Kekerasan di SMKN 1 Cikarang Barat: Siswa Kelas X Jadi Korban Brutalitas Kakak Kelas Mengakibatkan Rahang Patah, Negara Wajib Hadir!

 Kekerasan di SMKN 1 Cikarang Barat: Siswa Kelas X Jadi Korban Brutalitas Kakak Kelas Mengakibatkan Rahang Patah, Negara Wajib Hadir!

BEKASI ~ Dunia pendidikan kembali tercoreng dengan terjadinya tindak kekerasan berat terhadap Aai (inisial-red), siswa kelas X di SMKN 1 Cikarang Barat. Insiden yang terjadi pada 2 September 2025 lalu itu menyeret nama lebih dari 10 orang siswa senior yang diduga melakukan pengeroyokan terhadap korban hingga menyebabkan rahang patah dan trauma psikologis berat. Ironisnya, kejadian ini berlatar belakang persoalan sepele, yakni unggahan foto bersama teman perempuan yang tidak melibatkan korban secara langsung.

Dafa, perwakilan keluarga korban, menjelaskan kepada media bahwa sebelum insiden pengeroyokan, Aai sudah mengalami berbagai bentuk intimidasi dan pemalakan yang berulang dari kakak kelasnya. Ia dipaksa menyetor uang sebesar Rp30.000 secara berkala dan diancam kekerasan fisik jika tidak menuruti. “Aai menggunakan uang jajannya sendiri untuk menghindari pemukulan,” jelas Dafa dengan nada getir kepada awak media, Kamis (18/9/2025) malam.

Klimaks kekerasan terjadi ketika Aai ditarik ke lapangan belakang sekolah dan dianiaya secara brutal oleh para pelaku. Salah satu dari mereka disebut memukul korban sebanyak delapan kali berturut-turut. Pihak keluarga menyebut bahwa tindakan ini tidak hanya melanggar norma kemanusiaan, tetapi juga melanggar ketentuan hukum pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 80 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak serta Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan. Tegas Dafa.

Kepala RT setempat, Ilani, menegaskan bahwa sekolah tidak boleh tutup mata. “Ini bukan sekadar pelanggaran disiplin, ini kejahatan. Sekolah harus memastikan keamanan siswa. Jika tidak, berarti telah abai terhadap amanat konstitusi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa,” ujarnya. Dalam hal ini, pihak sekolah berpotensi turut dimintai pertanggungjawaban atas kelalaian sebagaimana diatur dalam UU Sistem Pendidikan Nasional dan Permendikbud tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Sekolah.

Pasca insiden tersebut, Aai harus menjalani operasi besar pada 9 September lalu dan sempat tidak bisa makan melalui mulut selama 10 hari. Meski kini kondisinya berangsur membaik, trauma psikologis yang dialami korban dipastikan tidak akan hilang dalam waktu singkat. Ini menjadi alarm serius bahwa kekerasan dalam dunia pendidikan sudah memasuki tahap darurat dan tidak bisa lagi ditoleransi.

Perilaku perundungan dan kekerasan di lingkungan sekolah bukan hanya persoalan internal, melainkan kejahatan yang harus ditindak dengan tegas oleh aparat penegak hukum. Negara melalui Kepolisian, Dinas Pendidikan, dan lembaga perlindungan anak wajib hadir menjamin keadilan bagi korban. Apabila dibiarkan, ini bisa menjadi preseden buruk dan mengancam masa depan dunia pendidikan Indonesia.

Kasus ini kini sudah dalam proses penyelidikan di tingkat kepolisian. Diharapkan, semua pelaku baik langsung maupun tidak langsung segera diproses hukum secara adil dan transparan. Selain penegakan hukum, diperlukan reformasi budaya sekolah yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, antikekerasan, dan penghormatan terhadap hak anak untuk belajar dalam lingkungan yang aman dan bermartabat. (CP/red)

Facebook Comments Box