KEKUATAN TAUHID: Hikmah dari Kisah Pengampunan Seorang Pendosa
Oleh: Munawir K, Dosen UIN Alauddin Makassar
عن أبي هريرة رضي الله عنه، أن رسول الله ﷺ قال: “إنَّ رَجُلًا لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ إلَّا التَّوْحِيدَ، فَلَمَّا حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ، قَالَ لِأَهْلِهِ: إذَا مُتُّ فَأَحْرِقُونِي، ثُمَّ اذْرُوا نِصْفِي فِي الْبَرِّ، وَنِصْفِي فِي الْبَحْرِ، فَوَاللَّهِ لَئِنْ قَدَرَ اللَّهُ عَلَيَّ لَيُعَذِّبَنِي عَذَابًا لَمْ يُعَذِّبْهُ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ، فَلَمَّا مَاتَ، فَعَلُوا مَا أَمَرَهُمْ، فَأَمَرَ اللَّهُ الْبَرَّ فَجَمَعَ مَا فِيهِ، وَأَمَرَ الْبَحْرَ فَجَمَعَ مَا فِيهِ، ثُمَّ قَالَ: لِمَ فَعَلْتَ هَذَا؟ قَالَ: مِنْ خَشْيَتِكَ، فَغَفَرَ اللَّهُ لَهُ.” (رواه البخاري)
Dari Abu Hurairah RA. Rasulullah SAW. bersabda:
“Ada seorang laki-laki yang tidak pernah melakukan kebaikan sedikit pun kecuali keesaan Allah. Ketika ajalnya mendekat, ia berkata kepada keluarganya, ‘Jika aku mati, bakarlah jasadku, kemudian taburkan setengahnya di darat dan setengahnya di laut. Demi Allah, jika Allah mampu menguasai diriku, Dia pasti akan menyiksaku dengan siksaan yang tidak pernah diberikan kepada siapa pun dari alam semesta.’ Ketika ia mati, keluarganya pun melakukan apa yang ia perintahkan. Maka Allah memerintahkan daratan untuk mengumpulkan yang ada di dalamnya, dan laut untuk mengumpulkan yang ada di dalamnya, kemudian Allah bertanya, ‘Mengapa kamu melakukan ini?’ Ia menjawab, ‘Karena takut kepada-Mu.’ Maka Allah pun mengampuninya.” (HR. Bukhari)
Alur Kisah yang Menggugah Hati:
Kisah ini menggambarkan seorang laki-laki yang merasa bersalah dan sangat takut atas dosa-dosa yang telah diperbuatnya selama hidup. Meskipun ia tidak memiliki amal kebaikan selain keyakinan akan keesaan Allah, ia merasa amalnya masih sangat jauh dari memadai untuk memperoleh keselamatan di akhirat.
Dalam ketakutannya yang mendalam, ia memohon kepada keluarganya untuk menghancurkan jasadnya setelah kematiannya, dengan harapan agar Allah tidak bisa menghidupkannya kembali dan menghukumnya. Permintaan ini didasari ketakutannya yang luar biasa akan siksa Allah.
Namun, kekuasaan Allah tak terbatas. Allah memerintahkan darat dan laut untuk mengumpulkan bagian-bagian jasadnya. Setelah jasadnya dikumpulkan dan ia dihidupkan kembali di hadapan Allah, Allah bertanya kepadanya, “Mengapa engkau melakukan ini?” Dengan hati yang tulus, ia menjawab, “Karena aku takut kepada-Mu, ya Allah.”
Karena rasa takutnya yang ikhlas dan murni kepada Allah, Allah dengan kasih sayang-Nya mengampuni semua dosa-dosanya dan memasukkannya ke dalam surga.
Hikmah yang Menggugah Hati:
Kisah ini memberikan pelajaran tentang keagungan rahmat dan ampunan Allah yang tanpa batas. Rasa takut yang tulus kepada Allah, meskipun tanpa amal yang besar, bisa menjadi sebab bagi seseorang untuk mendapatkan pengampunan dari Allah.
Dalam hadits lain, Rasulullah SAW. juga bersabda:
“لا يدخل أحدكم الجنة بعمله.” قالوا: ولا أنت يا رسول الله؟ قال: “ولا أنا إلا أن يتغمدني الله برحمته.” (رواه البخاري ومسلم)
“Tidak ada seorang pun dari kalian yang akan masuk surga dengan amalnya.” Para sahabat bertanya, “Tidak juga engkau, wahai Rasulullah?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Tidak juga aku, kecuali jika Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadaku.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kisah ini mengajarkan bahwa rahmat Allah adalah kunci utama keselamatan kita di akhirat. Meski amal seseorang mungkin terbatas, rahmat Allah yang luas dan kasih sayang-Nya menjadi sumber pengharapan bagi mereka yang mengakui kelemahan dan ketidakmampuan mereka di hadapan-Nya. Allah adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
Selain itu Kisah ini juga mengandung nilai-nilai mendalam tentang hubungan antara manusia dan Allah, terutama dalam konteks rasa takut, pengakuan atas kelemahan diri, dan keagungan rahmat Allah. Untuk mengkaji kisah ini secara analitis, filosofis, dan holistik, berikut adalah uraian yang lebih mendalam.
1. Analisis Filosofis tentang Rasa Takut kepada Allah
Rasa takut kepada Allah (khasyah) merupakan emosi spiritual yang mulia dan menjadi karakteristik orang-orang beriman. Dalam kisah ini, rasa takut tersebut hadir karena hamba ini menyadari keterbatasannya dan ketidaklayakannya di hadapan Allah. Rasa takut kepada Allah dalam Islam merupakan bentuk kesadaran yang paling dalam bahwa hanya Dia yang berhak disembah dan bahwa kehidupan serta amal manusia harus diukur dengan standar Ilahi. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
“إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ”
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.”
(QS. Fathir: 28)
Ayat ini menekankan bahwa pengetahuan dan pemahaman mendalam tentang Allah dan kekuasaan-Nya melahirkan rasa takut yang murni. Dalam konteks ini, laki-laki dalam kisah di atas memiliki kesadaran yang mendalam, meskipun amalnya terbatas, bahwa dosa-dosanya berat dan bahwa Allah Maha Kuasa atas segalanya.
2. Keikhlasan dalam Mengakui Kelemahan Diri
Keikhlasan dalam mengakui kelemahan diri dan ketidakberdayaan di hadapan Allah merupakan aspek penting dalam kisah ini. Laki-laki tersebut mengakui bahwa dirinya tidak memiliki amalan yang cukup untuk mengantarkannya ke surga, yang menunjukkan kesadaran akan ketidakmampuannya untuk bergantung pada amal. Hal ini bertepatan dengan sabda Rasulullah SAW.:
“لا يدخل أحدكم الجنة بعمله.” قالوا: ولا أنت يا رسول الله؟ قال: “ولا أنا إلا أن يتغمدني الله برحمته.”
“Tidak ada seorang pun dari kalian yang akan masuk surga dengan amalnya.” Para sahabat bertanya, “Tidak juga engkau, wahai Rasulullah?” Rasulullah SAW. menjawab, “Tidak juga aku, kecuali jika Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadaku.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Kisah ini mengajarkan bahwa kesadaran dan pengakuan akan ketidakberdayaan di hadapan Allah justru menjadi sarana untuk memperoleh rahmat-Nya. Keikhlasan dalam pengakuan tersebut membuat seseorang berada dalam kondisi hati yang penuh tawadhu’ (rendah hati) dan tidak bergantung pada amal semata.
3. Rahmat Allah yang Maha Luas sebagai Kunci Keselamatan
Rahmat Allah adalah sumber pengharapan bagi manusia. Sebesar apapun dosa seseorang, rahmat Allah selalu lebih besar dan luas. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
“وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ”
“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.”
(QS. Al-A’raf: 156)
Ayat ini menegaskan bahwa rahmat Allah meliputi segala dosa dan kesalahan, selama manusia tetap memiliki iman dan ketakutan yang tulus kepada-Nya. Dalam kisah tersebut, meskipun laki-laki ini memiliki dosa, keimanannya kepada Allah dalam bentuk tauhid dan rasa takutnya yang tulus membuatnya memperoleh rahmat yang tiada tara.
4. Perspektif Keselamatan di Akhirat: Mengapa Tauhid Menjadi Dasar Utama
Dalam Islam, keselamatan di akhirat berakar pada tauhid, yaitu mengesakan Allah. Tauhid adalah fondasi utama yang menjadi kunci bagi seseorang untuk bisa menggapai rahmat Allah. Rasulullah ﷺ bersabda:
“إنَّ اللهَ لا يغفرُ أن يُشْرَكَ به، ويغفرُ ما دونَ ذلكَ لمن يشاءُ”
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, namun Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa saja yang Dia kehendaki.”
(QS. An-Nisa: 48)
Dalam kisah ini, laki-laki tersebut tetap berpegang pada tauhid walaupun amal perbuatannya kurang. Karena tauhid adalah pondasi dasar dalam Islam, maka laki-laki tersebut layak mendapatkan pengampunan berkat keimanannya kepada Allah.
5. Pandangan Ulama Mengenai Kekuatan Rasa Takut kepada Allah
Para ulama juga menekankan bahwa rasa takut kepada Allah merupakan salah satu tanda keimanan yang tinggi. Imam Ibnul Qayyim berkata dalam kitabnya Madarij as-Salikin, “Khasyah (rasa takut) yang tumbuh dari ma’rifatullah (pengenalan terhadap Allah) adalah cahaya bagi hati yang memurnikan jiwa.” Dengan demikian, laki-laki dalam kisah ini, meskipun tidak banyak beramal, memiliki kedudukan khusus karena takut kepada Allah, yang merupakan manifestasi dari iman sejati.
Imam Nawawi juga menambahkan bahwa rasa takut kepada Allah yang disertai penyesalan dan pengakuan dosa adalah tanda keikhlasan dalam iman, dan itu yang membawa kepada rahmat dan ampunan Allah.
6. Hikmah dari Kisah ini dan Solusi bagi Manusia Modern
Kisah ini memberikan beberapa hikmah yang relevan bagi manusia modern:
1. Pentingnya Menjaga Tauhid dan Rasa Takut kepada Allah:
Dalam era modern, manusia sering kali teralihkan oleh dunia, yang menyebabkan lemahnya iman dan lupa akan pentingnya tauhid. Kisah ini mengingatkan agar tetap teguh pada keesaan Allah dan selalu merasa diawasi oleh-Nya.
2. Rahmat Allah adalah Kunci Utama:
Amal adalah usaha manusia yang sangat penting, namun ketergantungan pada rahmat Allah adalah penentu keselamatan. Di zaman ini, kita diingatkan untuk selalu berharap pada rahmat Allah, sambil berusaha dengan amal yang baik.
3. Pengakuan Keterbatasan sebagai Jalan Menuju Keselamatan:
Mengakui kelemahan diri dan tidak sombong dengan amal menjadi pembelajaran besar. Dalam Islam, amal adalah sarana, tetapi kesadaran akan kelemahan diri adalah yang menyempurnakan iman seseorang.
Penutup
Kisah ini adalah cerminan dari kelembutan Allah kepada hamba-hamba-Nya, serta bukti bahwa rahmat dan ampunan-Nya lebih luas daripada dosa-dosa kita. Meskipun amal kita mungkin sedikit, pengharapan akan rahmat-Nya menjadi pegangan utama bagi setiap Muslim. Allah SWT menutup peluang keputusasaan dalam firman-Nya:
“قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا”
“Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.'”
(QS. Az-Zumar: 53)
Kisah ini mengingatkan kita agar selalu berpegang pada tauhid dan pengharapan yang tulus kepada Allah, serta tetap tawadhu’ dan mengakui kelemahan diri. Dengan begitu, kita akan selalu berada dalam perlindungan rahmat dan ampunan Allah yang tidak terbatas.🙏