Melihat Aksi Massa Agustus 2025 Sebagai Harapan Baru Bagi Indonesia

Kita harus melihat gejala sosiologis dari aksi massa yang berlangsung di penghujung Agustus 2025 secara bergelombang, bersifat nasional dan menimbulkan keterkejutan yang luar biasa, justru sebagai harapan baru bagi peremajaan Indonesia. Sudah menjadi tradisi, setiap usaha peremajaan Indonesia dari status quo yang korup, harus dipaksa ditekan oleh aksi massa yang besar dan signifikan seantero negeri. Mulai dari 1966 yang dipantik oleh pembunuhan jenderal-jenderal, 1998 yang disulut oleh tekanan krisis eonomi hingga mungkin sekarang 2025 yang juga disulut oleh gencetan pajak yang tinggi yang tidak sebanding dengan penghasilan rakyat.
Bagi pihak yang memegang kekuasaan, setiap aksi protes massa yang signifikan, akan dipandang sebagai ancaman dan bahkan makar. Dengan pandangan itu, pemerintah mensimplikasi realitas, menutup pintu dari membuka diri untuk otokritik dan akhirnya pertukaran pandangan serta menyerap secara konstruktif aspirasi dan keluhan massa menjadi sukar dan hampir tidak mungkin dilakukan. Tanda-tanda semacam ini mulai terlihat dari reaksi pemerintah terhadap aksi demonstrasi massa, berupa penangkapan para aktivis mahasiswa dan LSM belakangan ini.
Memang tidak dapat disangkal, telah terjadi pembajakan aksi protes massa dengan mengambil korban properti tokoh-tokoh terkenal, seperti Ahmad Sahroni (Crazy Rich dari Tanjung Priok), Eko Patrio (Artis sekaligus anggota DPR), Uya Kuya (Artis sekaligus anggota DPR), dan dua lainnya yang kurang jelas kerugian material dari penjarahan massa. Tapi, menitikberatkan perhatian dan respons pada peristiwa sampingan tersebut, dengan mengesampingkan peristiwa pokoknya, yaitu *ptotes massa akibat keadaan kehidupan ekonomi yang makin sulit*, *ketulian penguasa atas kondisi yang berlangsung*, *dan ketimpangan kesejahteraan yang menyulut rasa benci*, ditambah sulutan gaya hidup hedon dan loss kepekaan sosial oleh mereka yang berada di lapisan atas, maka jelas suatu respons yang tersesat. Ibarat api yang menimbulkan asap, seharusnya bukan asapnya yang ditanggulangi, tapi apinya. Dan bahkan bukan apinya, tapi mengapa rumput itu kering dan mudah terbakar, karena siraman air sudah lama tidak dinikmati oleh rumput.
Yang menarik dari momen peristiwa aksi protes massa pada 2025 ini, timbul ke permukaan figur yang mencerminkan kekhasan pandangan dan gaya suatu generasi yang bertolakbelakang dengan generasi sebelumnya yang kini menjadi supporter dari rezim yang berkuasa.
Ferry Irwandi, dapat dikatakan, tipikal dari generasi yang resah dan tidak nyaman dengan situasi sekarang. Dalam satu debat dengan Budiman Sudjatmiko di InewsTV terkait siapa di balik kerusuhan aksi massa, dengan baik sekali, Ferry Irwandi berbeda pendapat dengan Budiman Sudjatmiko yang dipandang orang dengan istilah satir: masih menggunakan kalender 1998 di rumahnya. Dia berpikir, dunia masih seperti tahun 1998. Budiman membingkai penalarannya dengan tudingan terhadap pihak eksternal di luar pemerintah dan massa sendiri. Sedangkan Irwandi sebaliknya dengan data yang dimilikinya dan menyindir Budiman bicara berbunga-bunga.
Ferry Irwandi memiliki subscribers sebanyak 1,89 juta (https://youtube.com/@ferryirwandi?si=aEP-vgxmmqO_HeuM). Sedangkan Budiman hanya bangga dengan masa lalunya sebagai Ketua PRD yang kini telah meninggalkan corak oposisi terhadap penguasa yang tidak peka. Subsribersnya sendiri cukup lumayan, sebanyak 1,81 ribu. (https://youtube.com/@budimansudjatmiko4193?si=n2INChJL-xoEsrEr). Jangan bandingkan dengan Ferry Irwandi itu.
Anak-anak muda yang resah dengan kemunafikan dan bahaya masa depan kehidupan di Indonesia yang ditimbulkan oleh elit-elit politik yang korup, mementingkan diri sendiri dan tuli, bukan saja dimanopoli oleh Ferry Irwandi. Ada banyak pribadi-pribadi seperti mereka, dan di lingkungan jejaring netizennya memiliki pengaruh signifikan. Sebut misalnya, Tere Liye, seorang novelis tamatan SMA Nusantara yang terus memproduksi novel-novel protes, dan digemari banyak pembacanya. Mau tahu berapa pengikutnya di Facebook? 7,3 juta pengikut. (https://www.facebook.com/share/16tLpp4HUa/). Dia ini kerap menjadi penulis best seller di Indonesia.
Dan satu lagi anak muda dengan style semacam itu, Bhima Yudhistira, ekonom yang juga Direktur Celios, lembaga penelitian independen di Indonesia yang fokus pada kebijakan publik, ekonomi berkeadilan, dan pengembangan kapasitas daerah. Riset-riset ekonominya kerap merebut perhatian publik, seperti implikasi PPN 12 persen bagi anak-anak muda GenZ. Mereka juga melaporkan dugaan manipulasi data ekonomi yang dipublikasikan oleh BPS yang beraroma asal bapak senang kepada PBB.
Mereka adalah penanda aspirasi, cara berpikir dan model dedikasi generasi muda terhadap bangsanya yang kerap dieksploitasi dan dimanipulasi elit-elit yang tuna solidaritas sosial.
Beberapa dari representasi generasi ini, hari ini telah ditangkapi oleh polisi dengan tuduhan sebagai provokator, misalnya Delpedro Marhaen, Direktur Lokataru, kemudian Khariq Anhar, yang masih sebagai Mahasiswa Universitas Riau.
Sebaiknya, mereka anak-anak muda itu, diajak dialog dan diserap pendapat-pendapat mereka tentang masa depan Indonesia mau dibawa kemana. Mereka adalah anak-anak muda yang muak dengan kemanufikan dan selfish yang merajalela.
Jika mereka bangkit dan bersuara, itu pertanda Indonesia masih memiliki unsur-unsur penduduknya yang waras dan patriotik. Belum terkontaminasi sifat hidup oportunis.
Oleh: Bhre Wira, mantan aktivis mahasiswa 2000-an