FENOMENA BURUNG BEO: Cermin Lisan yang Kehilangan Akal

 FENOMENA BURUNG BEO: Cermin Lisan yang Kehilangan Akal

Oleh: Munawir Kamaluddin, Guru Besar UIN Alauddin Makassar

Pernahkah kita duduk sendiri, lalu bertanya pada diri dengan lirih:

Apakah semua kata yang pernah keluar dari bibirku benar-benar milikku… ataukah hanya gema dari suara orang lain yang kuulang tanpa pikir?”

Pernahkah kita diam sejenak lalu bertanya pada nurani kita, Siapakah aku ketika kata-kata bertebaran , apakah penjaga kebenaran atau burung beo yang hanya meniru?

Pernahkah aku menyebar kabar tanpa menimbang, lalu menyesal ketika ia menjadi luka bagi orang lain?

Apakah lisanku merekam nurani atau membunuh nurani orang lain dengan bisik-bisik?

Jika setiap kata kelak dimintai pertanggungjawaban, apakah aku masih rela menekan tombol “kirim”?

Siapakah guru hidupku, hawa nafsu yang haus pujian, atau Tuhan yang memerintahkan tabayyun ?

Berapa kabar yang aku sebarkan adalah cahaya, dan berapa yang justru asap yang menyesakkan dada orang lain?

Di tengah dunia yang berdenyut dengan arus berita, di ruang-ruang sunyi telepon genggam kita, lidah tak lagi hanya di mulut ,

ia kini ada di ujung jemari. Dan jemari, seperti lidah, bisa menggoreskan cahaya… atau menorehkan luka.

Di antara kita, ada yang memilih menjadi penjaga kebenaran, menimbang setiap kata.

Ada pula yang tergelincir menjadi “burung beo”: meniru suara, mengulang kata, mengumandangkan kabar, bahkan menggemakan amarah, tanpa pernah bertanya , apa makna dari semua ini?

Burung beo hidup untuk mengulang. Manusia hidup untuk memahami. Tetapi betapa banyak manusia yang kini memilih nasib burung itu.

Allah telah memperingatkan kita jauh sebelum jempol mengenal layar,
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَـٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang tidak kamu punya ilmu tentangnya; sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati — semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.” (QS. al-Isrāʼ: 36)

Ayat ini bukan sekadar larangan, ia adalah pagar kebun hati. Tanpa pagar ini, segala kabar masuk dan keluar, tanpa saringan, tanpa penjaga, tanpa adab.

Dan kebun itu berubah menjadi padang liar tempat ular fitnah berkembang biak.

Fitnah memang bukan sekadar berita salah; ia adalah penyakit yang menyelinap lewat kabar yang separuh benar, separuh dusta, tapi dibungkus sedemikian rupa hingga tampak meyakinkan.

Bahkan, terkadang ia dibalut dengan kalimat “katanya…” sebuah kata kecil yang bisa menyeret satu kaum ke jurang perpecahan. Allah telah mengingatkan dengan tegas,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا
“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita, maka telitilah…” (QS. al-Ḥujurāt: 6)

Namun, berapa banyak di antara kita yang sabar untuk bertabayyun?

Berita yang panas terasa lebih nikmat dibagikan daripada dinginnya menahan diri. Padahal Rasulullah SAW. telah bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ، فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari & Muslim)

Diam, dalam hadits ini, bukan kelemahan. Ia adalah kekuatan untuk menolak jadi burung beo.

Ia adalah seni menahan diri dari menyalakan api yang belum tentu padam dalam sekejap.

Sebagian ulama salaf berkata:
احْفَظْ لِسَانَكَ، فَإِنَّهُ أَسْرَعُ شَيْءٍ إِلَى الْفِتْنَةِ
“Jagalah lidahmu, karena ia adalah yang paling cepat menjerumuskan pada fitnah.”

Jika lidah adalah pemantik, maka hati adalah gudangnya. Dan gudang yang penuh dengan bara amarah, iri, atau dengki, akan mudah terbakar oleh kabar yang bahkan belum tentu benar.

Di sinilah kelemahan spiritual bekerja: ketika takut kepada Allah melemah, batas-batas kehormatan mudah dilanggar.

Fenomena “burung beo” di zaman ini bukan hanya masalah akhlak pribadi, tapi juga masalah budaya.

Kita hidup di tengah gelombang imitasi sosial, ingin diterima oleh kelompok, ingin dianggap up-to-date, ingin menjadi bagian dari arus besar.

Dalam arus ini, orang tak lagi peduli apakah ia sedang membawa pelita atau justru membawa obor untuk membakar rumah tetangga.

Namun, Islam menawarkan jalan yang anggun: jalan tabayyun, jalan sabar, jalan hikmah. Jalan ini bukan sekadar teori.

Ia adalah seni berkomunikasi yang menghormati manusia lain sebagai ciptaan Allah, yang melindungi kehormatan mereka, bahkan saat kita berbeda pendapat.

Imam al-Ghazali pernah mengingatkan dalam Iḥyāʼ ʿUlūmiddīn,
اللِّسَانُ أَصْغَرُ جَارِحَةٍ فِي الْجِسْمِ، وَلَكِنَّهُ أَكْثَرُهَا جِرَاحَةً
“Lidah adalah anggota tubuh yang paling kecil, tetapi ia paling banyak melukai.”

Dan luka dari lidah, atau kini dari jemari di layar, seringkali tak bisa diobati oleh waktu.

Ia meninggalkan bekas, mengubah nasib, bahkan memecah belah keluarga dan bangsa.

Maka, sebelum lisan atau jemari kita menjadi alat gema burung beo, marilah menjadikannya pena kebenaran.

Mari kita bertanya sebelum berbicara:
“Apakah ini benar? Apakah ini bermanfaat? Apakah ini akan mendekatkan aku pada Allah atau menjauhkanku?”

Karena setiap kata adalah anak panah. Dan anak panah yang melesat tidak akan kembali.

Kita hanya punya dua pilihan: memanah kebaikan… atau melukai tanpa ampun.
اللَّهُمَّ طَهِّرْ أَلْسِنَتَنَا وَقُلُوبَنَا، وَاجْعَلْ كَلِمَاتِنَا نُورًا وَهُدًى، وَأَلْهِمْنَا التَّثَبُّتَ فِي كُلِّ خَبَرٍ، وَاحْشُرْنَا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Ya Allah, sucikanlah lidah-lidah kami dan hati-hati kami; jadikanlah kata-kata kami cahaya dan petunjuk; ilhamkan kepada kami ketelitian dalam setiap berita, dan kumpulkanlah kami bersama orang-orang yang jujur.”

#Wallahu A’lam Bis-Sawab

Facebook Comments Box