Gerakan Total Penihilan Kemiskinan

 Gerakan Total Penihilan Kemiskinan

 

Bagus sekali kesan pernyataan Agus Jabo Priyono, Wakil Menteri Sosial ketika Komisi VIII DPR menggelar rapat dengan jajaran Kementerian Sosial di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta pada Selasa, 12 November 2024. Rapat tersebut membahas terkait rencana program kerja dan anggaran 2025, termasuk berbagai isu aktual.

Agus Jabo, yang dikenal sebagai dedengkot PRD ini berkata sebagai berikut:

“Nama saya Agus Jabo Priyono. Background saya aktivis pergerakan. Aktivis sosial. Jadi kementerian sosial, adalah wadah yang tepat bagi saya memperjuangkan apa yang saya impikan selama ini, yaitu masyarakat Indonesia berdikari, masyarakat Indonesia adil dan makmur…..” (https://youtu.be/A-MJppCB_MM?si=8jATswVaDKOFFtOj)

Tampak kesan kesadaran dan komitmen yang kuat dari sisi pemerintah, dalam hal ini beliau sebagai Wamensos, terkait isu target angka kemiskinan 0%. Adalah baik jika sembari pemerintah gandrung menargetkan angka 8% pertumbuhan ekonomi, sewajarnya juga pada sumbu yang lain, pemerintah mengejar target penurunan angka kemiskinan menjadi 0%. Apa bisa? Bisa, jika diterapkan hal-hal berikut:

Satu, adalah fakta bahwa negara yang luas dan kaya buminya serta penduduknya banyak, maka kemakmuran justru lebih mungkin dicapai ketimbang negara dengan wilayah sempit dan penduduk sedikit, kendatipun dengan mengandalkan perdagangan atau pertukaran ekonomi secara internal di kalangan penduduk. Karena dengan penduduk yang banyak, maka jumlah, frekuensi, variasi dan jenis pertukaran ekonomi antar penduduk yang kemudian menimbulkan surplus, dapat lebih banyak dicapai ketimbang dengan penduduk yang sedikit dan lahan ekonomi yang sempit.

Sudah terbukti sekarang, BRICS adalah negara-negara yang wilayahnya luas dan penduduknya banyak.

Yang jadi masalah selama ini, kekayaan yang dihasilkan dari kegiatan ekonomi di Indonesia, tidak seluruhnya berputar dan berkecambah di wilayah Indonesia. Sekiranya hasil-hasil ekonomi tersebut tidak secara tertutup dan terbatas dinikmati lebih banyak oleh golongan yang berkuasa, ditambah tidak mengalir ke luar negeri untuk disimpan dan diinvestasikan, tentu dengan skala potensi ekonomi di Indonesia, kemiskinan tidak akan separah ini.

Di antara kasus yang bukan rahasia umum, ketika seorang kapitalis berkembang modal dan sumber-sumber bisnisnya di Indonesia, maka mereka melakukan dua hal:

Pertama, menyimpan modalnya di luar negeri, dengan alasan keamanan dan keuntungan. Di antara yang terkenal yaitu tindakan penyimpanan modal dan pembuatan perusahaan cangkang di negara-negara lain, utamanya di negara-negara yang disebut bebas dari pengejaran pajak (surga pajak).

Kedua, mereka berekspansi dengan beragam usaha dan investasi di negara-negara lain, kendati di Indonesia juga terbuka hal itu mereka lakukan. Tapi karena motif ingin mengamankan dan memaksimalkan kekuasaan ekonomi dan keuangan mereka, hal itu mereka pilih untuk dilakukan. Akibatnya, mereka sangat untung dan lepas dari kontrol, malahan pemerintah pun terpaksa mengemis uluran jasa koneksi dan modal mereka demi investasi dalam negeri.

Jadi inilah yang membuat kemiskinan itu terhampar demikian mencolok di Indonesia dan sangat menyedihkan karena tragis dan ironis. Sekiranya surplus ekonomi yang dinikmati kaum kapitalis tersebut maupun surplus aneka pemasukan yang diperoleh oleh para aparat pemerintah melalui pengaruh mereka, baik melalui perdagangan diam-diam atas pengaruh dan koneksi mereka terhadap anggaran negara, halmana surplus tersebut disalurkan lagi dalam bentuk kegiatan usaha yang dapat dipetik manfaatnya oleh orang-orang miskin di Indonesia, saya yakin tidak akan ada kemiskinan yang separah ini di Indonesia.

Tingkat keparahan kemiskinan di Indonesia tampak berbanding lurus dengan tingkat kekayaan yang menjulang pada sedikit orang di Indonesia. Jelas itu berarti, uang dan surplus ekonomi menumpuk pada sedikit orang dan tidak terjadi distribusi pada banyak orang.

Berkaca Pada Managemen Pemerintahan Umar bin Khattab ra

Umar adalah tokoh sejarah riil dari hasil didikan Nabi Muhammad Saw tentang bagaimana mengentaskan kemiskinanan. Dia tahu, kemiskinan itu salah satu faktornya ialah kemewahan ekslusif yang ditoleransi pada orang-orang yang berkuasa. Oleh karena itu, dia mulai dari dirinya sendiri. Pertama dia mempraktikkan disiplin hidup bersahaja, mudah diakses publik dan tegas serta konsisten dan konsekwen. Dia paling benci dengan pejabat yang memiliki staf dengan fungsi portir. Sebab dia sendiri tidak melakukan itu. Kisah Hurmuzan yang menemukan diri Umar ra hanya istirahat rebahan di masjid, tanpa pengawal, telah mengejutkan panglima perang Kemaharajaan Persia tersebut, sekaligus membawanya simpati dan masuk Islam.

Suatu ketika, penduduk Kufah di Irak melaporkan gubernur militer, kekhalifahan Islam, Sa’ad bin Abi Waqqash yang menutup akses kediamannya ke lokasi pasar. Pasalnya, Sa’ad merasa terganggu dengan bisingnya orang di pasar. Dia pun membangun dinding meski masih ada pintu.

Mengetahui hal itu, Umar mengirimkan Maslamah, pejabat khusus yang mengurusi disiplin kenegaraan dan masalah-masalah timbulnya praktik yang tidak baik dirasakan penduduk terhadap gubernur-gubernur Umar di berbagai wilayah taklukan.

Maslamah tiba di Kufah. Benar, dia temukan persis seperti yang dikeluhkan oleh masyarakat Kufah, adanya dinding dan portir yang menyulitkan akses masyarakat terhadap pemimpin setempat.

Apa yang dilakukan Maslamah? Sekonyong-konyong sebagaimana perintah Umar, dinding dan pintu yang memisahkan pasar dengan kediaman panglima Panakluk Persia tersebut, yaitu pada perang Qodisiyah, yang juga paman Nabi sendiri dari jalur ibunya, Sa’ad bin Abi Waqqash namanya, dibakar dan dirubuhkan oleh Maslamah tanpa rasa segan. Sa’ad, sebagai seorang prajurit yang wajib taat pada Amirul Mukminin (Panglima orang-orang Beriman) Umar ra yang hidup bersahaja di Madinah, hanya menyaksikan dan patuh dengan tindakan sanksi tersebut.

Demikian juga, saat Amru bin Ash, penakluk Mesir hendak mendirikan markas di Iskandaria, kota terbesar saat itu di Mesir, yang sudah ditaklukkan, lalu mengirimkan kurir ke Umar untuk dilaporkan tentang rencana tersebut.

Umar melarang dan memilih untuk mendirikan kota baru di Fustat, bekas kemah Amr bin Ash sendiri. Alasannya lagi-lagi mengantisipasi agar pemimpin di tempat itu tidak susah diakses, khususnya oleh rakyat setempat maupun dari Madinah.

Selain disiplin dan pentingnya kemudahan akses semacam itu, Umar adalah seorang penguasa yang tidak mau harta negara mengendap lama. Begitu diterima harta dari perampasan perang yang begitu melimpah, Umar dan pembantu-pembantunya di Madinah, sibuk membagi-bagi ke semua penduduk, terutama kepada asnaf zakat, keluarga Nabi dan anggota veteran perang Badar.

Kerena demikianlah Nabi yang mereka cintai, mencontohkan akhlak sebagai pemerintah. Di antara yang paling sengit terkait akhlak anti penimbunan harta publik ini ialah sahabat yang salah satu dicintai Nabi, Abu Dzar Al Ghifari. Abu Dzar bertengkar sengit dengan Muawiyah, gubernur Suriah atau Syam mengenai harta publik ini. Muawiyah menyimpan harta ghanimah dan tidak menghabiskan pembagiannya kepada mereka yang berhak.

Abu Dzar datang ke Ustman bin Affan, yang mengganti Umar yang sudah wafat sebagai kalifah. Sampailah mereka pada penafsiran ayat 34 dari surah at-Taubah.

وَٱلَّذِينَ يَكْنِزُونَ ٱلذَّهَبَ وَٱلْفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

Artinya: Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.

Abu Dzar bilang, harta yang melampaui kebutuhan pokok seorang Muslim dan harta itu disimpan dan tidak dibagi kepada mereka yang membutuhkan maka hal itu termasuk perbuatan yang diancam oleh ayat tersebut. Utsman ra tidak menyangkal pendapat Abu Dzar, tapi dia tidak membenarkannya juga. Karena memang praktik Nabi Muhammad Saw seperti itu. Namun, Utsman ra berpendapat, bahwa tak ada salahnya juga disimpan untuk sementara, tapi bukan untuk dinikmati sendiri, hanya menunggu waktu yang tepat untuk membagi-bagikannya kepada yang membutuhkan dan sebagai antisipasi.

Tapi Abu Dzar akhirnya kecewa dan memilih pergi dan menyepi ke perkampungan Rabdzah di pelosok padang pasir.

Keadaan Abu Dzar dan konteks ayat ini terdapat dalam hadits berikut:

Imam Bukhari meriwayatkan dari Zaid bin Wahb, ia berkata, “Saya melewati kampung Rabdzah, dan ternyata bertemu dengan Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, aku pun berkata kepadanya, “Apa yang menjadikan kamu menempati tempat ini?” Ia menjawab, “Aku berada di Syam, lalu aku berselisih dengan Mu’awiyah tentang ayat, “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak serta tidak menginfakkannya di jalan Allah…” Mu’awiyah berkata, “Ayat ini turun berkenaan Ahli Kitab”, sedangkan aku berkata, “Ayat ini turun berkenaan dengan kita dan mereka.” Itulah masalah yang terjadi antara aku dengannya.” Ia pun menuliskan surat kepada Utsman ra mengeluhkan tentang aku, maka Utsman mengirim surat kepadaku yang isinya, “Datanglah ke Madinah”, maka aku pun datang, lalu banyak orang yang mengerumuniku seakan-akan mereka belum pernah melihatku sebelumnya, kemudian aku terangkan hal itu kepada Utsman ra, lalu ia berkata kepadaku, “Jika engkau mau, engkau menjauh, namun engkau dekat.” Itulah yang menjadikan aku menempati tempat ini, dan jika sekiranya mereka memerintahkan aku sebagai penduduk Habasyah, maka aku akan mendengar dan taat.” HR Bukhari.

Jadi sifat-sifat pemerintah semacam Abu Dzar dan Umar bin Khattab ra itu amat jamak di masa sahabat. Maka jangan heran, jika di masa Umar bin Abdul Aziz ra, masa kekhalifahan pasca khulafaurrasyidin, mustahik zakat dari golongan fakir miskin sudah tidak ditemukan lagi.

Sampai-sampai petugas zakat yang dikirimkan kembali lagi ke ibukota Islam saat itu dengan harta yang harus dibagikannya. Sementara, masih lazim saat itu, orang menolak bagian zakat jika memang tidak termasuk kategori miskin atau mustahik zakat. Orang masih malu menjadi “pasien” zakat. Tidak seperti sekarang. Saya sendiri, di masa kecil, masih menemukan di kampung halaman, orang menolak zakat, karena dianggap miskin. Tapi sekarang dengan tamaknya orang kepada uang dan harta benda, yang bukan haknya pun diambilnya, malahan dirampasnya.

Dua, menurut hemat kita, gerakan pengentasan kemiskinan harus mencakup gerakan komprehensif, mulai dari gerakan sosial yang ditangani oleh Kemensos dan Kemenkes, gerakan politik yang ditangani oleh Kemendagri misalnya, gerakan kebudayaan yang ditangani oleh Kementerian Kebudayaan dan Kemendikdasmen dan Kemendikti, gerakan ekonomi yang ditangani oleh kementerian terkait seperti Kemenaker, Kementrian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, UKM dan Koperasi, Ekonomi Kreatif, BUMN, Investasi, dst, hingga gerakan keagamaan dan spritual yang ditangani oleh Kemenag. Semua sisi harus terpadu dan sinergis.

Dari sisi masyarakat sendiri, harus juga timbul kesadaran untuk bangkit dari kemiskinan. Sebab fenomena kemiskinan ini laksana fenomena sakit pada seseorang. Menghilangkan kemiskinan itu seperti cara orang mau sembuh dan sehat. Jika yang bersangkutan tidak ada tekad untuk mau sembuh dan sehat, maka percuma saja dari atas dibombardir dengan bantuan sosial, justru bantuan sosial dijadikan sandaran hidup dan merawat kemiskinan pada dirinya. Orang semacam ini susah untuk sembuh dari kemiskinan. Biarpun fasilitas untuk hal tersebut melimpah dan mubazzir.

Secara teoritik, traetmentnya adalah tambahi volume pendapatan si miskin, kurangi pengeluaran si miskin, hilangkan tagihan yang mengikat dan mencekik, perketat laku hemat dan kikis laku boros. Dan si miskin harus kapok betapa tidak merdeka dan lelahnya hidup dalam tekanan kemiskinan.

~Bhre Wira

Facebook Comments Box