Suatu Pagi pada Suatu Keluarga Indonesia di Lapisan Bawah

Calon Bupati Majalengka nomor urut 1 Maman Imanulhaq begitu dekat dengan rakyatnya
Seorang Ibu di pagi hari ngomelin anaknya. Tapi omelannya ini 100% betul. Saya kira ini mencerminkan masalah umum khalayak masyarakat Indonesia kontemporer.
Anak-anaknya malas bangun pagi untuk berangkat ke sekolah. Karena pada malam harinya, kebetulan malam Senin, anak-anaknya sampai jam 10 malam, menghabiskan waktu, emosi dan tenaganya bermain game online bersama teman-temannya. Mabar atau main bareng, istilahnya. Akhirnya, begitu tidur bablas sholat subuh, dan harus dibangunin dengan ngomel-ngomel oleh orang tuanya. Ini adalah realita harian anak-anak Indonesia kontemporer yang hidup dengan masing-masing punya HP dan banyak yang kecanduan game.
“Bangun, nggak, kalian!!! Ini sudah jam berapa, ini? Nanti terlambat sekolah!” Seru seorang Ibu.
Yang dibangunin, masih saja malas-malasan untuk bangun. Akhirnya, kaki anaknya ditarik dari kasur supaya segera bangun. Tapi tetap saja malas-malasan untuk bangun. Kontan omelan mengalir deras.
“Kalian ini, mau jadi apa? Kalian tahu nggak, jika kalian tidak sekolah, kalian hanya jadi budak orang-orang kaya ke depan. Anak-anak mereka di luar negeri sekolahnya belajar disiplin dan menikmati pendidikan bagus, sedangkan kalian di sini malas-malasan sekolah. Orang-orang tua mereka sekarang menjajah dan menguasai orang-orang tuamu, apa kamu nanti mau juga dijajah dan dikuasai oleh anak-anak mereka karena kalian memilih bodoh?”
“Lihat tuh orang-orang kaya, yang di DPR, yang jenderal, Dirjen, yang gubernur, yang bupati, anak-anak mereka sekolah di tempat-tempat terbaik dan mahal. Mereka pada sekolah di luar negeri. Pantas saja kalian tidak bisa bersaing nanti, kecuali sebagai budak mereka. Sebagian lagi langsung masuk sekolah kedinasan karena jatah orang tua mereka. Nanti mereka akan menggantikan kedudukan orang tua mereka untuk menjajah kalian. Mengkorupsi hak-hak hidup kalian!!! Mereka akan menjajah kita turun temurun. Mau kalian begitu?!!”
“Sengaja, kok, kalian dibuat bodoh sama orang-orang kaya dan para pejabat itu. Standard mutu sekolah, dibikin rendah dibandingkan dengan di luar. Kalau sekolah di sini bagus, anak-anak mereka pasti tidak akan ke luar negeri. HP dipaksakan oleh guru-guru ikut dalam pengerjaan tugas sekolah. Supaya kalian kecanduan HP. Kecanduan TikTok. Joget-joget seperti monyet sirkus. Supaya kalian biasa tolol dan gampang dijajah. Bajingan memang orang-orang di atas sana!”
Walhasil kemarahan orang tua tersebut malah beralih bukan lagi kepada anaknya. Tapi kepada objek yang dipandangnya sebagai biangkerok kerusakan yang menimpa kehidupan anak-anaknya. Dia melihat, sejak Jokowi berkuasa yang memasyarakatkan penggunaan HP, terutama ketika waktu Covid 19, anak-anak sekolah jadi rusak akhlak dan ketertiban hidup. Anak-anak jadi kecanduan HP dan mungkin tanpa sepengetahuan para orang tua, anak-anak sudah mengakses situs-situs porno. Dia marah sekali dengan Jokowi yang dipandangnya sebagai penjajah itu.
“Lihat si Jokowi, itu. Mana anak-anaknya yang sekolah di dalam negeri? Anak-anaknya sekolah di luar negeri. Di Singapur. Tapi sekarang, anaknya sudah menjadi penguasa, sudah siap menjajah kalian. Mereka orang-orang kaya, sudah siap melanjutkan penjajahan terhadap kalian. Kalian akan mengemis kepada mereka untuk sekedar mendapatkan gaji sejuta dua juta, tapi sebenarnya kalian tidak mendapatkan kerja-bebas dan diperbudak sesuka mereka sampai kalian tua. Mereka memperdagangkan hasil-hasil jerih payah kalian, di bursa-bursa saham. Suka kalian, dijajah?!!! Haa!!!”
“Kalian harus rajin belajar. Berambisi untuk pintar. Jangan mau dibodohi. Orang sekarang, rata-rata nyari makan dan kesenangannya, membodohi orang-orang yang gampang dibodohi. Supaya mereka perbudak dan ambil tenaganya buat kekayaan mereka! Dengar, nggak apa yang Ibu bilang? Jangan sampai kalian dijajah oleh golongan yang sekarang menjabat dan orang-orang kaya, walaupun mereka sama tampang dan bahasanya dengan kita. Mereka sengaja menjaga kesenjangan, supaya mereka tetap menjajah dan memeras kita. Kalian harus sadari itu, Nak. Itulah keadaan kita hari ini. Dulu penjajahnya, tampang dan bahasanya beda dengan kita. Sekarang sama. Agamanya pun sama. Tapi kedudukan dan keistimewaan hidup mereka, berbeda dengan kita, Nak. Cepat bangun!”
Anak-anaknya yang semalaman lelah main game dan tertawa girang bersama teman-teman mabarnya, masih belum hilang kantuknya. Tapi disergap dengan berondongan omelan ibunya, mau tak mau makin tak nyaman untuk terus memanjakan rasa kantuknya. Anaknya itu berangsur bangun. Tapi sebenarnya dia mendengar juga omelan logis dari ibunya itu.
“Coba. Kalau kalian gagal sekolah. Betapa tidak mudahnya hidup sekarang dan nanti, jika tak punya sekolah. Bangun!!! Cepat mandi!”
Hari itu, para mahasiswa lagi ramai juga berunjuk rasa. Mereka memprotes kebijakan pemerintahan yang baru dilantik yang tidak memuaskan aspirasi masyarakat. Awan mendung menggelayut di langit. Seperti nasib masa depan anak-anak muda bangsa Indonesia yang tidak jelas arahnya, kecuali akan tetap menjadi sajian penjajahan dan perbudakan untuk orang-orang kaya di sana dan para pejabat dan elit-elit yang telah dengan rapi menguasai setiap inci sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan di negeri ini.
Suatu waktu, terbetik kabar tentang orang-orang kaya yang apes dan tewas mengendarai motor gede dan suka dikawal pakai plupplup totot, tapi warga di TikTok justru bilang dengan enteng: sesuai harapan netizen. Ungkapan ini merefleksikan betapa bencinya di lapisan bawah sana orang-orang tertindas terhadap perilaku orang-orang kaya.
*~Bhre Wira*