Perkara Nyaman dan Enak, Sentra “Ideologi” Orang Indonesia dan Basis Kaedah Suburnya Praktik Korupsi
Sejak isu korupsi jatah quota haji yang diselewengkan oleh pejabat mencuat dan memenuhi pemberitaan belakangan ini, kita bertanya-tanya: separah itukah perilaku korupsi di Indonesia? Tidak hanya kebutuhan profan yang duniawi yang dikorupsi, yang sakral dan urusan yang sakral pun tak luput dari jamahan korupsi. Ada apa dengan budaya orang Indonesia?
Melihat begitu lama dan bannyak fenomena korupsi, tidak berlebihan jika disimpulkan bahwa korupsi sepertinya bagian yang tak terpisahkan dari budaya muamalat (hubungan kerja dan dagang) orang Indonesia. Istilah uang pelicin, amplop, suap, di bawah meja, kongkalikong, uang damai, salam tempel, uang terima kasih, uang tutup mulut, biaya entertain, dan sebagainya, merupakan praktik korupsi itu sendiri. Tapi apa sebenarnya korupsi itu? Apakah hanya perbuatan mengambil yang bukan haknya dari milik negara?
Korupsi adalah tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan, yang dilakukan secara melanggar hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain, yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Korupsi berasal dari bahasa Latin yaitu corruptio atau corruptus, yang memiliki makna kebusukan, keburukan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, serta tindakan memutarbalik atau merusak. Kata ini berasal dari kata kerja Latin yang lebih tua, corrumpere, yang juga berarti merusak atau membusukkan.
*Betulkah Korupsi Bagian dari Budaya Orang Indonesia yang Lazim?*
Menurut penjelasan Romo Setyo Wibowo, pengajar filsafat di STF Driyarkara, gejala korupsi lazim dilakukan di Indonesia, mulai dari urusan politik hingga bagaimana bisa berhasil diterima dalam sekolah-sekolah kedinasan, yang seharusnya hal itu tidak dapat dibenarkan. (https://youtu.be/k8hCWTYhMKQ?si=ZfXz4oJFQL8m7kg5)
Tidak hanya itu, bahkan di dunia bisnis pun, gejala korupsi itu, misalnya dalam bentuk hadiah terima kasih atas penerimaan kerjasama bisnis, sudah merupakan kebiasaan, halmana kebiasaan tersebut di negara maju seperti Prancis, tidak terjadi.
Lalu dari mana secara filosofis budaya korupsi ini demikian kuat merasuk pada kehidupan orang Indonesia? Dan ini berarti kita mengasumsikan bahwa orang Indonesia lekat dengan budaya korupsi.
Budaya korupsi ini, bermula dari pandangan filosofis kita tentang parameter dan kriteria kehidupan yang baik. Kehidupan yang baik itu ialah parameter dan kriterianya adalah bilamana nyaman dan enak. Ini berarti sebenarnya lebih kental bersifat subjektif. Karena subjektif, di sinilah menjadi rentan untuk disalahgunakan menjadi bias pribadi dan kepentingan. Apa hubungannya dengan budaya korupsi?
Jadi misalnya, tatkala seorang bawahan menyadari atasannya telah menyalahgunakan wewenangnya untuk kepentingan pribadi dan melanggar peraturan, karena tidak enak dan memperkirakan suasana akan berubah tidak nyaman, baik pada atasannya maupun pada dirinya, akibatnya praktik korupsi tersebut tidak terkoreksi, malahan makin berlanjut dan meningkat. Bayangkan jika semua orang di Indonesia, di birokrasi, pemerintahan hingga perusahaan, selalu mendasarkan keputusan dan sikapnya, menjaga jangan sampai tidak enak dan tidak nyaman, maka praktik korupsi tidak akan pernah berhanti, malahan makin subur.
Orang Indonesia, sangat melekat dengan mengejar enak dan nyaman ini. Terhadap sisi kepentingan orang lain, orang Indonesia sangat pandai mengukur enggak enak dan enggak nyaman pada orang lain. Sampai-sampai ditemukan oleh budaya ini istilah tenggang rasa.
“Nggak enakan” dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai “I feel bad”, “I feel guilty”, “I feel uneasy”, atau “I don’t want to bother you”, tergantung pada konteksnya, dan seringkali terkait dengan sifat “people pleaser” atau keengganan untuk menolak permintaan seseorang. Sikap kultural dan psikologis ini tipikal Indonesia sepertinya.
Namun dari sisi dirinya sendiri, ukuran dan kriterianya beda lagi. Bagi dia, ukurannya ialah nyaman dan enak. Semakin berkuasa, semakin tipis tenggang rasanya dan semakin pekat kriteria “pokoknya enak dan nyaman” bagi dirinya dan kelompoknya.
Jadi basis pengukurannya ialah feel dan emosi. Orang Indonesia lebih pekat menggunakan kriteria rasa yang subjektif itu ketimbang kriteria rasional dan objektif. Jadi hemat saya, cara budaya semacam inilah yang membuat Indonesia subur dengan korupsi. Ditambah lagi, sikap dan perilalu feodal belum bisa dikikis.
*Solusi*
Yang bisa mengikis budaya busuk ini ialah golongan muda, terutama gen Z dan generasi setelahnya yang terbiasa dengan budaya bicara lugas dan kritis. Gen Z hingga gen sesudahnya sangat terserap dalam budaya global yang dipengaruhi rasionalisme. Sedangkan gen milenial hingga gen kolonial, terlalu terkontaminasi budaya feodal dan inggeh-inggehan, lain di mulut lain di hati.
Jadi ada rasa optimisme bahwa budaya korupsi yang sudah membudaya tersebut akan kering pada waktunya diganti oleh kultur akuntabel. Apalagi jika secara terus menerus, budaya korupsi ini terus digempur secara sistematis baik melalui penerapan hukum, pendidikan dan penguatan integrasi Indonesia secara global. Tren global tidak menerima dan tidak suka dengan korupsi.