TANAH KAYA, RAKYAT MERANA?: Potret Buram Keadilan Energi di Negeri Sendiri

 TANAH KAYA, RAKYAT MERANA?: Potret Buram Keadilan Energi di Negeri Sendiri

Oleh: Munawir Kamaluddin, Guru Besar UIN Alaudin, Makassar

Apakah artinya negeri yang menyimpan emas di perut buminya, jika rakyatnya harus menggali kemiskinan di tanah sendiri?

Apakah maknanya laut yang luas dan penuh minyak, jika nelayan tak mampu membeli solar untuk berlayar?

Apakah gunanya tambang yang berkilau di bawah tanah, bila mereka yang hidup di atasnya menatap senja dengan perut kosong dan rumah gelap karena listrik tak menjangkau desa mereka?

Dan apakah masih pantas kita menyebut ini negeri kaya, bila rakyatnya harus membayar harga yang mahal untuk sekadar hidup layak?

Pertanyaan-pertanyaan itu tidak untuk menuduh, melainkan untuk menyadarkan, bahwa kita sedang hidup di tanah yang kaya raya, namun dikelilingi oleh rakyat yang belum merdeka dalam makna sejatinya.

Indonesia bukan kekurangan sumber daya, ia justru terlalu kaya hingga sering salah urus.

Minyak, gas, batu bara, panas bumi, dan sinar surya tersebar di setiap jengkal bumi Nusantara, namun mengapa energi belum benar-benar menjadi milik rakyat?

Mengapa kekayaan yang disebut “anugerah Tuhan” justru terasa seperti kutukan bagi yang miskin dan keberuntungan bagi segelintir?

Di negeri ini, kita melihat paradoks yang menyakitkan, di tengah kemewahan sumber daya, rakyat kecil masih hidup dalam kemiskinan struktural.

Kekayaan alam seolah tidak menetes ke bawah, tetapi menguap ke atas , tersedot ke pusat-pusat kekuasaan dan korporasi besar.

Sementara rakyat di daerah penghasil minyak dan batu bara hanya menjadi penonton, menyaksikan tanah mereka dikeruk, laut mereka dihisap, dan udara mereka dikotori, tanpa pernah benar-benar menikmati hasilnya.

Di banyak pelosok, listrik masih menjadi barang mahal, BBM bersubsidi sering tak sampai, dan pekerjaan di sektor energi hanya menjadi angan-angan.

Inilah ironi paling getir dari bangsa yang katanya “berdikari”: tanah kaya, tapi rakyat merana; sumber daya melimpah, tapi kesejahteraan langka.

Apakah kita sadar bahwa setiap ketimpangan itu bukanlah sekadar persoalan ekonomi, melainkan masalah moral dan kemanusiaan?

Keadilan energi sejatinya adalah urat nadi keadilan sosial. Jika energi tidak merata, maka kehidupan pun pincang; jika distribusinya timpang, maka kesejahteraan hanyalah ilusi yang dipajang di baliho-baliho kebijakan.

Krisis keadilan energi bukan semata akibat kelalaian teknis, melainkan akibat sistem yang telah lama cacat secara struktural.

Kebijakan energi nasional masih dikuasai logika ekstraktif, menggali sebanyak-banyaknya, menjual secepat-cepatnya, tanpa memberi nilai tambah dan kesejahteraan bagi rakyat.

Negara dan korporasi besar menjadi pemain utama, sementara rakyat hanya menerima sisa.

Dalam logika semacam ini, energi bukan lagi dianggap sebagai hak publik, melainkan komoditas pasar.

Padahal, dalam pandangan Islam, bumi dan seluruh isinya adalah amanah Allah yang harus dijaga untuk kemaslahatan bersama, bukan untuk segelintir orang.
Allah berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
“Dialah Allah yang menciptakan segala yang ada di bumi untukmu (umat manusia).”
(QS. Al-Baqarah [2]: 29)

Ayat ini menegaskan bahwa sumber daya alam adalah milik bersama, bukan milik pribadi atau kelompok.
Begitu pula Rasulullah SAW. bersabda:
المُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاثٍ: فِي الْمَاءِ، وَالْكَلإِ، وَالنَّارِ
“Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api (energi).”
(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Hadits ini adalah fondasi moral bahwa energi dalam makna modernnya seperti minyak, gas, listrik dan lain- lain adalah hak publik.

Ketika energi dimonopoli, maka itu bukan hanya pelanggaran ekonomi, tetapi juga pengkhianatan terhadap amanah ilahi.

Khalifah Umar bin Khattab رضي الله عنه pernah berkata:
لَوْ عَثَرَتْ دَابَّةٌ فِي الْعِرَاقِ لَخَشِيتُ أَنْ يُسْأَلَ عَنْهَا عُمَرُ، لِمَ لَمْ يُسَوِّ لَهَا الطَّرِيقَ؟
“Jika seekor keledai tersandung di Irak, aku khawatir Umar akan ditanya oleh Allah: mengapa engkau tidak ratakan jalan untuknya?”

Maka bagaimana jika bukan seekor keledai, melainkan jutaan rakyat yang tersandung oleh kebijakan energi yang timpang di negeri sendiri?

Bukankah itu tanggung jawab moral yang jauh lebih besar?

Energi adalah urat nadi kehidupan. Ketika distribusinya adil, rakyat hidup makmur, ketika dikuasai oleh segelintir, lahirlah ketimpangan dan penderitaan.

Negeri yang hanya pandai menggali, tetapi gagal membagi, sejatinya sedang menggali jurang ketidakadilan sosial.

Kita sedang hidup di era di mana pembangunan sering kali diukur dengan megawatt, bukan manfaat.
Di mana kemajuan diukur dari jumlah proyek, bukan dari senyum rakyat.

Padahal, kemajuan sejati bukanlah tentang banyaknya kilang atau pabrik, melainkan tentang seberapa luas cahaya kesejahteraan itu menerangi kehidupan rakyat kecil.

Mereka tak ingin sekadar disebut “pemilik sumber daya”, tetapi benar-benar menikmati hasil bumi mereka.

Dan ketika rakyat merasa tersingkir di tanah sendiri, maka sejatinya kita telah kehilangan makna kebangsaan itu sendiri.

Namun harapan belum padam. Di tengah gelapnya sistem dan korupnya kebijakan, masih ada bara kecil yang bisa dijaga, bara kesadaran.

Kesadaran bahwa energi bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal moral, etika, dan tanggung jawab kepada Tuhan. Allah mengingatkan:
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.”
(QS. Al-A’raf [7]: 56)

Dan kelak setiap pemimpin akan ditanya:
ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
“Kemudian sungguh kamu akan ditanya pada hari itu tentang segala kenikmatan (yang telah diberikan kepadamu).”
(QS. At-Takatsur [102]: 8)

Kita akan ditanya , bukan seberapa besar energi yang dihasilkan, tapi seberapa besar cahaya itu membawa keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat.

Negeri ini tak butuh lebih banyak sumur minyak, tapi butuh lebih banyak sumur kejujuran.

Tak perlu lebih banyak pembangkit listrik, tapi perlu lebih banyak pembangkit nurani.

Maka sebagai pembahasan penutup yg mampu menjadi refleksi bagi kita yang terkait dengan harapan dapat Menyalakan Cahaya Keadilan

Negeri ini bukan miskin, ia hanya salah arah. Bukan kekurangan sumber daya, tetapi kekurangan rasa tanggung jawab.

Jika keadilan bisa mengalir sebagaimana minyak dari perut bumi, jika kesejahteraan bisa menerangi rumah-rumah rakyat sebagaimana listrik di gedung-gedung mewah, maka saat itulah kita benar-benar menjadi bangsa merdeka .Merdeka adari penindasan struktural dan kebodohan moral.

Karena sesungguhnya, kekayaan alam bukan untuk diperebutkan, tetapi untuk dibagikan. Kemakmuran sejati bukan saat segelintir kenyang, tetapi ketika seluruh rakyat tersenyum.

Sebagaimana matahari yang disebut Allah dalam firman-Nya:
وَجَعَلْنَا سِرَاجًا وَهَّاجًا
“Dan Kami jadikan (matahari) pelita yang amat terang.”
(QS. An-Naba [78]: 13)

Matahari memberi tanpa memilih siapa yang ia terangi , ia memberi karena itu fitrahnya. Demikianlah seharusnya energi dikelola, memberi terang bagi semua, tanpa diskriminasi.

Dan ketika kita kelak berhasil menyalakan keadilan itu di setiap jantung kebijakan, maka cahaya itu tak hanya menerangi rumah, tetapi juga jiwa bangsa.

Semoga di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, bersama jajaran menteri dan aparat yang amanah, khususnya kementerian ESDM, bangsa ini mampu menata ulang keadilan energi, agar kekayaan negeri benar-benar menjadi berkah bagi seluruh rakyat, bukan sekadar cerita di atas kertas, melainkan kenyataan yang menyejahterakan bumi pertiwi.

#Wallahu A’lam Bis-Shawab🙏

Facebook Comments Box