Mulyadi Soroti Dugaan Impor Limbah Elektronik (e-waste) Dilakukan PT Esun International Utama Indonesia di Kawasan Perdagangan Bebas Batam
KEPRI – Anggota Komisi XII DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Mulyadi mengungkapkan Komisi XII menyoroti dugaan impor limbah elektronik (e-waste) yang dilakukan oleh PT Esun International Utama Indonesia di kawasan perdagangan bebas Batam.
Menurut Mulyadi, kasus ini menjadi perhatian nasional setelah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menemukan indikasi pelanggaran izin impor bahan baku yang ternyata mengandung limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun).
Komisi XII menegaskan persoalan ini tidak hanya menyangkut kepatuhan hukum, tetapi juga menyentuh aspek keselamatan lingkungan dan kesehatan masyarakat. Berdasarkan hasil penelusuran KLHK, ditemukan lebih dari enam kontainer limbah elektronik yang berisi berbagai komponen bekas seperti charger, hard disk, printed circuit board (PCB), hingga monitor rusak, yang masuk melalui Pelabuhan Batu Ampar, Batam.
Mulyadi menjelaskan, praktik impor tersebut kuat dugaan melanggar regulasi lingkungan hidup.
“Kami mendapat informasi langsung dari KLH yang menyebut PT Esun terindikasi melanggar peraturan karena hanya berpedoman pada izin BP Batam. Padahal, KLH menegaskan barang tersebut adalah electronic waste, bukan bahan baku biasa. Bahkan dari Amerika Serikat sudah tertulis bahwa itu limbah elektronik,” kata Mulyadi kepada wartawan usai peninjauan di Batam, Kepulauan Riau, Rabu (29/10/2025) seperti dikutip situs DPR RI.
Ia menambahkan, tindakan tersebut bertentangan dengan Konvensi Basel yang secara tegas melarang negara maju mengekspor limbah B3 ke negara berkembang.
“Memang Amerika tidak ikut dalam Konvensi Basel, tapi itu bukan alasan bagi Indonesia untuk membiarkan limbah berbahaya masuk. Free trade zone tidak berarti bebas dari aturan lingkungan,” tegas Politisi Fraksi Partai Demokrat ini.
Menurut Mulyadi, indikasi pelanggaran oleh PT Esun sudah jelas, bahkan KLHK mengakui sebagian material impor mengandung limbah B3 yang harus diolah oleh pihak ketiga. Ia menilai perlu langkah hukum yang tegas melalui pembahasan Panja Lingkungan Hidup Komisi XII DPR RI.
“Kami akan mendalami kasus ini di Panja. Jangan sampai Batam dijadikan tempat pembuangan limbah B3. Ini bukan limbah biasa. Ini persoalan serius yang menyangkut keselamatan ekosistem,” ujar Mulyadi menegaskan.
Sementara itu, Komisi XII DPR RI melalui kunjungan kerjanya di Batam menilai pentingnya audit menyeluruh terhadap rantai pasok logistik dan sistem perizinan di kawasan FTZ Batam, termasuk potensi penyalahgunaan izin impor. DPR juga meminta agar seluruh proses re-ekspor limbah elektronik dilakukan sesuai mekanisme Konvensi Basel yang mengharuskan prior informed consent antarnegara.
Langkah tegas ini diharapkan dapat memastikan Batam tumbuh sebagai kawasan industri berdaya saing tinggi yang tetap berwawasan lingkungan dan bebas dari praktik impor limbah berbahaya. (aar