Uji Sidang Terbuka Doktor Ilmu Hukum, Bamsoet Ingatkan Pentingnya Mahkamah Konstitusi kembali ke Jalur Kosntitusional sebagai Negative Legislator

JAKARTA – Anggota Komisi III DPR RI sekaligus Ketua MPR RI ke-15 dan Dosen Tetap Program Pascasarjana Doktor Hukum Universitas Borobudur, Universitas Pertahanan dan Universitas Jayabaya, Bambang Soesatyo, menegaskan perlunya pembenahan menyeluruh di Mahkamah Konstitusi (MK) pasca serangkaian kontroversi yang mencoreng kredibilitas lembaga penjaga konstitusi itu. Mulai dari pemberhentian Hakim Aswanto oleh DPR pada 2022 hingga putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang melahirkan norma baru dengan memisah antara Pemilu pusat dan Pemilu daerah, membuat kepercayaan publik terhadap MK kian menurun.
“MK adalah benteng terakhir penjaga konstitusi. Kalau benteng ini retak, seluruh bangunan demokrasi kita ikut goyah. Karena itu pembenahan tidak bisa lagi ditunda,” ujar Bamsoet saat menjadi penguji internal dalam ujian sidang terbuka mahasiswa Program Pascasarjana Doktor Hukum Universitas Borobudur Achmad Taufan Soedirdjo, dengan Judul “Rekonstruksi Rekruitmen Hakim Mahkamah Konstitusi oleh Panel Ahli Melalui Lembaga Perwakilan”, di Universitas Borobudur, Jakarta, Sabtu (13/9/25).
Hadir sebagai penguji antara lain Ketua Sidang Prof. Bambang Bernanthos, Promotor Prof. Zainal Arifin Hoesein, Ko-Promotor Dr. Ahmad Redi, Penguji Internal Prof. Faisal Santiago, serta Penguji Eksternal Dr. Ibnu Sina Chandranegara.
Ketua DPR ke-20 dan Ketua Komisi III DPR RI ke-7 ini memaparkan, peristiwa pemecatan Hakim Aswanto menjadi preseden buruk karena kinerja yang dianggap tidak mumpuni, sehingga diperlukan suatu sistem baru dalam mekanisme rekrutmen agar benar-benar dapat melahirkan seorang hakim yang tegak lurus pada konstitusi dan bersedia menandatangani Pakta Intergritas guna menjaga marwah MK agar tetap konsisten sebagai negative legislator. Baik dari kamar DPR (legislatif), Mahkamah Agung (yudikatif) maupun presiden/pemerintah (eksekutif).
“Kita tidak bisa lagi membiarkan proses seleksi yang tanpa komitmen kebangsaan sebagai benteng terakhir penjaga konstitusi,” tegas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menuturkan, krisis legitimasi MK semakin dalam setelah peristiwa hukum terakhir dengan keluarnya Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisah antara Pemilu pusat dan Pemilu daerah. MK tidak hanya menetapkan waktu penyelenggaraan Pemilu secara terpisah, tetapi juga menentukan tenggat waktu maksimal dua tahun enam bulan setelah pelantikan presiden dan DPR, untuk menggelar Pilkada dan Pileg DPRD.
Putusan itu menimbulkan perdebatan tajam karena MK dinilai melangkah lebih jauh dari kewenangan sebagai negative legislator. MK dianggap menciptakan norma baru dimana fungsi yang semestinya hanya dimiliki DPR bersama pemerintah.
“Hal tersebut menjadi norma baru yang tidak memiliki dasar perundang-undangan sebelumnya dan belum pernah dibahas serta disetujui oleh lembaga legislatif. Putusan yang mengisi kekosongan hukum dengan norma baru akan menimbulkan bias politik. Sekaligus mengaburkan pemisahan kekuasaan yang sudah diatur tegas dalam UUD 1945,” kata Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Alumni Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran (PADIH UNPAD) ini menjelaskan, sejumlah pembenahan harus segera dilakukan MK. Langkah pertama adalah mereformasi sistem seleksi hakim konstitusi. Proses yang kini sarat kepentingan politik harus diganti dengan mekanisme terbuka dan akuntabel, melibatkan panel independen dari kalangan akademisi, Komisi Yudisial, serta perwakilan masyarakat sipil.
Selain itu, mekanisme pemberhentian hakim juga harus diperbaiki. Pemberhentian harus dilakukan secara tegas tanpa pandang bulu jika terbukti ada pelanggaran etik atau integritas, melalui putusan mahkamah kehormatan atau badan etik independen.
“Perlu pula dilakukan penguatan Dewan Etik MK agar lebih berwibawa dan tidak hanya menjadi stempel administratif. Dewan Etik harus berfungsi seperti Mahkamah Kehormatan Hakim, berwenang melakukan penyelidikan mendalam atas dugaan pelanggaran etik hakim MK,” urai Bamsoet.
Wakil Ketua Umum/Kepala Badan Bela Negara FKPPI dan Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini juga menekankan pentingnya constitutional compliance antar lembaga negara. DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung harus sama-sama menahan diri agar tidak menggunakan kewenangan politik mereka untuk mengintervensi independensi MK.
“MK juga harus kembali ke rel konstitusional sebagai negative legislator. Artinya, MK cukup menyatakan norma undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 dan memberi tenggat waktu kepada DPR untuk memperbaikinya. Bukan membuat norma baru,” pungkas Bamsoet. (Dwi)