Fikri Faqih Soroti Urgensi Penulisan Ulang Sejarah yang Komprehensif

 Fikri Faqih Soroti Urgensi Penulisan Ulang Sejarah yang Komprehensif

SEMARANG – Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) melaksanakan kunjungan kerja spesifik ke Universitas Diponegoro (Undip) pada Kamis (3/7/2025).

Kunjungan yang dipimpin oleh Himmatul Aliyah selaku pimpinan Komisi X DPR RI ini diterima langsung oleh Rektor Undip, Suharnomo, dan berfokus pada diskusi dengan para penulis proyek penulisan ulang sejarah Indonesia.

Pemerintah menargetkan proyek ini rampung pada Agustus nanti. Target penyelesaian penulisan ulang sejarah Indonesia itu dirancang agar bertepatan dengan peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia pada 17 Agustus 2025.

Anggota Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih, mengapresiasi atas dinamika penulisan sejarah di Indonesia.

“Alhamdulillah, saya kira ini kunjungan spesifik, bertemu dengan para penulis yang sedang digagas oleh Kemenbud. Saya mencatat dinamika ini bagus,” ujar legislator dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) ini.

Lebih lanjut, Fikri juga menekankan pentingnya penulisan ulang sejarah secara berkala. Menurutnya, setiap masa memiliki perubahan, dinamika, serta geopolitik, sosial, dan ekonomi yang berbeda, sehingga perlu direkam ulang.

“Pertama, tidak ada absolutisme dalam penulisan sejarah, yang berarti penulisan sejarah harus terbuka bagi berbagai perspektif, setiap masa harus ditulis ulang, ada perubahan, ada dinamika, ada geopolitik, sosial ekonomi yang berbeda,” tegas legislator dari daerah pemilihan IX Jateng (Kota Tegal, Kabupaten Tegal dan Kabupaten Brebes) ini.

Lebih lanjut, Fikri mendorong agar penulisan sejarah tidak lagi menjadi monopoli pemerintah. Ia berharap semua pihak dapat berkontribusi dalam merekam peristiwa masa lalu.

“Sejarah tidak hanya ditulis pemerintah, semua pihak harus bisa menulis,” tambahnya.

Selain itu, kedua, Fikri juga menyoroti perluasan spektrum dalam penulisan sejarah. Dia mengusulkan agar isu lingkungan turut diangkat dalam narasi sejarah.

“Saya malah menitipkan isu lingkungan, kita ini butuh sejarah sedimentasi, misalnya berkurangnya hutan akibat pembalakan liar dan hilangnya spesies tertentu sebagai isu penting yang perlu dicatat dalam sejarah,” jelasnya.

Menurut pria yang merupakan peraih gelar Doktor Ilmu Lingkungan (DIL) Undip ini, ilmu ekologi dapat terintegrasi dalam penulisan sejarah, sehingga mampu memberikan gambaran utuh tentang interaksi manusia dengan lingkungannya. Perluasan spektrum hingga isu lingkungan menjadi krusial

Yang ketiga, menurut Fikri, representasi sejarah tidak hanya terbatas pada geografi, melainkan harus mencakup demografi, termasuk gender, etnik, minoritas, hingga mayoritas.

Fikri juga mencontohkan pentingnya membaca buku sejarah secara objektif, terlepas dari suka atau tidak suka terhadap pandangan tertentu, demi kebutuhan informasi dan penilaian yang lebih mendalam.

“Ini bukan tidak suka atau suka, menilai lebih objektif,” pungkasnya.

Gagasan ini diharapkan dapat memicu lahirnya karya-karya sejarah yang lebih komprehensif dan relevan dengan tantangan zaman.

Terakhir, Fikri berpesan agar Kementerian Kebudayaan bisa menjaga akuntabilitas dan transparansi program penulisan sejarah. “Menteri Kebudayaan diharapkan dapat menjaga akuntabilitas dan transparansi program penulisan sejarah,” pungkasnya.

Facebook Comments Box