POLARISASI POLITIK DAN ANARKISME MASSA: Tantangan Demokrasi dan Keamanan Nasional

 POLARISASI POLITIK DAN ANARKISME MASSA: Tantangan Demokrasi dan Keamanan Nasional

Oleh: Munawir Kamaluddin, Guru Besar UIN Alaudin Makassar

Di persimpangan sejarah bangsa, kita sedang menyaksikan betapa ruang publik dipenuhi oleh suara gaduh yang bercampur baur.

Kabar yang seringkali tidak terverifikasi, unggahan media sosial yang menyulut amarah, dan massa yang bergerak seolah tanpa kendali, bagaikan ombak yang kehilangan arah.

Pada saat seperti ini, tidakkah kita perlu berhenti sejenak untuk menengok ke dalam, menanyakan pada diri sendiri, ke mana sesungguhnya kita sedang diarahkan?

Apakah kita sedang membangun sebuah rumah besar bernama Indonesia, atau justru meruntuhkannya dengan tangan kita sendiri?

Negara bukanlah sekadar mesin birokrasi yang berputar oleh regulasi kering.

Ia adalah rumah bersama, tempat di mana setiap tarikan nafas rakyatnya saling terkait dalam ikatan kolektif, hidup dari kehormatan, keadilan, dan rasa percaya.

Namun, ketika polarisasi politik semakin meruncing, ketika anarkisme massa dianggap sebagai jawaban instan atas kemarahan, maka demokrasi yang didambakan akan menjadi rapuh, dan keamanan yang menjadi nafas kehidupan masyarakat akan terkikis perlahan.

Polarisasi itu nyata. Politik identitas, yang seharusnya menjadi pengakuan atas keragaman bangsa, justru kerap dimobilisasi untuk memperuncing perbedaan.

Simbol-simbol agama, suku, atau kelas diseret masuk ke gelanggang politik demi meraup suara, hingga ruang publik menjadi medan pertarungan yang memecah belah.

Bukankah ini ironi bagi bangsa yang dibangun di atas semangat persaudaraan dan gotong royong?

Disinformasi memperparah luka itu. Hoaks, potongan video di luar konteks, narasi provokatif yang membakar emosi, tersebar lebih cepat daripada kebenaran.

Kita hidup dalam era di mana bukan lagi fakta yang berkuasa, melainkan emosi.

Pertanyaannya, apakah kita rela demokrasi kita berubah menjadi sekadar arena adu klaim emosional, di mana kebenaran dikalahkan oleh kebohongan yang berulang?

Di balik itu semua, ada luka struktural yang lebih dalam, ketimpangan ekonomi yang tajam, rasa ketidakadilan yang menumpuk, dan kebijakan diskriminatif yang meruntuhkan kepercayaan rakyat pada para pengelola negara.

Ketika institusi penegak hukum dan politik tidak lagi dipercaya, rakyat pun mencari keadilan di jalanan.

Namun, jalanan bukanlah ruang hukum, ia adalah ruang amarah.

Dari sanalah anarkisme lahir, pembakaran, pengerusakan, bentrok dengan aparat.

Lalu siapa yang paling menderita? Bukan elite politik, bukan oligarki lokal, melainkan rakyat kecil yang kehilangan keamanan dan ruang hidupnya.

Islam, dengan segala ketinggian ajarannya, telah lama memberi pijakan moral yang jelas agar kita menolak polarisasi dan anarkisme. Allah SWT. mengingatkan:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا…
“Dan berpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah bercerai-berai.” (QS. Āli `Imrān [3]:103)

Apakah ayat ini tidak cukup jelas bahwa kekuatan kita justru terletak pada persatuan, bukan pada perpecahan?

Tidakkah kita merasa ngeri ketika menyadari bahwa permusuhan yang kita pelihara hari ini adalah benih kehancuran bangsa esok hari?

Nabi SAW. pun menegaskan:
«لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ»
“Tidak sempurna iman seseorang hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari & Muslim)

Lalu mari kita bertanya jujur, apakah kita sungguh mencintai sesama anak bangsa ini sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri?

Ataukah justru kita diam-diam menikmati ketika kelompok lain jatuh, hanya karena berbeda pilihan politik?

Umar bin Khattab RA. pernah mengingatkan:
حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا –“Periksalah dirimu sebelum engkau diperiksa (oleh Allah).”

Bukankah ini saatnya bangsa kita melakukan muhasabah bersama?

Bukankah lebih baik kita jujur mengakui bahwa polarisasi dan anarkisme ini lahir juga dari kelalaian kita ?.

Dengan cara membiarkan korupsi subur, membiarkan oligarki lokal merajalela, membiarkan disinformasi menenggelamkan nurani kita , akan mempercepat kejatuhan bangsa ini.

Namun, introspeksi saja tidak cukup. Kita butuh jalan keluar yang nyata.

Negara harus hadir, tapi rakyat juga harus berpartisipasi. Aparat keamanan mesti responsif tanpa represif. Tokoh agama dan masyarakat harus menjadi jembatan mediasi, bukan kompor provokasi.

Dunia pendidikan perlu menanamkan literasi digital dan etika dialog sejak dini, agar generasi mendatang tidak mewarisi budaya gaduh tanpa substansi.

Dan yang lebih penting, para pemimpin politik harus jujur mengakui bahwa keadilan adalah asas kekuasaan.

Tanpa keadilan, pemerintahan hanya tinggal nama, demokrasi hanya tinggal ritual, dan keamanan hanya tinggal jargon.

Pertanyaannya kini adalah, apakah kita siap menempuh jalan yang lebih berat, yaitu jalan rekonsiliasi, keadilan, dan tanggung jawab bersama?

Ataukah kita masih memilih jalan yang lebih mudah tetapi mematikan, yakni jalan kebencian, polarisasi, dan anarkisme?

Bangsa besar tidak dinilai dari gegap gempita retorika politik, melainkan dari kemampuannya menahan diri ketika diuji, dari keberaniannya untuk memperbaiki kesalahan.

Dan dari kebijaksanaannya untuk menegakkan keadilan tanpa harus menempuh jalan kekerasan.

Maka marilah kita berdoa:
وَاللَّهُ مُوَفِّقٌ وَهُدَاهُ يَهْدِي إِلَى السَّلَامِ
“Dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk; semoga petunjuk-Nya membawa kita pada kedamaian.”

# Walllahu A’lam Bis-Sawab

Facebook Comments Box