POLITIK SIMBOLIK VS POLITIK SUBSTANTIF: Mengapa Rakyat Turun ke Jalan?

 POLITIK SIMBOLIK VS POLITIK SUBSTANTIF: Mengapa Rakyat Turun ke Jalan?

Oleh: Munawir Kamaluddin, Guru Besar UIN Alaudin Makassar

Di tengah riuh kota yang lampunya memantul pada genangan hujan ekonomi, spanduk-spanduk yang berkibar bukan lagi sekadar kain yang terikat pada bambu. Mereka adalah wajah dari kecemasan kolektif, simbol dari amarah yang lama terpendam.

Di sisi lain republik, kursi empuk, gedung berlampu kristal, dan pidato puitis yang menggema di televisi tampil sebagai pertunjukan simbolik yang berkilau.

Namun, ketika simbol itu berjarak terlalu jauh dari perut rakyat, dari mimpi anak muda, dari rumah-rumah kecil yang masih berjuang melawan beban kredit, maka jalanan pun menjelma kitab terbuka, menulis ulang legitimasi negara.

Pertanyaannya sederhana namun perlu mendapat respon, ketika seorang pemimpin terus menabur janji dengan kata-kata indah, sementara jalan-jalan tetap berlubang, perut tetap lapar, dan sekolah-sekolah tetap kekurangan guru, manakah yang lebih berat bagi rakyat, rasa malu ataukah amarah?

Bukankah lebih menghina mendengar retorika kepedulian, tetapi menyaksikan kemewahan pejabat di layar kaca?

Apakah kita marah pada tampilan belaka, ataukah kita sadar bahwa akar kebijakan yang mengatur distribusi sumber daya memang telah mencederai rasa keadilan?

Inilah wajah politik simbolik, politik yang memahat citra dengan retorika, ritual, dan gestur. Politik yang menenangkan sesaat, tetapi tidak memberi roti di meja makan.

Murray Edelman menyebutnya dramaturgi politik, sebuah panggung besar tempat simbol mengaburkan realitas.

Lawannya adalah politik substantif, yaitu politik yang hadir dalam bentuk kebijakan nyata, distribusi adil, dan layanan publik yang dapat diukur dampaknya.

Jika politik simbolik hanya memproduksi citra, politik substantif menyentuh kehidupan sehari-hari.

Kemarahan rakyat kerap lahir bukan semata dari kebijakan yang berat, melainkan dari jarak antara simbol dan realitas.

Skandal tunjangan mewah, potret pesta pejabat, atau pidato yang memuja-muja kemiskinan sebagai romantisme, semua itu menjadi percikan yang menyalakan bara.

Namun, di balik percikan itu tersimpan tumpukan luka lama, ketidakadilan distribusi, korupsi, dan polarisasi politik yang mengalienasi suara rakyat.

Ketika hukum hanya tampak tajam untuk rakyat kecil, sementara tumpul di hadapan elite, kepercayaan pada gagasan keadilan universal pun runtuh.

Maka jalanan menjadi ruang bahasa terakhir yang tersisa, tempat rakyat bersuara dengan tubuh mereka sendiri.

Islam memberi landasan moral yang tajam untuk membaca fenomena ini. Al-Qur’an menegaskan:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
(QS. 10 [49])
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara; maka damaikanlah antara kedua saudaramu, dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu dirahmati.”

Prinsip ini menegaskan bahwa legitimasi kekuasaan bukan sekadar simbol persaudaraan, tetapi harus diwujudkan dalam substansi keadilan sosial. Begitu pula ayat lain:
وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ
(QS. [42]: 38)
“Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka.”

Artinya, simbol musyawarah dalam upacara negara tidak cukup; ia harus dilaksanakan dalam wujud nyata partisipasi rakyat dalam kebijakan publik.

Nabi SAW. juga bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
(HR. Muslim)
“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya,dan itu selemah-lemahnya iman.”

Hadits ini adalah panggilan moral agar masyarakat tidak tunduk pada tipu daya simbol, melainkan berani menuntut perubahan nyata. Umar ibn al-Khaṭṭāb ra. berpesan:

حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَزِنُوهَا قَبْلَ أَنْ تُوزَنُوا
“Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab, dan timbanglah amalmu sebelum ditimbang (di akhirat).”

Ini bukan sekadar nasihat spiritual, tetapi prinsip akuntabilitas politik yang menuntut para pemimpin jujur pada rakyat dan dirinya sendiri. Ibn Taymiyyah pun menegaskan:

إِنَّ اللَّهَ يُقِيمُ الدَّوْلَةَ الْعَادِلَةَ وَإِنْ كَانَتْ كَافِرَةً، وَلَا يُقِيمُ الدَّوْلَةَ الظَّالِمَةَ وَإِنْ كَانَتْ مُسْلِمَةً
“Sesungguhnya Allah akan menegakkan negara yang adil meskipun dipimpin oleh orang kafir, dan Allah tidak akan menegakkan negara yang zalim meskipun dipimpin oleh orang Muslim.”

Maksudnya, keadilan adalah substansi yang menopang negara, sedangkan simbol hanyalah hiasan belaka.

Namun kritik tak boleh berhenti pada keluh-kesah. Jalan keluar menuntut keberanian menegakkan substansi.

Transparansi fiskal adalah pintu pertama, rakyat berhak tahu kemana anggaran dipakai, sejauh mana tunjangan dibelanjakan.

Partisipasi publik dalam perencanaan anggaran, sebuah bentuk sura ( Musyawarah) modern, mesti dihidupkan.

Perlindungan sosial, penciptaan lapangan kerja, dan dukungan nyata bagi UMKM adalah bukti riil bahwa negara hadir.

Begitu pula, reformasi hukum dan pengawasan independen terhadap aparat adalah kunci agar hukum tak lagi hanya berpihak pada yang berkuasa.

Di sisi budaya, pendidikan integritas dan muhasabah harus menjadi jiwa birokrasi.

Ritual politik tidak boleh berhenti sebagai panggung, melainkan harus diikuti kebijakan nyata dengan indikator terukur.

Civil society perlu diperkuat agar menjadi pengawas moral negara, sehingga ruang musyawarah bukan sekadar basa-basi.

Tantangannya jelas, legitimasi yang rapuh bisa dengan mudah dimanfaatkan oleh ekstremisme.

Represi hanya akan menambah radikalisasi, dan ekonomi global yang timpang akan terus menekan ruang fiskal pemerintah.

Tetapi di balik tantangan, ada peluang: krisis ini bisa menjadi momentum reformasi.

Jika elite berani keluar dari simbol dan menyelami substansi, maka rakyat akan kembali percaya.

Biarlah jalanan menjadi pengingat, bahwa politik yang hanya indah di telinga tetapi lapar di meja makan adalah dusta berbalut sutra.

Politik yang sejati adalah politik yang memberi roti di dapur rakyat, harapan di hati pemuda, dan keadilan di meja hukum.

Kita ditantang untuk menyulam kembali kain kebangsaan, menjadikan simbol bukan pengganti, melainkan jembatan menuju substansi.

Seperti sabda Nabi SAW. Ubah kemungkaran dengan tangan, dengan lisan, atau dengan hati.” Maka setiap langkah menuju keadilan adalah cahaya yang menyingkap tirai simbol menuju terang substansi.

#Wallahu A’lam Bis-Sawab🙏

Facebook Comments Box