BISNIS HARAM: Korupsi dan Suap (Money Politics) ( Bagian ke-6)

 BISNIS HARAM: Korupsi dan Suap (Money Politics) ( Bagian ke-6)

Oleh: Munawir Kamaluddin, Guru Besar UIN Alaudin, Makassar

(Renungan tentang Nurani, Keadilan, dan Luka Bangsa)

Di negeri yang bernafas dengan demokrasi, kita kerap mendengar jargon: kedaulatan di tangan rakyat.

Tetapi ironinya, kedaulatan itu sering diperdagangkan dengan harga yang murah di pasar politik transaksional.

Kursi jabatan diperebutkan bukan karena kelayakan dan amanah, melainkan karena tebalnya amplop yang berpindah tangan.

Proyek dan izin usaha bukan lagi lahir dari kompetensi, melainkan dari kelicikan negosiasi di balik meja gelap.

Lebih getir lagi, hukum yang seharusnya menjadi perisai keadilan justru menjelma menjadi komoditas: diperjualbelikan bagi yang punya kuasa dan harta, namun menjadi cambuk keras bagi rakyat jelata.

Bukankah kondisi ini yang melahirkan ungkapan getir di tengah masyarakat: hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas?

Allah SWT. telah mewanti-wanti:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan cara yang batil, dan (janganlah) kamu menyuapkannya kepada hakim-hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188).

Ayat ini bukan sekadar larangan normatif. Ia adalah cermin yang memantulkan wajah kita hari ini.

Di mana uang menjadi surat sakti untuk meloloskan izin usaha, memenangkan tender, bahkan membebaskan para koruptor dari jeratan hukum.

Pertanyaannya yang kemudian muncul, masihkah keadilan tegak, jika ia bisa ditawar dengan rupiah?

Rasulullah SAW. dengan keras menegaskan:
لَعَنَ اللَّهُ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ
“Allah melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad).

Laknat adalah tanda bahwa suap bukan sekadar kesalahan administratif atau tindak pidana.

Ia adalah penyakit spiritual, noda pada nurani, pengkhianatan terhadap amanah, dan dosa yang menjerumuskan pelakunya ke dalam jurang kehinaan.

Namun mari kita jujur, mengapa budaya ini seolah telah mendarah daging?

Mengapa rakyat lebih percaya pada amplop sesaat daripada janji moral seorang pemimpin?

Mengapa hukum lebih tunduk kepada mereka yang kaya, sementara si miskin dibiarkan merana dengan hukuman yang menghancurkan hidupnya?

Bukankah ini menegaskan apa yang dikatakan Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah:
إِذَا كَثُرَ الظُّلْمُ قَامَتِ الفِتَنُ، وَإِذَا فَسَدَ الحُكَّامُ فَسَدَتِ الأُمَمُ
“Apabila kezhaliman merajalela, maka fitnah akan bangkit. Dan apabila para penguasa rusak, maka bangsa pun ikut rusak.”

Korupsi dan suap bukan hanya merusak sistem birokrasi, tetapi juga menghancurkan sendi-sendi etika dan spiritual bangsa.

Jabatan yang semestinya amanah berubah menjadi ghulul , pengkhianatan yang kelak menyeret pelakunya di hari kiamat. Rasulullah SAW. telah memperingatkan:
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الإِمَارَةِ، وَإِنَّهَا سَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Kalian akan berlomba-lomba merebut kepemimpinan, padahal ia akan menjadi penyesalan pada hari kiamat.” (HR. Bukhari, Muslim).

Tidakkah kita takut, bahwa jabatan yang hari ini dibeli dengan uang haram, kelak di akhirat berubah menjadi rantai yang membelenggu leher kita?

Realitasnya, suap juga mematikan keadilan pasar. Pengusaha jujur tersingkir karena tidak mampu bersaing dengan sogokan.

Inovasi mati, karena birokrasi hanya berpihak pada yang membayar, bukan pada yang berkompeten.

Dan rakyat kecil terpaksa membayar lebih mahal, sebab biaya pungli dan suap sudah terhitung dalam harga barang.

Al-Ghazali dengan tajam pernah menegaskan:
إِذَا فَسَدَ العَالِمُ فَسَدَ العَالَمُ
“Apabila para pemimpin rusak, maka rusaklah seluruh tatanan dunia.”

Maka korupsi bukan sekadar perbuatan individu. Ia adalah api yang merambat, membakar seluruh sendi kehidupan, baik sosial, ekonomi, politik, hingga spiritual.

Lebih mengerikan lagi ketika hukum ikut diperjualbelikan. Kita mendengar istilah “mafia peradilan”.

Kasus besar dikecilkan, kasus kecil dibesarkan, dan keputusan hakim ditentukan oleh besarnya amplop.

Bukankah ini tanda bahwa pedang keadilan sudah tumpul, kehilangan tajinya?

Sayyidina Umar bin Khattab ra. pernah berkata:
إِنَّمَا يَنْقُضُ الإِسْلَامَ ثَلاثَةٌ: زَلَّةُ عَالِمٍ، وَجِدَالُ مُنَافِقٍ بِالْقُرْآنِ، وَأَئِمَّةٌ مُضِلُّونَ
“Islam akan dirusak oleh tiga perkara: tergelincirnya seorang alim, perdebatan munafik dengan Al-Qur’an, dan pemimpin yang menyesatkan.” (HR. Darimi).

Bukankah jual-beli hukum hari ini adalah bentuk nyata dari ketimpangan dan penyimpangan wewenang atau kepemimpinan yang menyesatkan?

Bukankah ini yang menumbuhkan jurang kesenjangan, yang kaya semakin leluasa, yang miskin semakin terjepit?

Lalu apa yang bisa kita lakukan? Jalan keluarnya tidak sederhana, tetapi juga bukan mustahil.

Integritas harus dibangun sejak dini, dari rumah, sekolah, hingga lembaga negara. Pendidikan moral dan spiritual harus ditanamkan, bahwa rezeki halal lebih berkah daripada harta haram yang berlimpah.

Transparansi politik harus ditegakkan agar demokrasi tidak lagi menjadi pasar transaksi.

Reformasi hukum mutlak diperlukan, aparat harus independen, pengawasan harus berlapis.

Dan yang terpenting, budaya malu dan takut kepada Allah harus hidup kembali, karena suap bukan hanya melanggar undang-undang, tetapi juga melanggar perjanjian dengan Tuhan.

Allah SWT. mengingatkan dengan tegas:
وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ
“Dan janganlah kamu mengira bahwa Allah lengah terhadap apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim.” (QS. Ibrahim: 42).

Maka mari kita bertanya kepada hati nurani, apakah kita masih diam melihat praktik ini karena merasa bukan urusan kita?

Apakah kita rela menyuap untuk meloloskan urusan pribadi, meski kita tahu itu melukai keadilan?

Apakah kita sudah menyiapkan jawaban ketika Allah bertanya tentang amanah dan kejujuran kita?

Jika suap adalah bisnis haram yang membunuh bangsa, maka meninggalkannya adalah jihad besar demi menyelamatkan masa depan. Karena Allah berjanji:
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا، وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (QS. At-Talaq: 2–3).

Penutup

Korupsi dan suap bukan sekadar pelanggaran hukum; ia adalah cermin retak wajah bangsa. Bila budaya ini dibiarkan terus menerus, negeri akan kehilangan arah: politik berubah jadi pasar gelap, hukum jadi alat tawar-menawar, birokrasi jadi mesin pungli, dan rakyat kecil hanya jadi korban yang makin terpinggirkan. Demokrasi pun tak lagi berarti suara rakyat, melainkan suara uang yang berkuasa.

Apabila hal ini terus mengakar, kita tak perlu heran jika generasi mendatang mewarisi negeri yang rapuh, di mana kepercayaan mati, solidaritas pudar, dan keberkahan rezeki menghilang. Karena bangsa yang terbiasa memperjualbelikan amanah, lambat laun akan memperdagangkan harga dirinya sendiri.

Maka pilihan ada di tangan kita: apakah kita ingin melanjutkan lingkaran gelap ini, atau berani menghentikannya dengan kejujuran, integritas, dan takut kepada Allah. Sebab membangun bangsa bukan hanya urusan pemimpin, melainkan jihad kolektif seluruh anak negeri.

#Wallahu A’lam Bis-Sawab

Facebook Comments Box