FEODALISME PENDIDIKAN: Antara Stigmatisasi Media dan Introspeksi Dunia Pesantren

(Refleksi Hari Santri Nasional 2025)
Oleh: Prof. Dr. H. Munawir Kamaluddin, Guru Besar UIN Alaudin, Makassar dan Direktur LAPSENUSA (Lembaga Advokasi dan Pengembangan Sosial dan Ekonomi Nusantara)
Pernahkah kita menunduk sejenak, membiarkan degup jantung kita berhenti dari kecepatan lajunya dunia digital, lalu mendengar bisik sunyi dari rongga pesantren:
Apakah kita masih menjaga kehormatan lembaga ini, atau justru merobohkannya dengan tali-gelap dari dalam?
Saat beberapa layar televisi menyulut gejolak dengan narasi yang mengguncang, kita dihadapkan pada sebuah refleksi penting:
feodalisme pendidikan, antara stigma yang dilempar keluar dan introspeksi yang kita seharusnya lakukan sejak dalam.
Beberapa hari lalu, Trans7 melalui program “Xpose Uncensored” menayangkan sebuah segmen yang memuat narasi tentang kehidupan di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, yang oleh banyak kalangan di dunia pesantren dianggap melecehkan dan mereduksi nilai luhur santri-kiai menjadi tontonan infotainment.
Narasi seperti “santrinya harus jongkok saat minum susu”, “amplop ke kiai”, dan sederet penggambaran yang memicu kemarahan besar, muncul di layar publik.
Respon tiba-tiba meluap, gelombang protes dari santri, alumni, hingga organisasi besar seperti Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang menegaskan bahwa tayangan tersebut “menghina martabat pesantren dan kiai” serta “berpotensi menyesatkan opini publik tentang kehidupan pesantren”.
Tagar #BoikotTrans7 juga merambat di media sosial sebagai simbol kekecewaan mendalam.
*Stigmatisasi yang Menyemai Luka*
Tayangan itu membuka luka yang selama ini mungkin terpendam, wajah pesantren yang dikenal sebagai benteng moral dan pembentuk karakter, tiba-tiba dipotret dalam framing “feodalisme pendidikan”, di mana relasi santri-kiai dibayangkan sebagai relasi budak-penguasa, di mana amplop menjadi simbol kuasa, dan di mana kemewahan keluarga pengasuh menjadi sorotan gemerlap.
Narasi ini tak hanya mengkritik, tetapi juga menyemat stigma baru, bahwa pesantren masih sarat relasi hierarkis, bahwa santri pasif, bahwa pesantren menjadi laboratorium eksklusifitas kekuasaan ekonomi dan keluarga kiai.
Stigma ini sungguh menohok karena ia merendahkan bukan hanya individu, tetapi sejarah panjang pesantren sebagai institusi pembebasan intelektual, pembentuk karakter, penjaga tradisi lokal, dan tempat lahirnya pemimpin bangsa.
Harapan bahwa pesantren adalah ruang egaliter, di antara kaum santri yang belajar, berdialog, tumbuh bersama, seolah dihadapkan pada bayangan bahwa ada relasi yang timpang: santri sebagai pengikut, kiai sebagai feodal penguasa, dan institusi yang memanfaatkan finansial pesantren sebagai gaya hidup elit.
*Introspeksi yang Terkendala dan Harus Dimulai*
Namun, sebagai refleksi mendalam, kita tidak cukup berhenti pada protes luar; kita harus melangkah ke ruang hening introspeksi.
Karena demikianlah hakikat peringatan Hari Santri Nasional, bukan hanya mengenang jasa santri dan pesantren, tetapi juga melihat bayangan sendiri di cermin zaman.
Kita harus bertanya, apakah sebagian pesantren memang sudah tertinggal dalam proses transformasi nilai?
Apakah ada pesantren yang dalam kenyataan sehari-hari terjebak dalam pola glamorisasi kiai dan keluarga pengasuh, mobil mewah, rumah besar, investasi bisnis yang jauh dari spirit pengabdian?
Apakah kehidupan santri-pengasuh masih terbebani relasi kuasa personal, bukan relasi ilmu, adab, kebersamaan?
Apakah pembinaan karakter yang selama ini digaungkan, tawadhu’, kepedulian sosial, kesederhanaan, terluka ketika santri melihat gaya hidup yang jauh dari yang diajarkan?
Dalam hal ini, Qur’an menegaskan pentingnya perubahan dari dalam:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِم
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Dan Rasulullah SAW. bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ» (HR. Bukhari)
yang menunjukkan bahwa pembinaan akhlak tidak cukup lewat retorika, tetapi lewat perbuatan nyata, termasuk di lembaga pendidikan.
Jadi, jika media telah menampilkan bayangan gelap dari sisi pesantren, pembinaan yang tidak merata, relasi santri-kiai yang timpang, manajemen finansial yang sulit dipahami, maka ini adalah panggilan moral: kita harus melihat ke arah mana kita berjalan, dan memperbaiki dari akar.
*Menjawab Stigma dengan Reformasi*
Menjawab tantangan ini, beberapa langkah konstruktif bisa diambil agar pesantren tetap menjadi benteng nilai, bukan laboratorium feodal:
1. Reformasi Tata Kelola Pesantren
Transparansi keuangan, agar santri dan masyarakat mengetahui bagaimana dana pesantren digunakan, dan bukan menjadi semata gaya hidup pengasuh.
Pembentukan dewan santri atau alumni yang ikut mengawasi manajemen pesantren agar relasi santri-kiai tetap sehat, kolegial, bukan hierarkis ekstrem.
Program evaluasi internal: pesantren secara berkala meninjau kurikulum karakter, adab, leadership, dan memastikan kehidupan sehari-hari santri mencerminkan akhlak yang diajarkan.
2. Penguatan Pembinaan Karakter Santri
Lebih dari sekadar hafalan kitab dan ritual, pembinaan meliputi literasi digital, etika media sosial, kepedulian sosial (pengabdian masyarakat) sebagai bagian tak terpisahkan dari santri modern.
Praktik sederhana dalam kehidupan pesantren, hidup bersama, berbagi, tidak gelap gulita antara kelas pengasuh dan santri; menghilangkan jarak yang berlebihan, memupuk kebersamaan.
Santri didorong untuk menjadi agen perubahan: tidak hanya menjalani aturan, tetapi aktif berinovasi dalam dakwah, teknologi, kreativitas yang membawa kebaikan.
3. Hubungan Media dengan Pesantren yang Lebih Sehat
Pesantren perlu membangun “dialog terbuka” dengan media, menjadi mitra edukasi, memberi akses, menampilkan sisi positif, tetapi juga kritis terhadap bagaimana karya media menampilkan mereka.
Media perlu memperkuat etika pemberitaan keagamaan: penggambaran harus proporsional, sensitif budaya, dan tak menjadikan pesantren sebagai objek tontonan sinetron.
Kasus Trans7 ini harus menjadi pelajaran bersama, bahwa eksploitasi relasi santri-kiai sebagai “feodal” untuk rating adalah luka kolektif yang harus dibayar dengan reformasi etika media dan pendidikan.
4. Memaknai Hari Santri sebagai Panggilan Bersama
Hari Santri bukan hanya upacara atau seremonial, melainkan momentum introspeksi. santri, kiai, pengasuh, dan masyarakat pesantren menyepakati pembaharuan internal, meneguhkan moderasi, inklusifisme, dan karakter kebangsaan.
Menteri, pemerintah, dan pemimpin pesantren bisa menjadikan momentum ini untuk peluncuran “Deklarasi Reformasi Pesantren” yang menegaskan komitmen terhadap transparansi, pelayanan pendidikan karakter, dan peran santri dalam masyarakat luas.
*Doa dan Harapan di Ujung Jalan*
Di balik layar TV yang menayangkan kontroversi, di balik demonstrasi santri yang menuntut keadilan, terdengar gema yang lebih tenang: gema doa santri yang diam di dalam asrama, lampu kelap-kelip di malam kitab, mengingatkan bahwa perjuangan moral dan pendidikan karakter tak pernah berakhir.
Kita percaya bahwa pesantren bukan ruang feodal masa lalu yang membeku, melainkan gerbang metamorfosis menuju peradaban baru yang beradab, inklusif, moderat. Allah Swt. berfirman:
وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dan apa saja kebaikan yang kamu berikan untuk diri mu, maka kamu akan mendapatinya di sisi Allah; sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Muzammil: 20
Semoga stigmatisasi yang mengguncang ini menjadi “petir yang membangunkan”, membangunkan kesadaran kita bahwa pendidikan pesantren adalah warisan bangsa yang harus dikuatkan, dibersihkan dari sisi-sisi yang menodai, dan diarahkan untuk masa depan yang terang.
Santri, kiai, pengasuh dan masyarakat pesantren, mari berjalan bersama di jalan perubahan, bukan hanya menyembuhkan luka, tetapi membangun jembatan baru untuk manusia dan peradaban.
Semoga jalan yang kita tempuh menjadi rahmat bagi alam semesta.
#Wallahu A’lam Bis-Shawab🙏*MK*
*SEMOGA BERMANFAAT*
*Al-Fakir.Munawir Kamaluddin*