Israel menjadi terpojok dan berbahaya jika berkepanjangan. Tidak hanya itu, konflik militer ini mengakibatkan hal yang tak terduga dimana Iran melancarkan serangan rudal yang demikian dahsyat dan mencekam menghantam Tel Aviv. Hal itu membawa reputasi Iran sebagai negara dengan persenjataan terkuat di Timur Tengah.

Satu setengah tahun konflik yang menyeret Israel, membuat situasi dunia menjadi demikian goncang, termasuk menyerempet mengerasnya persiangan Blok Barat dengan Blok Timur Baru yang ditopang oleh Rusia, China, Korea Utara, Iran hingga meluas secara variatif kepada BRICS yang makin diperhitungkan.

Israel yang sejak awal merupakan negara yang ditanamkan oleh kekuatan Barat di Timur Tengah, terus mengisap kekuatan militer dan ekonomi Barat. Semakin lama konflik dengan Hamas yang kini tidak lagi sendirian menghadapi Israel, tapi sudah ditopang oleh Iran, Hauthi, Hizbullah dan diam-diam oleh China, Korea Utara dan Rusia secara militer melalui metode proksi, akibatnya Amerika diterjang dilema.

Saya kira inilah yang memaksa pemimpin Amerika menekan Israel untuk melakukan gencatan senjata dengan Hamas. Apalagi di tengah banyaknya titik panas konflik yang menyeret Amerika seperti Ukraina dan Laut China Selatan, memerlukan konsentrasi dan finansial yang tidak sedikit bagi Amerika.

Amerika mungkin berpikir, setelah mendapatkan runtuhnya reputasi Amerika sebagai negara yang berwibawa, bukan tidak mungkin Amerika pun bisa runtuh secara ekonomi di hadapan saingan-saingannya seperti China dan Rusia. Walhasil, istirahat dulu perangnya, wahai Israel, kita tata kekuatan menghadapi China dan Rusia. Kira-kira begitu dalam pikiran Amerika.

Ndilalah, dunia Islam pun mulai menyadari berbagai kemungkinan perubahan akibat melemahnya Amerika dan Barat. Di antara yang paling siap menerjang momentum ini, yaitu Turki dan Iran. Turki akhirnya dapat mendudukkan proksinya di Suriah setelah rezim Assad terpental karena kemerosotan moral untuk berkuasa. Tapi dengan tumbangnya rezim Ba’ats, implikasinya adalah Iran kehilangan pijakan di Suriah dalam operasi perluasan pengaruhnya, termasuk dalam menyuplai senjata terhadap Hamas sebagai sekutu Iran.

Adapun Qatar merupakan negara Arab yang paling cerdik. Dengan kekayaannya, dia dapat menggelar pengaruhnya secara diplomatik, yang telah menghasilkan berdirinya Afghanistan dan kini memfasilitasi gencatan senjata antara Israel dan Hamas. Reputasi Qatar yang begitu signifikan membantu dunia Islam, sungguh tidak diragukan lagi, sehingga jika tuntutan perubahan besar-besaran rezim di Timur Tengah, Qatar tidak akan terkena sasaran akibat jasa-jasanya terhadap pergerakan Islam.

Saat ini, ketidakpuasan di dunia Islam yang bersumber dari penerapan sekularisme dan despotisme, terus menyala bagaikan api dalam sekam. Sejauh ini, gerakan Islam di Suriah (HTS) dan Thaliban di Afghanistan telah berhasil mencapai tujuannya. Hal ini akan menciptakan perasaan terancam bagi status quo di negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim.

Langkah mereka apakah membangun aliansi dengan Barat untuk tetap mempertahankan diri atau dengan kekuatan baru seperti BRICS guna memperteguh legitimasi mereka, keduanya serba tak pasti. Apalagi tingkat korupsi rezim sekular di negara-negara mayoritas Muslim itu, telah menusuk sendiri jantung legitimasi mereka. Sebab sejatinya, sekularisme itu hanyalah alat penjajah untuk membonsai dan mengkerdilkan kemampuan dunia Islam dalam mengatasi persoalannya dan mendapatkan efektivitas kepemimpinannya di tengah persiangan global.

Sejauh ini, jika dunia Islam cerdas menghadapi situasi dengan tidak terprovokasi menjadi konflik internal berdasarkan perselisihan mazhab dan aliran (Sunni vs Syiah), maka dunia Muslim akan terbebas dari sekularisme dan rezim-rezim boneka proksi penjajah.

Bhre Wira

Facebook Comments Box