Esensi Makna dan Moderasi Beragama dalam Haji

Fenomena haji bagi sebagian masyarakat dijadikan sebagai simbol identitas ekonomi high class. Hal ini tentu tidak salah karena memang mereka yang mampu secara ekonomis yang diseru untuk menunaikannya.
Hal inipun tidak serta-merta menggugurkan kewajiban melaksanakan rukun Islam yang kelima, melainkan harus dilaksanakan dengan niat dan tertib yang benar-benar lahir dari kesadaran transendental karena memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya.
Haji juga dijadikan sebagai simbol sosial di mana mereka yang mampu menunaikan dipandang memiliki strata sosial high class. Kenyataan ini telah melahirkan fenomena di mana kelompok begawan sosial-ekonomi bisa melakukan ibadah haji secara berulang-ulang walaupun keterangan wajib haji hanya sekali bagi mereka yang mampu.
Kebijakan pembatasan melaksanakan ibadah haji bagi seseorang hanya sekali dipandang sebagai satu bentuk pelanggaran Hak Azasi Beragama seseorang, walaupun memang kebijakan pemerintah dipandang strategik agar terjadi pemerataan kesempatan bagi mereka yang telah lama berada dalam waiting list (5-15 tahun).
Haji mengandung ajaran tentang esensi makna moderasi beragama. Berhaji selain memenuhi syarat kemampuan sebagaimana dikemukakan di atas juga harus lahir dari kesadaran inheren individu yang bersifat transedental bahwa dia telah mencapai masa untuk menunaikannya pada waktu yang tepat sesuai dengaan undangan Allah dan Rasul-Nya sebagaimana tekandung dalam kalimat “labaik allahuma labbaik, labbaika la syaraka laka labaik, Innal hamda wan ni’mata laka wal mull la syarika laka labbaik”.