Pilkada dan Pertaruhan Masa Depan Bangsa

 Pilkada dan Pertaruhan Masa Depan Bangsa

Kang Ujang Komarudin, Pengamat Politik Universitas Al-Azhar Indonesia

0leh: Ujang Komarudin*

Masa depan bangsa sedang dipertaruhkan. Pertaruhan itu ada dalam Pilkada serentak tahun 2018. Pilkada menjadi salah satu pintu masuk dalam pembangunan bangsa. Dan akan menentukan masa depan bangsa kedepan.

Pilkada yang beradab akan menciptakan pembangunan daerah yang pesat dan juga akan menciptakan pertumbuhan ekonomi nasional. Jika daerahnya maju, maka pembangunan nasional pun akan melaju.

Begitu juga sebaliknya, jika daerahnya terbelakang, maka pembangunan nasional akan stagnan bahkan cenderung akan mundur kebelakang.

Pilkada juga akan menjadi momen menentukan dalam proses perjalanan bangsa kedepan. Pilkada yang aman, damai, bersih, jujur, dan adil akan menjadi cermin bagi dunia internasional dan menilai bahwa bangsa Indonesia sukses dalam menjalankan pesta demokrasi lokal dan akan menjadi inspirasi dunia. Pilkada yang sukses akan menjadi pembuktian bahwa Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia.

Namun, jika Pilkada berlangsung chaos, terjadi intevensi oleh pemerintah, penyelenggara Pilkada –KPUD dan Panwaslu—ikut “cawe-cawe” dan diam-diam mendukung calon tertentu, TNI, Kepolisian dan Kejaksaan tidak netral, Badan Intelijen Negara (BIN) memihak, terjadi kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan massif, konflik horizontal, saling fitnah dan adu domba, ini semua akan mengancam peradaban dan masa depan bangsa.

Masa depan daerah dan bangsa tidak mungkin bisa dibangun dengan kecurangan, kebencian, keributan, dan kegaduhan. Masa depan bangsa hanya akan bisa dibangun kedamaian, persatuan, kesatuan, cinta, dan kasih sayang.
Bangsa ini sedang mengalami defisit keteladanan. Jika zaman old kita memiliki pemimpin yang bisa dijadikan panutan; seperti HOS Tjokroaminoto, Soekarno, Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, Sutan Sjahril, Mohammad Roem, KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, Buya Hamka dan masih banyak lagi tokoh-tokoh bangsa yang bisa dijadikan panutan dalam beragama dan bernegara.

Di zaman now kita sedang dihadapkan pada dilema miskinnya keteladanan dari para pemimpin daerah dan pemimpin nasional. Fakta menunjukkan banyak dari para bupati/walikota/gubernur, dan DPRD terjaring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena melakukan Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN). Para kepala daerah yang seharusnya menjadi contoh yang baik bagi masyarakatnya terjebak dalam permainan tindak pidana korupsi.

Begitu juga dalam konteks kepemimpinan nasioanal. Banyak tokoh nasional yang terperangkap dalam perbuatan nista dan tercela karena melakukan korupsi, baik yang dilakukan sendiri-sendiri atau berjamaah. Banyak Menteri, Anggota DPR RI, Ketua Umum Partai Politik yang terjerat KPK karena menggarong uang negara.

Bahkan eks ketua-ketua lembaga tinggi negara seperti Ketua MK Akil Muchtar, Ketua DPD RI Irman Gusman, dan Ketua DPR RI Setya Novanto menjadi terdakwa dan terpidana dan dijebloskan kepenjara. Kepada siapa lagi rakyat harus percaya. Kepada siapa lagi rakyat harus mencontoh. Kepada siapa lagi rakyat harus mengadu. Kepada siapa lagi rakyat harus menyampaikan aspirasi dan keluhan hidupnya jika pejabat-pejabatnya –baik di daerah maupun di pusat—asyik sendiri terlibat permainan korupsi yang tak pernah berhenti.

Defisit keteladan dalam kepemimpinan daerah dan nasional harus menjadi evaluasi bagi kita semua. Tak mungkin daerah dan bangsa ini dibangun atas dasar perilaku korup yang dicontohkan oleh pemimpin daerah dan nasional. Bangsa ini akan memiliki masa depan yang cerah, gemilang dan indah jika kepemimpinan di daerah dan nasional kompak bersatu padu dalam membangun bangsa. Hindari dan jangan libatkan diri dalam korupsi. Selain karena akan menghancurkan daerah, bangsa, dan negara. Tetapi juga akan memberi contoh yang buruk bagi masyarakat.

Masyarakat sedang dan akan mencari pemimpin daerah yang bisa dijadikan panutan bagi mereka. Kurangnya contoh baik yang diberikan oleh elit-elit lokal dan nasional membuat rakyat kehilangan panutan. Yang terjadi adalah distrust antara rakyat kepada pemimpinnya. Jika rakyat sudah tidak percaya kepada pemimpinnya, maka tunggulah kehancuran pemimpin tersebut. Dan jika rakyat sudah marah, maka yang rugi bukan hanya pemimpinnya. Tetapi juga daerah, bangsa, dan negara.

Pilkada harus jadi starting point untuk membangun masa depan bangsa yang yang sejahtera. Pilkada jangan hanya dijadikan ajang untuk mencari kekuasaan semata. Pilkada jangan hanya dijadikan ambisi para elit untuk menjadi raja-raja di daerah. Pilkada juga jangan hanya dijadikan cara untuk mengeruk kekayaan di daerah. Tetapi jadikanlah Pilkada sebagai momen terbaik untuk membangun daerah dan bangsa kearah yang lebih baik.

Masa depan bangsa dan negara ada ditangan kita semua. Kita lah yang harus menentukan masa depan bangsa dan negara. Jangan hanya kerena uang “cendol”, sembako, atau pemberian lainnya dari para kontestan Pilkada, masa depan bangsa dipertaruhkan. Yakinlah, jika kita semua menolak money politics, maka para Paslon, partai politik, dan tim suksesnya juga tidak akan berani untuk membeli suara.
Namun terkadang teori jauh dari kenyataan.

Secara teori dan aturan kita tidak diperkenankan untuk melakukan dan menerima pemberian dari pihak-pihak yang terlibat dalam Pilkada. Tapi faktanya pemberian uang kepada oknum-oknum penyelenggara, oknum penegak hukum, dan masyarakat massif terjadi diseluruh daerah di wilayah NKRI ini.

Stop Money Politics. Jangan ajari rakyat untuk melakukan suap dan praktik korup yang akan menghancurkan masa depan bangsa. Stop memberi contoh yang buruk kepada masyarakat. Stop dalam melakukan kecurangan-kecurangan. Disadari atau tidak, diakui atau tidak. Pilkada yang baik, bersih, jujur, dan adil akan menentukan masa depan bangsa. Dan Pilkada yang rusak, curang, dan dikondisikan akan menghancurkan bangsa.
Mari jaga agar Pilkada jujur, adil, dan transparan.

*Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) & Pengamat Politik Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Jakarta

Facebook Comments Box