JIWA YANG SELESAI: Membentuk Kedewasaan Batin dan Kejernihan Hati

 JIWA YANG SELESAI: Membentuk Kedewasaan Batin dan Kejernihan Hati

Oleh: Munawir Kamaluddin, Guru Besar UIN Alauddin, Makassar / Direktur LAPSENUSA (Lembaga Advokasi dan Pengenbangan Sosial dan Ekonomi Nusantara)

( BAGIAN PERTAMA)

Ada masa dalam hidup ketika seseorang tiba-tiba berhenti sejenak dari hiruk-pikuk dunia yang terus berlari. Ia menatap dirinya sendiri, bukan melalui cermin, tetapi melalui hati.

Pada saat itulah muncul sebuah pertanyaan yang tidak pernah diajarkan di sekolah mana pun, namun selalu berbisik dalam sunyi:

Sudahkah aku selesai dengan diriku sendiri?”

Pertanyaan ini bukan pertanyaan biasa. Ia seperti mengetuk pintu ruang paling dalam, ruang yang menyimpan luka, penyesalan, ambisi yang tak selesai, kecemasan yang tak terucap, dan harapan yang sering dipendam.

Banyak orang berjalan sepanjang hidup tanpa pernah berani membukanya. Namun mereka yang memberanikan diri menemukan satu kenyataan, yakni bahwa sesungguhnya perjalanan terbesar manusia bukan menuju tempat lain, tetapi menuju dirinya sendiri.

Di zaman ketika perhatian manusia bisa dibeli dengan dua detik video, ketika setiap orang berlomba memperlihatkan citra terbaiknya, dan ketika dunia mengukur nilai seseorang dari jumlah pengikutnya, kita mulai kehilangan satu hal berharga: keutuhan batin.

Banyak orang tampak baik, tetapi lelah. Tampak kuat, tetapi retak di dalam. Tampak sukses, tetapi terasing dari dirinya sendiri.

Dan dari kelelahan itulah lahir kerinduan untuk menemukan kembali jati diri yang murni, suara hati yang jujur, dan ketenangan yang tidak bergantung pada dunia.

Tulisan ini hadir sebagai undangan lembut untuk kembali melihat ke dalam, untuk menelusuri 10 ciri jiwa yang telah selesai dengan dirinya, bukan karena sempurna, tetapi karena mengenali dirinya dan menerima takdir Tuhannya.

Semoga saat membaca, saudaraku semua termasuk penulis merasa sedang bercermin,bukan pada wajah, tetapi pada jiwa.

Semoga setiap kata memberi ruang bagi evaluasi diri, membangunkan kesadaran, menumbuhkan kedewasaan, dan menghadirkan keberanian untuk berkata:

“Aku ingin berdamai dengan diriku… dan memulai hidup dengan lebih tenang.”

Selamat memasuki perjalanan batin ini. Semoga setiap lembarnya menjadi cahaya.

1. Tidak Lagi Mengejar Pengakuan Manusia ( verifikasi Ekstrnal).

Pada titik tertentu, seseorang menyadari bahwa tepuk tangan manusia hanyalah gema yang cepat hilang.

Ia berhenti menggantungkan kebahagiaan pada seberapa keras orang lain memujinya. Ia mengerti bahwa nilai diri tidak terletak pada sorot mata manusia, tetapi pada pandangan Allah yang Maha Mengetahui isi hati.

Maka ia belajar berjalan dalam diam, bekerja tanpa banyak bicara, dan memperbaiki diri tanpa menunggu dilihat.

Hidupnya menjadi ringan, karena ia telah memilih panggung yang benar, panggung di hadapan Allah.
Allah menegaskan:
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا
Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya. (Asy-Syams: 9)

Rasulullah SAW mengingatkan:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Sesungguhnya amal tergantung pada niatnya. (HR. Bukhari)

Ibn Mas’ud berkata:
« مَن أَرَادَ اللَّهَ بِعَمَلِهِ كَفَاهُ النَّاسُ »
Siapa yang menginginkan Allah dalam amalnya, cukup baginya manusia.

Al-Fudhail bin ‘Iyadh memperdalam:
« تَرْكُ العَمَلِ لِأَجْلِ النَّاسِ رِيَاءٌ، وَالعَمَلُ لِأَجْلِ النَّاسِ شِرْكٌ »
Tidak beramal karena manusia adalah riya; beramal untuk manusia adalah syirik.

Sejak itu, jiwanya tenang, karena ia menanggalkan beban paling berat: keinginan untuk disukai dan diakui.

2. *Tidak Terganggu oleh Keberhasilan Orang Lain*

Ketika jiwa berhenti mengejar pujian, ia pun berhenti risau melihat orang lain bersinar. Cahaya orang lain tidak lagi menjadi ancaman, tetapi menjadi bukti bahwa Allah Maha Pemurah.

Ia percaya bahwa rezeki telah ditulis dengan penuh hikmah.Dan apa yang ditentukan Allah tidak akan direbut siapa pun. Allah berfirman:
نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ
Kamilah yang membagikan penghidupan di antara mereka. (Az-Zukhruf: 32)

Rasulullah SAW. menyingkap akar perselisihan:
« لا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاثٍ »
Tidak halal seorang Muslim membenci saudaranya lebih dari tiga hari. (Muttafaq ‘alaih)

Imam Al-Ghazali mengingatkan dengan jernih:
« الحَسَدُ لا يَنْفَعُ، بَلْ يَضُرُّ صاحِبَهُ »
Iri tidak memberi manfaat; bahkan membahayakan pemiliknya.

Orang yang selesai dengan dirinya melihat kebahagiaan orang lain seperti melihat taman yang indah, bukan untuk dibandingkan, tetapi untuk disyukuri.

3. Mampu Berdamai dengan Masa Lalu

Setelah tidak lagi sibuk dengan dunia luar, seseorang menengok ke ruang terdalam hatinya , ke masa lalu yang pernah melukainya.

Namun kali ini ia menengok bukan untuk menangis, tetapi untuk mengerti.

Ia menerima bahwa masa lalu adalah bagian dari takdir; bahwa luka adalah guru, bahwa kehilangan adalah penuntun. Ia menyingkirkan tumpukan kenangan pahit bukan dengan menghapus, tetapi dengan memaknai. Allah berfirman:
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ
Tidak ada musibah yang menimpa kecuali dengan izin Allah. (At-Taghabun: 11)

Dan janji penting ini menenangkan jiwanya:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. (Asy-Syarh: 6)

Rasulullah SAW. mengungkap rahasia ketenangan:
إِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
Jika ia ditimpa kesulitan, ia bersabar, dan itu lebih baik baginya. (HR. Muslim)

Umar bin Khattab menambahkan kebijaksanaan:لَيْسَ العَاقِلُ مَن يَعْرِفُ الخَيْرَ مِنَ الشَّرِّ، وَلَكِن مَن يَعْرِفُ خَيْرَ الشَّرَّيْنِ
Orang cerdas bukan yang hanya tahu baik dan buruk; tetapi yang tahu pilihan terbaik di antara dua yang buruk.

Dengan itu, masa lalunya yang gelap pun berubah menjadi lentera

4. Emosi Stabil dan Tidak Reaktif

Ketika seseorang sudah berdamai dengan masa lalu, jiwanya seperti danau yang tenang.

Ia tidak lagi mudah terpancing oleh sindiran, tidak terseret arus kemarahan, dan tidak berkobar oleh provokasi kecil.

Ia menahan diri bukan karena lemah, tetapi karena kuat.Allah memuji mereka yang mampu mengendalikan diri:
وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ
Orang-orang yang menahan amarah dan memaafkan manusia. (Ali Imran: 134)
Rasulullah SAW. menjelaskan:
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ… إِنَّمَا الشَّدِيدُ مَنْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِندَ الْغَضَبِ
Orang kuat bukan yang menang bergulat, tetapi yang mampu menahan diri saat marah. (Muttafaq ‘alaih)

Ibnul Qayyim menulis:
الغَضَبُ جِذْرُ كُلِّ شَرٍّ، وَالصَّبْرُ أَصْلُ كُلِّ خَيْرٍ
Amarah adalah akar keburukan; sabar adalah pokok segala kebaikan.

Inilah ketenangan yang hanya lahir dari jiwa yang selesai dengan lukanya.

5. Tidak Perlu Membuktikan Apa pun kepada Siapa pun

Setelah emosi tenang, ia menyadari bahwa hidup tidak perlu dipenuhi pertunjukan. Ia berhenti berkata “lihat aku”, dan mulai berkata “lihat amal ini kepada Allah”.

Ia tidak lagi butuh panggung atau sorotan. Ia tahu bahwa keikhlasan tumbuh paling subur dalam kesunyian. Allah berfirman:
وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنفُسِكُم مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِندَ اللَّهِ
Setiap kebaikan yang kalian lakukan akan kalian temukan balasannya di sisi Allah. (Al-Baqarah: 110)

Rasulullah SAW. berkata:
طُوبَى لِمَنْ تَوَاضَعَ لِلَّهِ وَخَفِيَ ذِكْرُهُ
Beruntunglah orang yang merendah karena Allah dan tidak mencari popularitas. (HR. Al-Bazzar)

Ali bin Abi Thalib mengingatkan dengan tajam:
اعْمَلُوا لِغَيْرِ رِيَاءٍ… فَإِنَّ مَنْ يَعْمَلُ لِلنَّاسِ يُعْطِهِ اللَّهُ لِلنَّاسِ
Beramallah tanpa riya; karena siapa bekerja untuk manusia, Allah akan menyerahkannya kepada manusia.

Ketika seseorang tidak lagi butuh membuktikan apa pun, ia menemukan kebebasan yang tidak bisa dibeli oleh dunia.

Akhirnya, jiwa yang selesai bukanlah jiwa yang tanpa luka, tetapi jiwa yang telah memahami makna setiap lukanya.

Ia tidak lagi berlari mengejar dunia, tidak pula sibuk menatap ke belakang. Ia melangkah ringan, membawa keyakinan bahwa ketenangan sejati hanya tumbuh ketika manusia berdamai dengan dirinya dan menyerahkan seluruh urusannya kepada Allah.

Semoga kita semua diberi kemampuan untuk menata hati, menghaluskan jiwa, dan menemukan keutuhan batin yang menjadi sumber kedewasaan dan kebahagiaan yang hakiki.

#Wallahu A’lam Bis-Shawab🙏

Facebook Comments Box