Klasifikasi Kehidupan Sosial

Klasifikasi kehidupan sosial dapat digambarkan seperti ukuran baju. Ada yang ukuran S (small), M (medium, L (large), dan XL (Extra Large). Bagi seorang dengan badan yang besar, memakai baju ukuran S, terasa sempit, sesak dan jelas tidak nyaman.
Dalam kehidupan nyata di dalam masyarakat pun, hampir seperti itu. Misalnya, ada yang berada dalam kehidupan yang sempit, susah bergerak. Tetapi ada juga yang hidup pas dan cocok. Di lain pihak, ada yang berada dalam hidup yang longgar atau lega (L), dan malahan ada yang hidup sangat-sangat longgar. Atau bolehlah kita kiaskan mereka yang berada dalam hidup yang ekstra longgar ini yaitu XL.
Sekarang kita coba terapkan dalam mengklasifikasi kehidupan anggota masyarakat merujuk ukuran-ukuran pakaian tersebut.
1. Kelas SS atau kehidupan yang Sempit Sekali. Inilah mereka yang disebut faqir. Untuk hidup survive, bisa makan secara wajar saja, tidak sanggup. Karena tidak ada sumber penghasilan yang terjamin dalam menopang kehidupannya. Bahkan secara psikologis, kelas SS ini berharap lebih baik tidak hidup lebih lama jika terus menerus dalam kondisi SS tersebut.
Apakah kelas SS ini ada di dalam masyarakat? Sekarang tidak saja ada, malah membludak. Kelas SS ini memerlukan kekuatan eksternal dan internal untuk bisa survive dalam hidup. Bagaimana caranya? Nanti akan dibahas lebih luas.
2. Kelas S atau kehidupan yang Sempit. Kelas ini dapat diklasifikasi sebagai kelas miskin. Tidak bisa beranjak lepas dari kemiskinan. Terperangkap dalam hidup yang sempit karena faktor-faktor objektif, seperti tiadanya modal untuk berusaha, keterampilan untuk menghasilkan uang yang lebih mencukupi tidak ada, atau tekanan utang yang menggerus terus pendapatannya.
Namun sedikit lebih baik kehidupannya ketimbang kelas SS yang senantiasa terancam kelaparan dan penyakit. Kelas S ini hanya mandeg dan sulit beranjak naik kelas karena rundungan pendapatan yang tidak mencukupi. Kedua kelas ini, sangat memerlukan intervensi pembebasan dari penjara kehidupan yang mereka alami. Ya….mereka berada dalam penjara kehidupan, walaupun tanpa jeruji besi. Sistem politik, ekonomi, sosial, dan bahkan budaya telah menempatkan mereka dalam keadaan yang tidak beruntung dan punya ruang untuk membebaskan diri.
Lebih-lebih kondisi semacam ini sangat subur dan jamak di perkotaan akibat dua hal: serba mengedepankan kepentingan pribadi; kompetisi yang kejam; dan semua urusan untuk mendapatkan sumberdaya hidup, seperti bahan makanan, air dan api untuk memasak, bepergian dari satu tempat ke tempat lain, nyaris serba uang. Tidak seperti perdesaan, halmana orang dapat memanfaatkan hasil-hasil hutan secara gratis untuk bahan makanan dan sifat masyaakat yang masih hidup tolong menolong.
Kelas SS dan S ini memang seharusnya pindah ke desa-desa untuk melepaskan diri dari sempitnya kehidupan di kota.
3. Kelas M atau mepet. Kelas ini sedikit lebih baik keadaannya dari kelas S. Tapi antara pendapatan dan pengeluaran, mepet betul marginnya. Sampai tidak bisa menabung. Akan tetapi dalam hal kebutuhan pokok, dapat diatasinya. Kelas ini lebih baik dari pada kelas sebelumnya, yaitu kelas SS dan kelas S. Persoalan yang dihadapinya ialah tidak kunjung bisa mengendapkan dan menyimpan sisa penghasilan, akibat penghasilan habis tersedot untuk belanja kepada kebutuhan-kebutuhan primer yang tak bisa ditunda.
Kelas ini memang merdeka dari ancaman kelaparan, tetapi sebetulnya sangat mepet untuk jatuh ke dalam kelas di bawahnya. Kecuali dia secara cerdik mengurangi mutu makanan pokoknya dan ongkos-ongkos wajib yang dikeluarkannya, guna memdapatkan selisih dari antara pendapatan dan pengeluarannya. Tergantung kecerdikan dan kedisiplinannya dalam mengatur keuangannya. Tapi ya…tidak bisa lebih dari itu, sehingga dapat beranjak naik ke kelas yang Lega atau L.
4. Kelas L atau kelas yang sudah bergeser kepada kondisi hidup yang Lega. Pendapatannya sudah dapat ditabung sisanya, dan sudah mampu pula mememuhi kebutuhan primer dengan tenang dan malah kebutuhan sekunder dan tersier pun dapat dibelinya, seperti menikmati liburan dengan rekreasi, bisa membeli barang-barang dengan maksud memenuhi rasa gengsi ketimbanh fungsi, seperti mobil yang cukup mewah, HP bagus, rumah yang lega, pakaian-pakaian yang bermerek baik, menikmati makanan-makanan lezat, anak-anaknya dapat sekolah di lembaga-lembaga pendidikan yang terbaik.
Sementara kelas sebelumnya, jangankan anaknya bisa sekolah di lembaga pendidikan yang bergengsi, untuk kelas M misalnya, dapat sekolah di sekolah negeri saja tanpa kekurangan pakaian, buku dan jajan saja, sudah disyukuri. Apalagi kelas S dan SS, anak-anaknya jarang yang dapat menikmati sekolah karena harus menolong orang tuanya, misalnya memulung atau menganggur karena tidak ada biaya.
Apakah keadaan masyarakat semacam ini ada di dalam masyarakat? Tidak saja ada, tapi membludak. Apakah Anda tidak menaruh empati dengan kelas-kelas sosal yang tidak beruntung tersebut?
5. Kelas XL atau kelas Xtra Lega. Kelas ini merupakan orang-orang kaya yaitu dalam kategori kelas menengah ke atas. Keadaan kelas XL ini tidak lagi terpikir bagi dia: apakah besok bisa makan. Tapi pikirannya ialah bagaimana mengalokasikan kekayaannya agar terus bertambah dan kemewahan hidupnya terus lestari hingga ke anak cucu. Kesibukan pikirannya pun bagaimana menikmati hidup dan mengembangkan kekuasaan dan kedudukan di dalam masyarakat agar prestise dan keunggulan yang diraihnya dapat terus lestari.
Kelas ini biasanya, karena jauhnya jarak dengan kelas SS, S dan M, maka kebanyakan tidak lagi memiliki empati dengan anak-anak manusia yang terjebak dalam kelas SS, S dan M. Kalau pun dirinya memberikan pertolongan, hanya sekedarnya saja dan itu pun yang dicarinya dari pemberian pertolongan itu, popularitas dan citra yang diharapkannya memberikan dampak keamanan dan kelangsungan posisinya di dalam masyarakat.
Kegiatan investasi menjadi kesibukannya yang tiada henti-hentinya. Dia terdorong secara alamiah psikologis untuk dapat menjangkau hidup abadi, biarpun takdir akan berkata lain. Sensitivitasnya dalam kebutuhan kesehatan, sangat tinggi akibat dorongan hidup yang lebih lama. Dia sangat cemas kehilangan kesenangan hidup akibat topangan harta bendaya.
Inilah kelas yang disindir oleh Al Quran dalam surat Al Humazah. “Yang dia mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia menganggap bahwa hartanya akan mengekalkan hidupnya” Al Humazah ayat 2-3.
6. Kelas XXL atau kelas xtra-xtra lega. Kelas ini memiliki keberlimpahan kekayaan yang di luar kelaziman. Ini seperti kelas pengusaha raksasa, pejabat tinggi yang berlimpah faslitas dan wewenang, atau mungkin sekelas konglomerat dan jenderal-jenderal yang mengendalikan bisnis untuk dirinya. Kelas ini setara dengan Qorun di zaman Fir’aun. Kelas ini biasanya secara organik bersekutu dengan para penguasa yang korup dalam menciptakan kekayaan dan pengaruh di dalam masyarakat. Inilah kelas tiran berdasarkan kekuatan kekayaannya. Kelas ini bagaikan gurita dengan tentakel-tentakelnya yang mengisap dan mencekik negara.
Kelas ini sadar bahwa situasi yang zalim yang menciptakan klasifikasi di dalam masyarakat dan meregenerasi kelas SS, S, M, L, dan XL, merupakan landasan yang baik bagi kelangsungan dirinya di puncak hirarki kelas sosial. Kelas XXL inilah penguasa sebenarnya di dalam negara dan masyarakat. Mereka tidak lagi melihat kekuatan kekayaan sebagai instrumen mengejar kenikmatan dan kemewahan hidup, tetapi lebih sebagai prasyarat mutlak dalam mengekalkan kekuasaannya terhadap negara. Kelas XXL ini sangat cepat merespon setiap gejala yang dapat memgusik ke arah menantang dan mengakhiri kekuasaannya. Mereka sebenarnya bukan fokus pada kekayaan, tetapi kekuasaan, yaitu kekuasaan berbasis kekayaan yang dikontrolnya.
Golongan ini sejatinya tidak menghendaki kemakmuran kelas SS, S dan M. Sebab bila itu terjadi, secara alamiah dapat mempengaruhi hirarki dan kedudukan kekuasaan mereka. Mereka inilah yang selalu berada di setiap rekayasa kehidupan ekonomi, politik, hukum dan budaya. Permainan mereka ialah merekayasa politik, hukum dan sosial budaya guna keuntungan operasi kekuasaan ekonomi mereka. Mereka bermain menempatkan agen-agen yang loyal pada mereka, mulai dari pemerintahan, ilmuan, tokoh agama yang siap menyulap fatwa, hingga centeng-centeng swasta dan negeri.
Mereka dapat merekayasa suatu produk hukum untuk kepentingan mereka. Contoh yang gamblang di Indonesia di era Jokowi ialah UU Minerba, UU Omni Bus Law (Ciptakerja), penentuan mana yang diklasifikasi PSN atau tidak, objek vital nasional, dan seterusnya guna memproteksi kepentingan profit dan pengaruh mereka.
Mereka memang laksana toghut yang menyusun tatanan kehidupan. Mereka memiliki aparat apa saja, mulai dari ilmuwan, tenaga kekerasan, tukang fatwa, agen penghubung ke legislatif, eksekutif dan yudikatif, dan seterusnya. Mereka mengontrol mesin kesejahteraan dan kekuasaannya yang secara ironis dijalankan oleh masyarakat. Dia hanya memonitor saja. Kelas ini hanya dapat dikalahkan oleh negara, tetapi masalahnya negara pun sudah berada di tangan mereka. Kecuali oleh suatu revolusi yang digerakkan oleh para intelektual dan berbasis pada kelas SS dan S sehingga dapat menamatkan ajal kekuasaan kelas XXL ini.
Lalu Bagaimana?
Hubungan kelas dari masing-masing kelas yang dijabarkan tersebut, sebenarnya berlangsung secara fungsional, subordinatif, malahan eksploitatif, tetapi tidak timbal-balik secara adil. Kelas SS dan kelas S, merupakan kelas yang menderita, dan seharusnya kedua kelas ini menghimpun diri mereka dalam satu organ yang membela dan meringankan kehidupan mereka. Tapi untuk beranjak ke orientasi tersebut, tidaklah mudah, dan memerlukan para intelektual pembimbing.
Adapun kelas M atau kelas mepet, seyogyanya meleburkan diri secara kepentingan politik dengan kelas SS dan S. Ketiga kelas bawah ini, secara populasi jauh lebih banyak dan dominan daripada kelas L, XL dan XXL. Apalagi kelas XXL, hanya secuil dibandinglan jumlah kelas SS, S dan M. Masalahnya, kesadaran solidaritas antar ketiga kelas ini tidak tumbuh dengan subur akibat kurangnya sentuhan pengorganisasian dan pembimbingan. Jarang sekali ada orang yang mau mengambil peranan untuk mengorganisasikan dan mendidik ketiga kelas sosial ini agar memiliki daya politik dan signifikansi. Dan tantangannya memang tidak mudah, karena faktor-faktor objektif, terkurasnya mental dan tenaga ketiga kelas ini untuk bertahan dalam kehidupan yang keras dan kejam, membuat orientasi ke arah dimaksud, tidak mudah dibangun.
Walhasil, ilustrasi klasifikasi sosial yang terdiri dari enam kelas yang nyata ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai acuan dalam advokasi masyarakat yang tidak beruntung, baik untuk digunakan dalam urusan dakwah, ekonomi maupun politik. Dan diharapkan juga dapat dikembangkan lebih baik secara teoritik dan lebih presisi secara ilmiah.
Analogi jenis-jenis ukuran pakaian yang diterapkan dalam klasifikasi sosial, sebenarnya untuk memudahkan pemahaman saja dalam menghayati adanya kelas-kelas sosial yang terjadi secara objektif pada masyarakat. Adalah tak terbantahkan, kelas-kelas sosial itu nyata adanya, dan terkadang sangat menyakitkan, bila Anda ternyata berada pada kelas S.
Menyangkal tiadanya kelas-kelas sosial, dan menghindari kategori sosiologis tersebut dengan maksud menghindari tendensi politik, hanya mendustai fakta yang ada. Di kelas manakah pembaca berada? Renungkanlah.