KRISIS KEPERCAYAAN PUBLIK TERHADAP PENEGAKAN HUKUM : Arah Reformasi Sistem Hukum Indonesia di Tahun 2025-2026
Oleh: Munawir Kamaluddin, Guru Besar UIN Alaudin, Makassar
Apakah hukum di negeri ini masih menjadi payung keadilan, ataukah hanya menjadi jaring laba-laba yang kuat menjerat yang lemah dan rapuh di hadapan yang kuat?
Apakah hukum masih berfungsi sebagai “al-Mizan” (timbangan keadilan) yang Allah titipkan untuk menegakkan kebenaran, atau sudah menjadi alat kekuasaan yang kehilangan nurani?
Mengapa rakyat kecil lebih sering merasa takut mendengar kata “hukum”, sementara yang berkuasa justru merasa aman di baliknya?
Di mana sesungguhnya wajah keadilan itu bersembunyi, dan ke mana arah reformasi hukum akan membawa bangsa ini di tahun-tahun mendatang?
Dalam pusaran zaman modern yang kian sarat dengan kepentingan politik dan ekonomi, hukum Indonesia menghadapi badai kepercayaan publik.
Krisis ini bukan hanya bersifat administratif atau kelembagaan, tetapi menyentuh inti terdalam dari moralitas dan spiritualitas hukum itu sendiri. Rakyat mulai meragukan:
Apakah hukum masih lahir dari kejujuran nurani dan rasa takut kepada Tuhan, atau sekadar dari pena kekuasaan yang menulis pasal untuk kepentingannya sendiri.
Padahal, hukum sejatinya adalah amanah langit yang dititipkan ke bumi. Allah SWT. berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia, maka hendaklah kalian menetapkannya dengan adil.”
(QS. An-Nisā’: 58)
Ayat ini bukan sekadar seruan administratif, tetapi panggilan moral, bahwa keadilan adalah nafas yang memberi hidup pada setiap keputusan hukum.
Bila keadilan mati, maka hukum berubah menjadi jasad tanpa ruh, seindah apapun pasalnya, sekuat apapun institusinya.
Krisis kepercayaan terhadap penegakan hukum hari ini adalah cermin dari jauhnya para pelaku hukum dari prinsip moralitas dan spiritualitas hukum.
Kita tidak kekurangan hukum. Indonesia adalah negara yang “subur dengan undang-undang”, tetapi sering kekurangan rasa takut kepada Allah. Rasulullah bersabda:
القضاة ثلاثة: واحد في الجنة واثنان في النار، رجل عرف الحق فقضى به فهو في الجنة، ورجل قضى للناس على جهل فهو في النار، ورجل عرف الحق فجار في الحكم فهو في النار
“Para hakim itu ada tiga: satu di surga dan dua di neraka. Seorang yang mengetahui kebenaran lalu memutuskan dengannya, maka ia di surga; seorang yang memutuskan perkara dalam kebodohan, ia di neraka; dan seorang yang mengetahui kebenaran tetapi berlaku zalim dalam putusannya, ia pun di neraka.”
(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Hadis ini menegaskan bahwa inti hukum bukan pada lembaga atau struktur, tetapi pada hati yang takut kepada Allah dalam menegakkan kebenaran.
Ketika hukum kehilangan ruh keadilan dan rasa takut kepada Tuhan, maka kepercayaan publik pun menguap seperti kabut pagi di bawah terik matahari kepentingan.
Dari perspektif yuridis, krisis ini menuntut reformasi sistem hukum secara menyeluruh, bukan hanya dalam bentuk revisi undang-undang atau pembentukan lembaga baru, tetapi dalam membangun kembali etos keadilan dan kesadaran etik hukum.
Hukum harus kembali berakar pada nilai-nilai fiqhiyyah yang berorientasi pada maqasudus asy-syar’ah menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Imam al-Ghazali menegaskan:
المصلحة هي المحافظة على مقصود الشرع، ومقصود الشرع من الخلق خمسة: أن يحفظ عليهم دينهم ونفسهم وعقلهم ونسلهم ومالهم
“Kemaslahatan itu ialah menjaga tujuan-tujuan syariat, dan tujuan syariat terhadap manusia ada lima: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta mereka.”
(Al-Mustashfā, juz I, hal. 174)
Jika penegakan hukum tidak lagi memelihara kelima prinsip ini, maka ia telah menyimpang dari hakikatnya sebagai instrumen rahmah (kasih sayang) bagi umat manusia.
Dari sisi filosofis, hukum semestinya bukan sekadar aturan yang membatasi perilaku, tetapi cermin dari cita-cita moral bangsa.
Dalam pandangan filsafat hukum Islam, keadilan (al-‘adl) bukan hanya konsep normatif, tetapi juga energi spiritual yang menuntun manusia untuk menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Maka hukum tanpa keadilan ibarat tubuh tanpa jiwa; indah dipandang, tapi tak lagi bernyawa.
Krisis kepercayaan ini juga perlu dilihat secara humanis. Banyak rakyat yang merasa dipinggirkan oleh hukum karena ketidaksetaraan akses dan penegakan yang pilih kasih.
Di sinilah pentingnya mengembalikan hukum sebagai ruang perlindungan, bukan ruang intimidasi. Keadilan sejati bukan hanya menegakkan pasal, tetapi menghidupkan rasa aman, rasa dihargai, dan rasa dimanusiakan.
Dalam kearifan lokal Bugis-Makassar, nilai ini dikenal dengan prinsip “Siri’ na Pacce”, harga diri dan empati. Hukum yang berkeadilan seharusnya mampu menjaga siri’ rakyat dan menumbuhkan pacce (rasa kemanusiaan) dalam putusan-putusan hukumnya.
Dari sini kita belajar bahwa reformasi hukum bukan semata soal menulis ulang pasal, tetapi menulis ulang hati dan kesadaran hukum para penegaknya. Reformasi hukum sejati harus melibatkan tiga dimensi:
1. Dimensi moral-spiritual , menumbuhkan rasa takut kepada Allah, sebagaimana Umar bin Khattab berkata:
لا إسلام إلا بجماعة، ولا جماعة إلا بإمارة، ولا إمارة إلا بطاعة، ولا طاعة إلا بعدل
“Tidak ada Islam tanpa jamaah, tidak ada jamaah tanpa kepemimpinan, tidak ada kepemimpinan tanpa ketaatan, dan tidak ada ketaatan tanpa keadilan.”
(Diriwayatkan oleh Ibn Taymiyyah dalam As-Siyasah Asy-Syar’iyyah)
2. Dimensi struktural-yuridis , memastikan sistem perundangan dan lembaga hukum transparan, akuntabel, dan bebas intervensi politik.
3. Dimensi sosial-humanis , menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam mengawasi dan menegakkan keadilan.
Hukum yang adil bukanlah hukum yang sempurna di atas kertas, melainkan hukum yang hidup di hati manusia.
Reformasi hukum di tahun 2025 harus menjadi momentum kebangkitan nurani hukum nasional, menjadikan hukum bukan sekadar alat negara, tetapi cermin iman, akhlak, dan kemanusiaan.
Sejatinya, keadilan bukan sekadar cita hukum, tapi cita hidup. Dan ketika hukum telah berpihak pada kebenaran dan kasih sayang, maka rakyat tak lagi memandang hukum dengan curiga, tetapi dengan harapan. Sebagaimana firman Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, sekalipun terhadap diri kalian sendiri.”
(QS. An-Nisā’: 135)
Ayat ini adalah puncak dari semua prinsip hukum: bahwa keadilan adalah ibadah, dan penegakan hukum adalah bagian dari pengabdian kepada Allah.
Maka, bila kita ingin mengakhiri krisis kepercayaan publik terhadap hukum, mulailah dengan membangun kembali hati nurani para penegak hukum, memperbaiki sistem yang cacat, dan menghidupkan kembali kesadaran spiritual bahwa hukum adalah amanah Ilahi untuk menjaga kehidupan, bukan alat memperkaya diri.
Karena keadilan sejati bukan sekadar ditegakkan dengan palu hakim, tetapi dengan nurani yang tunduk pada Tuhan, dan rasa yang berpihak kepada manusia.
#Wallahu ‘Alam Bis-Shawab#