Kapitalisme, Bencana Banjir-Longsor Massif Sumatera, dan Mengakhiri Gugup dan Absennya Kaum Ulama

 Kapitalisme, Bencana Banjir-Longsor Massif Sumatera, dan Mengakhiri Gugup dan Absennya Kaum Ulama

Oleh: Syahrul E Dasopang, Mantan Ketua Umum PB HMI

Bencana Banjir-Longsor massif di Sumatera, telah mengakibatkan lenyapnya habitat kehidupan secara drastis dan ekstrem dalam skala luas dan besar.

Menurut data BNPB per Kamis pagi, 4 Desember 2025, yang dikutip oleh Tempo, sebanyak 776 jiwa meninggal, 564 jiwa dinyatakan hilang dan 2,6 ribu jiwa luka-luka. Sebanyak 51 kabupaten/kota di Pulau Sumatera terdampak bencana ekologis ini. Setidaknya 10,4 ribu rumah dilaporkan rusak. Sejumlah 354 fasilitas umum, 9 fasilitas kesehatan, 213 fasilitas pendidikan, 132 rumah ibadah, 100 gedung atau kantor, hingga 295 jembatan juga rusak akibat banjir dan longsor.

Data ini akan terus berubah dan bertambah dalam hari demi hari ke depan sampai penanganan bencana dinyatakan selesai. Baca: Data BNPB per Kamis Pagi: 776 Meninggal dalam Bencana Banjir Sumatera | tempo.co https://share.google/BohclHWAzQBBYo3Gd

Bencana menyedihkan dan disayangkan akibat keserakahan kaum kapitalis ini, telah dialamatkan oleh sebagian orang pada faktor penyebab utamanya ialah dengan apa yang disebut deforestasi. Deforestasi atau pelenyapan hutan terjadi di tiga provinsi, Aceh, Sumut dan Sumbar dengan skala massif. Sebaliknya pemerintah menonjolkan penyebabnya yang lain, yakni faktor alam di luar kemampuan manusia, yaitu curah hujan yang ekstrem. Tapi kalau deforestasi tidak terjadi secara signifikan, curah hujan ekstrem pun tidak akan mengakibatkan bencana separah tahun ini. Pertanyaannya kemudian, mengapa terjadi deforestasi demikian massif? Bukankah ini jelas hasil tangan dan keserakahan manusia? Bukan alam. Motif apa dan logika macam apa yang memainkan peranan dalam aksi deforestasi raksasa yang dikendalikan korporasi-korporasi padat modal? Motif dan logika di balik deforestasi inilah yang sebenarnya biangkerok persoalan dan seharusnya biangkerok inilah yang harusnya ditangani, bukan hal yang lain. Karena dia penyebab pertama dan determinan. Motif dan logika aksi deforestasi ini bertanggungjawab atas lenyapnya ribuan nyawa, harta benda, sumberdaya kehidupan rakyat dan sejarah berbagai masyarakat dengan pemukimannya yang sudah terbentuk lama. Jika biangkerok dari deforestasi ini tidak ditangani, di kemudian hari, alam dan rakyat kembali menjadi korbannya.

Kapitalisme, Biangkeroknya

Menurut penelitian ilmiah, sudah jelas motif dan logika di balik aksi deforestasi secara massif di Sumatera dan juga di pulau-pulau lain, seperti Kalimantan, Sulawesi, Maluku Utara hingga Papua, adalah kapitalisme. Kapitalisme adalah usaha mengumpulkan sebesar-besarnya kapital (modal) dan kemudian ditanamkan lagi, digandakan, diternakkan dan dieramkan, hingga kapital itu beranak pinak lagi sampai menggunung dan tak ada habis-habisnya kapital itu demi melayani kepentingan dan kesenangan pribadi yang menguasai dan menumpuk kapital itu.

Apa yang terjadi di pedalaman sumatera itu, dengan pembabatan hutan baik untuk diolah kayu-kayunya di pabrik-pabrik raksasa seperti Toba Pulp Lestari (TPL) di dekat Danau Toba, RAPP yang masih satu grup dengan TPL yang berlokasi di tepian Sungai Kampar Riau yaitu RGE milik taipan Sukanto Tanoto, Indah Kiat di tepian Sungai Siak milik Grup Sinarmas, maupun pembabatan itu guna tahap selanjutnya untuk membuka perkebunan sawit raksasa yang lagi-lagi pemiliknya juga arisan di antara Grup Sinarmas, Grup RGE, Grup Astra, Musim Mas, Wilmar Group, dll. Jenis lain dari tujuan pembabatan hutan itu adalah untuk menambang mineral seperti PT Agincourt Resource milik Grup Astra yang tengah disorot di tengah bencana banjir dan longsor di Batang Toru, lokasi perusahaan tersebut beroperasi.

Perusahaan-perusahaan skala kapital raksasa tersebut, adalah wujud nyata dari motif dan logika kapitalisme itu. Lalu apa kapitalisme itu? Topik ini harusnya familiar dalam fikh dan perdebatan-perdebatan ijtihady kaum ulama, mengingat dalamnya pengaruh paham kapital ini terhadap jalan dan susunannya masyarakat, negara dan agama dewasa ini. Sialnya topik ini sepi dan seolah kehilangan relevansi dan dalil dalam topik fikh. Bukan tidak tersedia dalil, tapi yang tidak ada ialah “cara membaca” dalil agama yaitu ayat-ayat Alquran secara berbeda dari yang pernah terjadi sebelumnya menyangkut fenomena kapitalisme.

Tapi sebelum ke problem itu, mari kita definisikan dahulu apa itu kapitalisme sekarang ini. Karena definisi terhadap kapitalisme akan mempengaruhi cara kita menemukan kembali dalil-dalil syara’ tentang praktik kapitalisme.

Kapitalisme

Kapitalisme adalah paham pengakuan akan kepemilikan modal berbasis hak pribadi yang diperlukan secara apriori bagi jaminan kelangsungan dan ekspansi modal itu sendiri, demi kepentingan pribadi pula tanpa dapat dicampuri oleh negara selama tidak melanggar peraturan yang berlaku. Kapitalisme sejak pra wacananya sudah egois dan membatasi diri hanya untuk memastikan terwujudnya keamanan kepentingan pribadi. Paham ini semata-mata melayani kepentingan individu dan memprioritaskannya di atas kepentingan komunitas. Cilakanya lagi, paham ini sudah melangkah jauh tidak hanya menyentuh seputar soal ekonomi dan mekanismenya, tapi merambah pada wilayah persoalan etik hingga filosofi. Misalnya tentang dipandang baik dan benarnya (etika) ekspansi modal oleh pribadi selama tidak melanggar hukum, biarpun menimbulkan kesenjangan kekuatan dan akses kehidupan antar penduduk. Selama yang bersangkutan membayar pajak dan tidak melanggar hukum yang berlaku, betapa pun akibatnya, dia akan dilindungi dan dianggap benar dan baik.

Inilah yang membuat kapitalisme menjadi krusial. Pendeknya kapitalisme adalah paham tentang kebebasan penanaman dan penggunaan modal berbasis pribadi untuk diakumulasikan dan dilipatgandakan sejauh yang sanggup dilakukan si pemilik modal (kapitalis) untuk kepentingan dirinya, kelompoknya, dsb, serentak dengan itu dianggap manakala kapital berkembang, maka akan banyak faedah bagi publik dan negara.

Tidak ada ilmuwan sebelumnya yang lebih esktensif dalam membahas kapital, kecuali Karl Marx. Dia telah menulis sebuah buku yang legendaris, Das Kapital, pada 1867. Mengabaikan pandangan Karl Marx tentang kapital dan kapitalisme hanya karena citranya sebagai pengasas ideologi komunisme merupakan tindakan yang tidak masuk akal dan kurang berpikir objektif. Marx mengatakan, kapitalisme didasarkan pada empat ciri utama: pertama, kapitalisme dicirikan oleh produksi komoditi (production of commodities); kedua, adanya kerja-upahan (wage-labour); ketiga, kehendak untuk menumpuk kekayaan tanpa batas (acquisitiveness); dan keempat, kapitalisme dicirikan oleh organisasi yang rasional.

Sedangkan yang dimaksud dengan kehendak untuk menumpuk kekayaan tanpa batas (acquisitiveness atau endless accumulation of capital), yang merupakan aspek ketiga dari kapitalisme, merupakan motivasi utama seorang kapitalis. Bagi seorang kapitalis, akumulasi kekayaan adalah tujuan utamanya ketimbang bentuk-bentuk tertentu dari kekayaan seperti, tanah atau objek-objek konsumsi lainnya. Bagi seorang kapitalis, motivasinya tidak bisa disederhanakan sekadar keinginan untuk menumpuk kekayaan belaka melainkan, ia secara rasional akan terus-menerus mencari dan mengadopsi alat-alat produksi yang terbaik untuk merealisasikan tujuannya yakni, penumpukan kekayaan tanpa batas.

Praktik Kapitalisme di Indonesia Sejak Orde Baru

Asal muasal kapitalisme secara gagasan dapat dikaitkan dengan pikiran Adam Smith. Dalam pikiran Adam Smith, kapitalisme sebagai persaingan mengejar kekayaan antar individu justru baik bagi publik selama persaingan itu dijamin bebas, fair dan tanpa campur tangan aksi favoritisme negara terhadap masing-masing yang sedang bersaing. Bagi Adam Smith keadaan semacam itu ideal bagi terciptanya kesejahteraan suatu bangsa. Tapi itu hanya dalam alam hayalan Adam Smith dengan istilah dia Pasar Persaingan Sempurna. Dalam realitanya tidak demikian.

Di Indonesia lebih gawat lagi. Kapitalisme yang terjadi sepanjang era Orde Baru yang panjang (32 tahun), bukanlah pasar bebas dan sistem kapitalisme yang fair dan bebas, tetapi sistem kalitalisme yang dibekingi oleh negara, aparat, bahkan dengan layanan kekerasan dan utak-atik hukum. Kapitalis-kapitalis nasional tumbuh gemuk hingga menjadi monopolis di segala bidang, akibat kongkalikong dengan penguasa. Operasinya berkedok kapitalisme, hakikatnya tirani dan fasisme demi kepentingan klik-klik yang berkuasa secara politik. Dan begitulah kapitalisme Indonesia yang berjalan hingga kemudian menimbulkan bencana lingkungan seperti sekarang ini.

Motif Kapitalisme dalam Sorotan Alquran

Alquran sejak 15 abad yang lalu, sebenarnya telah memperingatkan jangan sampai kapitalisme menguasai motif kehidupan manusia. Alquran mengecam dan memperingatkan ancamannya secara keras bagi mereka yang dikuasai motif kapitalisme. Alquran tahu, motif lebih penting untuk dibedah ketimbang gejala-gejalanya. Jika motif dapat diatasi dan ditangani, atau jika hulunya dapat dikendalikan, penjelmaannya yang buruk dan zalim tentu dapat dikendalikan.

Syahdan ketika Rasulullah, Muhammad Saw, hendak beroperasi senyap (pra dakwah terbuka) untuk mengubah keadaan yang buruk dan dekaden di Mekkah, dia tidak disuruh oleh Allah untuk membunuh Abu Jahal, Bos Mekkah, yang menjadi penjelmaan yang buruk dari sistem masyarakat jahiliyah saat itu. Tapi Nabi memperkenalkan dan mensosialisasikan cara pandang baru terhadap manusia, alam, masyarakat dan tentang penguasa absolut atas manusia dan alam itu sendiri, yang dia kenalkan dengan nama Allah. Dia mensosialisasikan firman-firman Alah yang pendek-pendek, padat berisi, tetapi efektif mengubah cara pandang lama sekaligus membangun cara pandang baru. Misalnya ayat An Naas berikut: “Katakanlah! Aku berlindung kepada Tuhan manusia. Penguasa manusia. Sembahan manusia.”

Ayat ini revolusioner untuk ukuran saat itu, di saat mana sistem perbudakan tengah merajalela, dimana orang-orang kuat, bermodal besar dan kaya seperti Abu Jahal dapat sesukanya memiliki budak, memperlakukannya laksana benda mati, properti yang dijualbelikan, dan dirayakan dan dilembagakan sedemikian rupa, lalu tiba-tiba datang ajaran yang menyentuh langsung akar persoalan: bahwa anak manusia punya Tuhannya sendiri, Tuhannya bukan manusia. Tentu juga bukan Abu Jahal tuhannya Zunairah yang diperbudak Abu Jahal. Manusia punya pemilik dan penguasanya sendiri, bukan sesama manusia, tapi Allah.

Dengan demikian, landasan paham pelembagaan perbudakan tersebut dibongkar dan dinegasikan oleh surat An Naas tersebut. Begitulah pendekatan Islam memulai kehadirannya di masyarakat jahiliyah saat itu.

Jadi memang elemen determinan yang bertanggungjawab atas keadaan yang dekaden dan buruk yang dirasakan manusia justru pada yang tidak kasat mata, yaitu paham yang dipercayai, dianut dan dijalankan oleh manusia itu sendiri sehingga melahirkan keadaan, sistem dan efeknya. Lalu Muhammad Saw mempromosikan cara pandang dan ajaran yang dibawanya itu, dengan nama yang sederhana, padat tapi dahsyat dampaknya: Islam (berserah diri dan memulangkan segala urusan kepada Allah, Sang Penganugerah Kehidupan yang Fana).

Demikian juga, kapitalisme yang bukan kasat mata itu, tapi telah melahirkan manusia super power akibat kekuatan kapitalnya, itulah yang harusnya ditangani setepat-tepatnya.

Sekarang marilah kita cermati, ayat manakah yang membahas motif kapitalisme seperti yang disebut di atas itu, menumpuk kekayaan tanpa batas (acquisitiveness atau endless accumulation of capital). Ayat itu dengan nyata dalam Alquran, namun diabaikan untuk dibaca sebagai dalil kecaman terhadap kapitalisme.

Pertama, ayat-ayat pada surat Al Humazah. Ayat-ayat itu berbunyi sebagai berikut:

Surat al-Humazah

وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ

Artinya:
1. Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela,

ٱلَّذِى جَمَعَ مَالًا وَعَدَّدَهُۥ

2. Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung,

يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُۥٓ أَخْلَدَهُۥ

3. dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya,

كَلَّا ۖ لَيُنۢبَذَنَّ فِى ٱلْحُطَمَةِ

4. sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah.

Dalam ayat-ayat al Humazah ini, yang disebut humazah pada ayat pertama diuraikan sendiri oleh ayat kedua dan ketiga, yaitu, “Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya” dan “dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya.”

Sekarang kalau kita cermati motif kapitalis, tidak jauh bedanya dari gambaran ayat itu, mengumpulkan mal atau kapital lalu menghitung-hitungnya. “Jika dialokasikan ke sini, untungnya berapa, ruginya berapa”. Begitulah pikiran pada umumnya seorang kapitalis yang bergelut dengan kapitalnya.

“dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya”, kata ayat tersebut. Harta adalah prima causa bagi seorang kapitalis. Kapital adalah power. Yang dianggapnya dapat mengekalkan usahanya. Pada akhirnya seorang kapitalis mengandalkan kapitalnya layaknya Tuhan pemberi kekuasaan dan kesempatan apapun baginya.

Maka ayat ini mengecam seorang humazah-lumazah tersebut dan menjanjikan akan melemparkan orang semacam itu ke pada Huthomah, suatu jenis neraka yang membakar hingga ke ulu hati.

Humazah ini seakar kata dengan Hamma pada ayat yang lain di dalam Alquran. Pendekatan komparatif teks semacam ini memungkinkan kita memahami teks atau nash secara lebih lengkap.

QS. Al-Qolam: 11 berbunyi:

هَمَّازٍ مَّشَّآءٍۭ بِنَمِيمٍ

Artinya: yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah,

Tampaknya, tidak terelakkan dalam praktik persaingan antar kapitalis, dalam rangka mengejar pertumbuhan modal, acapkali terjadi fitnah, saling menjatuhkan dan manipulasi. Dan memang itulah yang lumrah terjadi akibat konsekwensi mendalam dari memandang modal dapat memberi mereka power dan kekekalan.

Berikutnya, kata lumazah. Lumazah timbul pada:

QS. At Taubah : 58 yang berbunyi;

وَمِنْهُم مَّن يَلْمِزُكَ فِى ٱلصَّدَقَٰتِ فَإِنْ أُعْطُوا۟ مِنْهَا رَضُوا۟ وَإِن لَّمْ يُعْطَوْا۟ مِنْهَآ إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ

Artinya: Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.

Ibnu Rabi’ membedakan makna humazah dan lumazah. Bila humazah mencela dengan terus terang di hadapan yang bersangkutan, sedangkan lumazah, menjelekkan diam-diam di belakang.

Yang kedua, ayat yang relevan sebagai dalil larangan terhadap kapitalisme yaitu ayat-ayat pada surat at Takaatsur. At Takaatsur sendiri bermakna kompetisi dalam pemilikan harta.

Dalam surat at Takaatsur diuraikan sebagai berikut:

أَلْهَىٰكُمُ ٱلتَّكَاثُرُ

Artinya:
1. Telah melalaikan kamu, akan perlombaan adu banyak harta.

حَتَّىٰ زُرْتُمُ ٱلْمَقَابِرَ

2. sampai kamu masuk ke dalam kubur.

Kata at Takaasur, yaitu perombaan kebanggaan dalam banyak-banyakan akumulasi harta, juga terdapat dalam surat Al Hadid ayat 20.

ٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَوْلَٰدِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ ٱلْكُفَّارَ نَبَاتُهُۥ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَىٰهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَٰمًا ۖ وَفِى ٱلْءَاخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضْوَٰنٌ ۚ وَمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلْغُرُورِ

Artinya:

20. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.

Takaatsur jelas dikecam oleh Allah, karena keburukan akibatnya. Takaatsur tidak mungkin subur pada suatu bangsa yang patuh pada Allah, dan sejatinya hanya terjadi pada suatu bangsa yang memuja materialisme.

Demikianlah bahwa kapitalisme tersebut dalam sorotan Alquran dinamakan dengan istilah “Humazah-Lumazah” dan “at Takaatsur” yang semuanya benar-benar tidak diapresiasi oleh Allah, malahan dikecam dan disanksi masuk neraka.

Alquran membentangkan kepada kita motif buruk dari kapitalisme tersebut, yaitu mengejar kesenangan adu banyak harta (takatsur) dan mengumpulkan dan menghitung-hitung harta (humazah-lumazah). Oleh sebab itu, kapitalisme jelas dilarang dalam praktik Islam sejati.

Sebagian pakar lagi menyoroti kapitalisme dengan motifnya yang cenderung menimbun. Karena itu, kapitalisme dibongkar dan dikecam oleh ayat 34-35 dari surat At Taibah.

Surat At-Taubah Ayat 34-35

وَٱلَّذِينَ يَكْنِزُونَ ٱلذَّهَبَ وَٱلْفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

Artinya: Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,

يَوْمَ يُحْمَىٰ عَلَيْهَا فِى نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ ۖ هَٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنفُسِكُمْ فَذُوقُوا۟ مَا كُنتُمْ تَكْنِزُونَ

Artinya: Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.

Simaklah, ayat Alquran di atas menyatakan: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri,”. Memang kapitalisme itu basis etiknya ialah mengutamakan kepentingan diri sendiri. Persetan dengan orang lain, selama saya tidak melanggar peraturan dan mengganggu orang lain, saya berada di pihak yang benar dan baik. Demikian hayalan kaum.kapitalis. Tapi.nyatanya, ketika korporasi mereka merusak lingkungan, hutan, ekosistem, iklim, dan promosi azas hidup survival of the fittest layaknya hukum rimba, mereka tidak saja mengganggu, tapi merusak keseimbangan kosmik yang diciptakan oleh Allah untuk kebaikan umat manusia. Karena itu, kapitalisme adalah kufr dan zhulm.

Kesimpulan

Implikasi kapitalisme yang kini telah merenggut korban yang besar jiwa dan harta benda dari banjir dan longsor massif di pulau Sumatera, merupakan kezaliman yang nyata menurut Alquran sebagaimana yang telah dibentangkan di atas.

Membiarkan praktik kapitalisme apalagi melegitimasinya dengan ayat-ayat yang suci, merupakan hal yang tak termaafkan.***

Penulis adalah warga yang berasal dari Sumatera dan penggali makna ayat-ayat Alquran yang kaya dan mendalam.

Facebook Comments Box