SUMPAH PEMUDA DI PERSIMPANGAN ZAMAN: Antara Romantisme Sejarah dan Krisis Identitas Generasi

 SUMPAH PEMUDA DI PERSIMPANGAN ZAMAN: Antara Romantisme Sejarah dan Krisis Identitas Generasi

Oleh: Munawir Kamaluddin, Guru Besar UIN Alaudin, Mskassar

Apakah hatimu masih bergetar ketika membaca kata “Sumpah Pemuda” ? ataukah getar itu kini hanya bayang-bayang di layar yang cepat pudar?

Apakah kita, generasi yang lahir di antara ledakan informasi dan kecanggihan teknologi, masih mampu meneguhkan janji pada tanah air, bangsa, dan bahasa bukan sekadar sebagai upacara tahunan melainkan sebagai napas setiap hari yang menuntun tindakan nyata?

Dalam bait-bait pertanyaan itu terletak sebentuk panggilan, sebuah panggilan internal kepada setiap pemuda dan pemudi untuk berhenti sejenak, menengok ke dalam, menimbang derap langkah, dan menilai: apakah ikrar para leluhur masih hidup dalam darah kita, ataukah hanya menjadi slogan yang indah saat dipajang di poster?

Sumpah Pemuda bukan sekadar teks, ia adalah janji jiwa. Ketika para pemuda 1928 berseru, mereka menabuh genderang perlawanan bukan semata untuk mendapatkan pengakuan, melainkan menegaskan sebuah kesepakatan moral: bersatu dalam semangat, bertempat di tanah air yang sama, berbicara dalam bahasa yang menyatukan.

Di era kini, kita berdiri di persimpangan zaman, antara romantisme sejarah yang menawan dan krisis identitas yang menjerat.

Romantisme mengajarkan kita untuk mencintai cerita pahlawan, krisis memaksa kita bertanya: apakah kita sanggup mencontoh mereka dalam keberanian dan pengorbanan, atau hanya mengagungkan namanya dari kejauhan?

Al-Qur’an mengingatkan kita tentang hakikat persatuan dan martabat kemanusiaan:
“يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى…”
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan…” (QS. Al-Hujurat: 49:13).

Ayat ini menegaskan bahwa kemanusiaan menjadi pondasi persatuan, bukan suku, bukan golongan, bukan kelas, melainkan martabat bersama yang harus dipelihara.

Dan firman Allah yang lain menjadi panggilan moral:
“وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا…”
“Berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.” (QS. Al-‘Imrân: 3:103).

Tali itu tidak sekadar tali ritual, ia adalah tali kebersamaan, solidaritas, dan kerja sama untuk kebaikan.

Lalu di mana posisi pemuda pada persimpangan ini? Kita temukan dualitas tajam: kemampuan teknis yang tinggi dan akses tanpa batas pada informasi, namun di sisi lain terdapat rapuhnya kedalaman nilai: mudah tergoda oleh konsumsi, akrab dengan viral namun jauh dari pengorbanan.

Di sinilah krisis identitas muncul, generasi yang kompeten secara teknis, tetapi terhambat daya juangnya.

Rangkaian hadits mengusik nurani:

“مَنْ لَمْ يَهْتَمَّ بِأَمْرِ المُسْلِمِينَ فَلَيْسَ مِنْهُمْ” “
Barangsiapa yang tidak peduli terhadap urusan kaum Muslimin, maka ia bukan termasuk mereka.”

Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa perawi yang maknanya menegaskan kewajiban peduli dan bertindak.Hadits ini menyentak peduli bukan pilihan, ia kewajiban yang memaksa tindakan nyata.

Dari sini hadir pertanyaan yang harus dijawab oleh setiap pemuda: apakah diamku adalah bentuk kepedulian atau pengkhianatan kecil terhadap cita-cita bersama?

Krisis identitas bukan hanya soal kehilangan simbol, ia soal retaknya etika publik, toleransi yang terkikis, wacana yang meruncing menjadi kebencian, prioritas yang salah (viralitas mengalahkan kerja nyata), dan konsumerisme yang menggantikan kreativitas produktif.

Namun, menyoroti masalah bukan berarti menyerah. Sebaliknya, pengakuan masalah adalah langkah awal menuju solusi.

Solusi yang bersifat holistik harus dimulai dari dalam diri, pendidikan nilai yang bukan sekadar kurikulum formal, melainkan pendidikan integratif yang menggabungkan kecerdasan intelektual dengan kecerdasan moral dan spiritual.

Pemuda harus dibekali bukan hanya keterampilan teknis tetapi juga etika kepemimpinan, literasi media, budaya kritis, dan cinta tanah air yang nyata.

Karena nasionalisme sejati bukan seremonial, ia muncul ketika seseorang rela mengorbankan waktu, kenyamanan, dan kepentingan pribadi demi kebaikan bersama.

Melalui tulisan ini , izinkan saya menegaskan beberapa jalan, bukan sebagai daftar mekanis, melainkan sebagai arah gerak kolektif yang saling menguatkan:

*Pertama,* gerakan literasi kritis: bukan sekadar baca-tulis, melainkan kemampuan memilah informasi, memahami konteks sejarah dan politik, serta melahirkan narasi alternatif yang membangun.

Pemuda harus menjadi intelektual organik, bukan hanya di ruang kelas tetapi juga di ruang publik, media sosial, dan komunitas akar rumput.

*Kedua,* kemandirian ekonomi berbasis etika: mendorong kewirausahaan sosial dan ekonomi kreatif yang menempatkan nilai kemanfaatan bagi masyarakat.

Ini termasuk literasi keuangan, inklusi perbankan, pengembangan koperasi modern, dan visi ekonomi yang tidak hanya mengejar laba tapi juga kemaslahatan.

Pemuda di perbankan dan sektor finansial harus memegang etika, transparansi, keadilan akses, dan dukungan pada usaha mikro yang membangun basis ekonomi rakyat.

*Ketiga,* politik kebajikan: menuntut partisipasi aktif dalam proses politik, bukan sebagai penonton, tetapi sebagai kader perubahan.

Dari mengawasi kebijakan lokal hingga terlibat dalam legislatif, pemuda harus hadir untuk memastikan kebijakan berpihak pada masa depan bangsa, pendidikan, lingkungan, dan keadilan sosial.

*Keempat,* revolusi budaya digital yang humanis: gunakan teknologi untuk memperkuat identitas nasional, menciptakan konten budaya, pendidikan sejarah, dan ruang dialog antar-golongan.

Lawan disinformasi dengan karya kreatif yang informatif, lawan polarisasi dengan proyek-proyek kolaboratif lintas komunal.

*Kelima,* kehadiran spiritual yang merawat moralitas: kegiatan keagamaan yang disertai refleksi, dialog antar-iman, dan aksi sosial, karena jiwa yang terawat akan melahirkan tindakan yang bertanggung jawab.

Dalam tradisi Islam, para ulama mengingatkan pentingnya amal dan ilmu yang bersih dari riya (menunjuk-nunjuk). Qaul sahabat dan ulama selalu mengajarkan bahwa ilmu tanpa amal adalah setengah mati, iman tanpa amal kehilangan makna.

Solusi struktural pun mesti berjalan seiring, reformasi pendidikan nasional yang menempatkan pendidikan karakter dan sejarah kebangsaan sebagai bahan hidup, kebijakan ekonomi yang mendukung UMKM generasi muda, pembaruan tata kelola digital untuk melindungi ruang publik, serta insentif bagi inovasi sosial yang menyatukan kepentingan lokal dengan kesempatan global.

Namun semua itu tak akan berarti kalau tidak dimulai dari kesadaran personal, meneguhkan kembali sumpah dalam tindakan sehari-hari, memilih integritas ketika mudah berkompromi, memberi waktu ketika lebih mudah berfoya, bersuara ketika lebih aman diam.

Itulah esensi kebangkitan, bukan sekadar suara gaduh di luar, tetapi suara nurani yang bergetar dan memandu langkah.

Mari kita tutup renungan ini dengan gema panggilan historis dan spiritual, bangsa ini pernah dipersatukan oleh tekad para pemuda yang sederhana, mereka tak punya kekayaan teknologi, tapi mereka punya prinsip, mereka tak punya jaringan global, tapi mereka punya keberanian.

Kita, pemuda zaman ini, dianugerahi kelebihan luar biasa, ilmu, teknologi, dan akses yang belum pernah dimiliki generasi sebelumnya.

Dengan anugerah itu datang tanggung jawab besar, jangan biarkan kemudahan itu menjadi alat pengalihan dari tugas luhur kita.

Allah berfirman:
“كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ…”
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia; kamu menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar…” (QS. Ali Imran: 3:110).

Ayat ini bukan sekadar pujian historis, ia adalah tuntutan moral, agar kita menjadi umat yang aktif menegakkan kebaikan.

Jika pemuda hari ini bersedia menjadi agen kebaikan, dengan kecerdasan, kepekaan etis, dan kreativitas, omaka romantisme sejarah Sumpah Pemuda akan hidup kembali bukan sebagai nostalgia, tetapi sebagai manifestasi nyata, bangsa yang bersatu, bangsa yang berdaya, bangsa yang beradab.

Akhirnya, mari kita ucapkan lagi, bukan sekadar dengan mulut, melainkan dengan janji tindakan.

Kita bersatu dalam perbuatan, kita menjaga tanah air dalam kerja keras, kita memartabatkan bahasa bukan hanya dalam pidato, tetapi dalam karya intelektual dan budaya, kita memaknakan sumpah itu bukan sebagai relik masa lalu, tetapi sebagai kompas masa depan.

Bangkitlah, wahai pemuda, bukan untuk sekadar menjadi bayangan pahlawan, tetapi menjadi pahlawan di zamanku sendiri, dengan ilmu, moral, dan keberanian untuk merawat negeri ini sampai generasi berikutnya mewarisi bukan abu sejarah, tetapi api yang menyala.

#Wallahu ‘Alam Bis-Shawab

Facebook Comments Box