MENJEMPUT KEBENARAN DENGAN RENDAH HATI: Meretas Jalan Persaudaraan di Tengah Keangkuhan Ego

Oleh: Munawir Kamaluddin, Guru Besar UIN Alauddin, Makassar, Sulawesi Selatan
Di langit yang luas, burung-burung tak saling bertabrakan, meski mereka terbang di arah yang berbeda.
Di bumi yang lapang, pohon-pohon tumbuh beragam, namun akarnya tetap merapat pada tanah yang satu. Begitu pula seharusnya kita, umat yang satu, walau jalan kita tak selalu serupa.
Namun sering kali, ada yang tak nampak tapi menghancurkan. ego yang diam-diam menjelma menjadi tuhan kecil dalam diri manusia, merasa paling benar, paling tahu, dan paling pantas didengar.
Sifat ego datang tak bersuara lantang, namun menggiring hati menolak kebenaran yang datang bukan dari dirinya.
Itulah sikap egois, penyakit hati yang tak kasat mata tapi mampu memecah belah umat.
إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْتَكْبِرِينَ
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong.”
(QS. An-Nahl: 23)
Egois: Saat Kebenaran Diklaim Sepihak
Sikap egois bukan hanya tampak dalam cara bicara atau berjalan. Ia tumbuh dalam klaim kebenaran yang sempit.
Seseorang merasa bahwa hanya pendapatnya yang benar, sementara selainnya adalah kesalahan besar.
Dalam forum diskusi, ruang debat, bahkan dalam perbedaan mazhab, egoisme bisa berubah menjadi senjata yang menikam ukhuwah.
Betapa banyak perpecahan umat ini bukan karena perbedaan yang tidak bisa dijembatani, tetapi karena hati yang enggan merendah dan ego yang enggan mengalah.
Dalam banyak perbedaan pendapat, tersimpan mutiara hikmah, yang hanya bisa ditemukan oleh jiwa yang lapang dan hati yang bersih.
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا • وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.”
(QS. Asy-Syams: 9–10)
Belajar dari Sunnah Nabi dan Ketawadhuannya
Rasulullah SAW. manusia paling mulia, tidak pernah menjadikan egonya sebagai pembenaran untuk menolak pendapat orang lain.
Dalam banyak kesempatan, beliau bermusyawarah dengan para sahabat, bahkan yang jauh lebih muda.
Saat terjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat), beliau tidak memaksakan pandangan jika itu bukan bagian dari wahyu.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
(HR. Al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad)
Nabi tidak menyerang perbedaan dengan amarah, tidak menyulut perpecahan dengan celaan.
Yang beliau lakukan adalah merangkul, mencarikan titik temu, dan menjunjung tinggi ukhuwah di atas ego.
Sunni dan Syiah: Antara Egoisme Mazhab dan Peluang Persaudaraan
Perbedaan antara Sunni dan Syiah telah melahirkan sejarah panjang yang tak selalu indah.
Namun bila kita jujur, akar dari luka-luka itu bukan sekadar doktrin, melainkan egoisme yang membungkus perbedaan dengan permusuhan.
Bukankah lebih bijak bila masing-masing pihak membuka ruang untuk saling memahami?
Bukankah Allah memerintahkan kita untuk bersatu?
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.”
(QS. Ali Imran: 103)
Ali bin Abi Thalib RA pernah berkata:
كلمة الحق لا تعرف بالرجال، ولكن اعرف الحق تعرف أهله
“Kebenaran itu tidak diukur dari siapa yang mengatakannya. Tetapi kenalilah kebenaran, maka kamu akan tahu siapa yang mengikutinya.”
Negeri-Negeri Arab dan Luka Perpecahan
Lihatlah negeri-negeri Islam seperti Yaman, Suriah, Irak, Libya, Palestina. Banyak dari mereka hancur bukan karena kekuatan musuh, melainkan karena egoisme kolektif yang merajalela di tubuh umat Islam sendiri.
Para elite saling berebut pengaruh, memperalat agama, dan memperuncing perbedaan untuk kepentingan kelompok.
Sementara musuh-musuh Islam bersatu dalam makar, kita sibuk memperdebatkan siapa yang paling benar, paling murni, paling mewakili Islam. Padahal, Islam itu samudra, tak mungkin disempitkan dalam gelas pemahaman pribadi.
Menuju Titik Temu: Mencari Cahaya di Tengah Gelapnya Ego
Marilah kita ubah cara pandang. Bahwa perbedaan bukan alasan untuk berpecah, tapi ladang untuk saling belajar.
Ikhtilaf bukan kutukan, tetapi rahmat yang menyuburkan kedewasaan berpikir.
Imam Syafi’i pernah berkata:
رَأْيُنَا صَوَابٌ يَحْتَمِلُ الْخَطَأَ، وَرَأْيُ غَيْرِنَا خَطَأٌ يَحْتَمِلُ الصَّوَابَ
“Pendapat kami benar, namun mungkin salah; dan pendapat orang lain salah, namun mungkin benar.”
Inilah tawadhu’ ilmiah, inilah kebesaran hati dalam perbedaan.
Ego atau Ukhuwah?
Kini kita dihadapkan pada pilihan:
Apakah kita akan terus memelihara ego, atau memelihara ukhuwah?
Apakah kita akan terus mengulang sejarah kelam perpecahan, atau mulai menulis sejarah baru tentang persatuan dan kedewasaan spiritual?
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. Maka damaikanlah antara kedua saudaramu itu.”
(QS. Al-Hujurat: 10)
Doa Penutup
اللَّهُمَّ طَهِّرْ قُلُوبَنَا مِنَ الْكِبْرِ، وَنَفُوسَنَا مِنَ الْأَنَانِيَّةِ، وَاجْعَلْنَا مِمَّنْ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ
“Ya Allah, sucikanlah hati kami dari kesombongan, bersihkanlah jiwa kami dari sifat egois yang mementingkan diri sendiri. Jadikanlah kami hamba-hamba-Mu yang mendengar kebenaran dan mengikuti yang terbaik darinya.”
Amin Ya Mujibassailin.# Wallahu A’lam bisshawab🙏