Ketimpangan Ekonomi dan Kesejahteraan yang Berkeadilan

 Ketimpangan Ekonomi dan Kesejahteraan yang Berkeadilan

Oleh: Irman Gusman, Senator RI Sumatera Barat 2024-2029

Banyak isu strategis yang disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto dalam pidatokenegaraan dan pengantar Nota Keuangan-RAPBN 2026 di Gedung MPR RI kemarin.

Salah satu yang menarik perhatian saya adalah berkaitan rancang bangun (blue print) ekonomi Indonesia yang adil untuk seluruh rakyat Indonesia. Beberapa kali Prabowo menyinggung soal UUD 1945, terutama pasal-pasal yang ia sebut sebagai pasalpengaman ( pasal 33 ayat 1, 2, 3) sebagai benteng ekonomi Indonesia.

Dengan nada tegas dan penuh harapan, Prabowo Subianto menekankan pentingnyapembangunan dan kesejahteraan yang berkeadilan. Sembari mengutip pasal 33 ayat 1,ia kembali menegaskan bahwa perekonomian Indonesia harus disusun sebagai usahabersama berdasarkan asas kekeluargaan, bukan konglomerasi.

Pesan Prabowo itu rasanya semakin relevan dan menuntut untuk direalisasikan dengan segera apalagi di tengah kondisi pembangunan ekonomi yang belum sepenuhnya menyentuh keadilan masyarakat bawah. Pertumbuhan ekonomi kita dalam dua dekade memang mengalami kenaikan rata-rata per tahun di angka 5 persen namun diikutidengan peningkatan ketimpangan cukup tinggi. Hal ini mengonfirmasi bahwa sebagianbesar hasil pertumbuhan ekonomi belum merata, masih dinikmati oleh segelintir orangsaja.

Rasio gini melonjak dari 0,31 di tahun 1998 menjadi 0,37 pada hari ini. Hasil riset Center of Economic and Law Studies (Celios) pada tahun 2024 menyebutkan,kekayaan 50 orang terkaya RI setara dengan harta 50 juta warga biasa. Studi yang tidak jauh beda juga telah dilakukan oleh berbagai lembaga seperti Word Bank, Oxfamdi Indonesia (Oxfam) dan International NGO Forum on Indonesia Development atau INFID dan lain sebagainya.

Terbaru, Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk Triwulan II 2025. Hasilnya, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,12% secara tahunan (year-on-year). Angka ini diglorifikasi oleh pemerintah sebagai keberhasilan. Klaim keberhasilan itu terasa kontras jika ternyata pada saat yang sama, pendapatan masyarakat naik kurang 2 persen.

Sementara itu, ada fenomena kekayaan segelintir orang melesat hingga triliunan rupiah kurang dari satu tahun. Kondisi ini mempertegas bahwa pertumbuhan ekonomi belum mampu dirasakan secara adil di seluruh lapisan masyarakat.

Kita juga tidak bisa menafikan adanya kenyataan populasi kelas menengah Indonesia kian berkurang. Tingginya biaya hidup, adanya stagnasi pendapatan dan maraknya PHK turut menjadi faktor daya beli masyarakat menurun dan kelas menengah berkurang.

Selain gini pendapatan dan kekayaan, ada satu basis data yang bisa menjadi acuan analisis jurang ketimpangan, yakni gini tanah. Sebagai negara agraris di mana sekitar 39% tenaga kerja bekerja di sektor pertanian, kepemilikan tanah merupakan kunci kemakmuran.

Tapi fakta menyebutkan, mayoritas petani Indonesia adalah petani guremyang hanya memiliki tanah seluas 0,3 hektar saja. Pada saat yang sama, sebagaimana diungkapkan oleh Menteri ATR BPN belum lama ini, bahwa ada satu keluarga yang menguasai 1,8 juta hektar lahan di Indonesia.

Tak Berakhir Jika Tak

Di akhiri Pembangunan ekonomi dan akses pendidikan serta kesehatan yang tidak meratamerupakan faktor utama yang selama ini menjadi batu sandungan mengapa sejak reformasi bergulir, ketimpangan makin memburuk.

Padahal keberhasilan pembangunan tidak bisa dilihat secara parsial dari pertumbuhan ekonomi, peningkatan PDB per kapitadan penurunan kemiskinan saja, tetapi juga pemerataan bagi seluruh kalangan masyarakat dan ini yang justru paling krusial. Bukan berarti harus sama rata (gini ratio= 0), tetapi setidak-tidaknya tidak terlalu melebar (di atas 0,3).

Meminjam pandangan ekonom peraih Nobel, Joseph Stiglitz, bahwa sebagian besar penyebab ketimpangan adalah hasil dari kebijakan pemerintah, baik itu yang dikeluarkan maupun tidak. Meskipun demikian, lanjut Stiglitz, pemerintah pula yang mempunyai otoritas dan kekuatan besar untuk mengatasinya.

Dengan demikian, ketimpangan itu tak akan berakhir jika tak diakhiri. Oleh karena itu, yang diperlukan adalah satu; keberanian politik (political will) untuk membuka jalan terjal menuju ekonomi inklusif dan berkeadilan. Presiden Prabowo Subianto menyatakan akan membenahi sistem ekonomi yang sudah lama memicu ketimpangan dan kebocoran ekonomi.

Sejalan dengan keinginan presiden, masalah ketimpangan yang terus berlarut nyaris tidak ada solusi ini, harus segera diselesaikan. Sebab, jika tidak segera diakhiri, bisamenjadi penyebab kian sulitnya negeri ini terlepas dari jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap), sebuah kondisi yang tidak saja kita inginkan, melainkan harus dihindari.

Kemerdekaan ekonomi yang berkeadilan bukanlah utopia. Ada langkah strategis yang bisa ditempuh untuk menutup jurang ketimpangan dan menghadirkan economic justice sebagaimana yang digaungkan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Pertama, kembali ke pasal 33 UUD 1945. Ketimpangan yang semakin lebar merupakan salah satu potret pengabaian demokrasi ekonomi. UUD 1945 memberikan acuan yang jelas tentang pembangunan yang berkeadilan.

Wujud konkret kembali pada pasal 33 UU 1945 adalah memperkuat demokrasi ekonomi melalui koperasi, UMKM, dan kewirausahaan rakyat. Kebijakan ekonomi harus mampu menyentuh mereka yang di bawah. Keberpihakan pemerintah terhadap pemberdayaan dan kemajuan koperasi, UMKM dan kewirausahaan rakyat, yang jumlahnya sekitar 65 juta unit dan yang berkontribusi besar baik terhadap PDB maupun dalam penyerapan tenaga kerja, adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi.

UMKM harus naik level, bahkan go international. Karena itu, program-program untukUMKM harus fokus pada peningkatan kualitas produk dan layanan, pemanfaatan teknologi digital, perluasan jangkauan pemasaran, peningkatan kapasitas produksi dan peningkatan SDM harus menjadi satu tarikan nafas.

Jika hal ini ditempuh, maka akan terjadi perubahan besar dalam struktur perekonomian kita sehingga kelompok usaha besar hanya perlu beroperasi di sektor industri untuk menghasilkan nilai tambah bagi produk-produk yang dihasilkan oleh pelaku ekonomi disemua daerah.

Langkah pemerintah yang membentuk 80.000 Koperasi Merah Putih di tingkat, nagari/desa dan kelurahan patut diapresiasi dan didukung karena selaras dengan spirit pemerataan ekonomi (tonggak ekonomi rakyat). Kehadiran Koperasi Merah Putih ini memberikan harapan besar karena dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa/nagari yang selama ini banyak terpinggirkan.

Selain itu, potensi ekonomi lokalbisa berkembang dengan optimal.Namun perlu dicatat, sepanjang sejarah berdirinya perkoperasian di republikini–sekalipun diposisikan sebagai tulang punggung perekonomian, namun belum juga menunjukkan peran yang optimal. Kendati demikian, kita tak boleh pesimis. KMP di desa Ponggok, Klaten misalnya, memberikan arah sekaligus suntikan semangat kepada daerah lain, jika dikelola secara modern, profesional dan adaptif terhadap zaman, maka koperasi itu bisa bersaing dan sukses.

Kedua, menerapkan kebijakan pajak bersih dan progresif. Daron Acemoglu dan James Robinson dalam bukunya Why Nations Fail? Menyatakan pentingnya peran institusi politik dan ekonomi yang inklusif dalam mendorong kemajuan dan kesetaraan.Reformasi fiskal progresif yang efektif—termasuk pajak yang adil untuk kelompok superkaya—serta memperluas jaminan sosial di bidang kesehatan, pendidikan, dan panganharus diterapkan.

Terkait hal itu, kita patut berkaca dan menjadikan contoh kebijakan pemerintah Swedia, Australia, Belgia dan Finlandia. Mereka merupakan contoh sukses dalam menurunkan tingkat ketimpangan menjadi hampir separuhnya (0,50 menjadi sekitar 0,25).

Di Swedia misalnya, pemerintah menetapkan pajak pendapatan orang kaya bisa mencapai 61 persen, sedangkan di Belgia dan Finlandia mencapai di atas 50 persen. Pada saat yang sama, masyarakat dengan pendapatan rendah dibebaskan dari kewajiban membayar pajak pendapatan individu.

Dalam konteks Indonesia, ada studi yang menyatakan, jika pajak kekayaan dikenakan hanya pada 50 orang terkaya di Indonesia, misal dengan tarif 2% dari total kekayaan mereka saja, maka potensi penerimaan negara mencapai Rp 81,56 triliun setiap tahun (Celios, 2025). Sayangnya, dalam pidato Nota Keuangan dan RAPBN 2026 kemarin, Prabowo nampak Prabowo belum menyentuh aspek yang selama ini belum menjadi perhatian serius oleh pemerintah, yakni pajak progresif kekayaan.

Pajak merupakan instrumen untuk mewujudkan keadilan. Dari pajak ini, kemudian diredistribusi melalui program-program sosial dan strategis seperti perluasankesehatan, pendidikan, program padat karya, memberikan akses air bersih, pemberdayaan kelompok rentan, dukungan usaha UMKM dan program yang menyasar masyarakat lapisan bawah lainnya.

Ketiga, keberpihakan pada petani dan nelayan. Pemenang hadiah Nobel ekonomi, Paul Krugman, pernah berujar, ketimpangan adalah akibat keberpihakan institusi pemerintah dan politik pada kelompok tertentu. Sebaliknya, keberpihakan terhadap hajat hidup orang banyak akan melahirkan kesejahteraan yang berkeadilan.

Di Indonesia, pertanian, kehutanan dan perikanan adalah sektor yang harus mendapatkan perhatian khusus karena menjadi sektor dominan. Berdasarkan dataterbaru, sekitar 28,54% dari total angkatan kerja nasional bekerja di sektor ini, atau setara dengan 40,67 juta orang. Keberpihakan pemerintah di sektor pertanian adalahsuatu keharusan karena sejauh ini, para petani merupakan tulang punggung ekonomibangsa.

Di sektor pemberdayaan nelayan, kita patut kawal keinginan Presiden Prabowosebagaimana yang disampaikan dalam pidato kenegaraan kemarin, yakni akan membangun 1.100 desa nelayan, di setiap desa atau nagari nelayan terdiri dari 2.000 kepala keluarga. Sehingga akan ada 10 juta orang nelayan yang naik level, mendapatkan penghasilan yang layak.

Indonesia bisa berhasil disebut sebagai negara merdeka kalau rakyat sejahtera, negarahadir melindungi masyarakat tidak mampu, mewujudkan ekonomi tangguh, mandiri dan sejahtera adalah narasi besar yang digaungkan oleh pemerintahan Prabowo.

Mudah-mudahan hal itu bukan angin surga, melainkan visi yang dibarengi langkah besar sehingga kesejahteraan benar-benar dirasakan dalam keseharian seluruh rakyat Indonesia; di meja makan tempat keluarga Indonesia bercengkrama, di sawah dan ladang tempat para petani mengais rezeki untuk menghidupi keluarga dan dipabrik-pabrik tempat para pekerja berkarya. Merdeka!

Facebook Comments Box