BISNIS HARAM: Penyebaran Berita Bohong dan Kebencian (BAGIAN Ke-4)

Oleh: Munawir Kamaluddin, Guru Besar UIN Alaudin
Hari ini, gawai seakan menjadi kitab harian yang lebih sering dibuka daripada mushaf yang seharusnya menenangkan jiwa.
Dari layar kecil itu, lahirlah satu ironi yang menyayat nurani: sebuah industri gelap yang menjual kebohongan dan menanamkan kebencian.
Wajahnya bisa berupa jasa buzzer, akun bayaran, atau jaringan media yang sibuk meracik fitnah, menebar hoaks, dan memecah belah masyarakat.
Semua dilakukan demi uang atau kekuasaan. Kebenaran ditukar dengan kepentingan, kehormatan manusia diperjualbelikan bak barang murah di pasar digital.
Betapa kejamnya perdagangan semacam ini, perdagangan yang menukar amanah dengan keuntungan sesaat.
Allah telah memperingatkan dengan tegas:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًۭا
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawaban.” (QS. Al-Isrā’: 36)
Ayat ini seolah menampar budaya klik, share, dan komentar yang menjadikan perhatian publik sebagai komoditas.
Sebab, menjual kabar tanpa tahu kebenarannya bukan hanya tindakan bodoh, tapi juga menumpuk dosa kolektif.
Nabi SAW. bersabda:
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukuplah seseorang itu disebut pendusta jika ia menceritakan setiap apa yang ia dengar.” (HR. Muslim)
Apalagi jika kebohongan itu bukan sekadar spontan, tetapi dijadikan bisnis, dirancang sistematis untuk menguntungkan pihak tertentu.
Inilah yang oleh para ulama disebut al-kadhib al-muntazham,kebohongan yang terorganisir.
Sayyidina ‘Ali bin Abī Thālib pernah berkata:
الْكَذِبُ يُفْسِدُ الْإِيمَانَ كَمَا يُفْسِدُ الْخَلُّ الْعَسَلَ
“Dusta merusak iman sebagaimana cuka merusak madu.”
Kita kini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi ada rezeki halal yang penuh berkah, di sisi lain ada jalan pintas berbalut dosa: bisnis kebohongan yang merusak ruh bangsa.
Maka mari bertanya,
Apakah kita rela mewariskan generasi muda yang penuh kecurigaan, saling meragukan, dan kehilangan orientasi kebenaran?
Apakah pantas pemuda tumbuh di ruang publik yang dipenuhi suara-suara berbayar yang hanya memperdagangkan kebohongan?
Kerusakan yang ditimbulkan tak hanya sosial, tapi juga spiritual dan filosofis.
Secara sosial, hoaks menghancurkan trust capital, modal utama untuk membangun bangsa. Kepercayaan runtuh, solidaritas terkoyak, masyarakat terbelah.
Secara spiritual, orang yang menjual kabar bohong pada hakikatnya telah menukar amanah Allah dengan kepentingan dunia yang sepele. Allah berfirman:
وَلَا تَشْتَرُوا۟ بِعَهْدِ ٱللَّهِ ثَمَنًۭا قَلِيلًا ۚ
“Dan janganlah kamu menukar perjanjian Allah dengan harga yang sedikit.” (QS. An-Nahl: 95)
Secara filosofis, kebohongan adalah pengkhianatan terhadap realitas.
Bila kebohongan terus diproduksi, manusia kehilangan arah, tak mampu lagi membedakan antara yang hakiki dan yang semu. Inilah krisis eksistensial generasi kita.
Lalu, apa yang harus kita lakukan?
Pertama, menghidupkan kesadaran spiritual. Nabi SAW. menegaskan:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari & Muslim)
Artinya, setiap kata adalah amanah. Setiap kalimat adalah ujian iman.
Kedua, menumbuhkan etika digital Islami. Literasi digital tidak hanya soal teknologi, tapi juga soal akhlak.
Anak muda harus diajarkan untuk menimbang kebenaran, memverifikasi berita (tabayyun), dan menjaga kehormatan sebelum menyebarkan informasi.
Ketiga, membangun sanksi moral dan sosial. Penyebar hoaks bukan “pekerja biasa”, melainkan pengkhianat amanah publik.
Norma masyarakat harus tegas menolak menjadikan kebohongan sebagai profesi yang dianggap lumrah.
Keempat, kembali ke budaya silaturahim dan tabayyun. Allah berfirman:
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن جَآءَكُمْ فَاسِقٌۭ بِنَبَإٍۢ فَتَبَيَّنُوٓا
“Wahai orang-orang beriman, jika datang kepada kalian seorang fasik membawa suatu berita, maka periksalah kebenarannya.” (QS. Al-Ḥujurāt: 6)
Menyelamatkan generasi bukan tugas sesaat, melainkan perjalanan panjang menumbuhkan iman, akhlak, dan kecerdasan berpikir.
Kita harus meyakinkan pemuda bahwa kehormatan jauh lebih berharga daripada uang, dan bahwa kebenaran meski pahit tetaplah cahaya yang menyelamatkan.
Sebelum lidah kita berbicara, tanyakan: apakah ini cahaya atau bara?
Sebelum jari mengetik, tanyakan: apakah ini pahala atau fitnah?
Jika setiap orang memilih kebenaran meski tidak menguntungkan, memilih diam ketika tak ada kebaikan, dan memilih klarifikasi saat ragu, maka bisnis kebohongan akan mati dengan sendirinya.
Dan bangsa ini akan kembali mendapatkan keberkahannya.
Marilah kita wariskan pada anak-cucu bukan akun penyebar kebencian, melainkan hati yang terlatih untuk berkata jujur, meski pahit.
Sebab kebenaran, pada akhirnya, adalah cermin yang memantulkan wajah sebuah bangsa yang terhormat.
#Wallāhu A‘lam biṣ-Ṣawāb 🙏