I Nyoman Parta Ingin RUU PPRT Adaptif dengan Budaya Kekeluargaan di Bali

 I Nyoman Parta Ingin RUU PPRT Adaptif dengan Budaya Kekeluargaan di Bali

i nyoman parta

JAKARTA – Anggota Baleg DPR RI dari Fraksi PDIP Dapil Bali I Nyoman Parta menyebutkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) perlu adaptif terhadap budaya kekeluargaan di Bali.

Itu sampaikan U Nyoman usai menggelar Forum Group Discussion (FGD) RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga bertema ‘Menyerap Aspirasi dan Menata Regulasi Menuju Legislasi yang Responsif dan Partisipatif’ di Universitas Udayana, Bali, Rabu (2/7/2025).

I Nyoman menekankan pentingnya sensitivitas budaya dan kondisi lokal dalam merumuskan RUU PPRT khususnya di Bali. Baginya, aturan pekerja rumah tangga harus sesuai kebutuhan saat ini.

“Pertama, saya sangat mengapresiasi pelaksanaan FGD ini di Bali, apalagi narasumbernya berasal dari kalangan yang memang paham dan terlibat langsung dalam isu PRT, seperti akademisi Universitas Udayana, LSM APIK, dan JALA PRT,” kata I Nyoman.

Lebih lanjut, I Nyoman menggarisbawahi RUU PPRT telah melewati proses panjang selama lebih dari 20 tahun namun belum juga diundangkan. Salah satu tantangan utama dalam penyusunannya, menurut Parta, adalah kekhawatiran publik bahwa RUU ini akan menyeragamkan hubungan kerja PRT dengan hubungan industrial sebagaimana yang berlaku di sektor formal.

“Apakah nantinya hubungan kerja PRT akan seperti hubungan industrial—ada cuti, jam kerja, upah minimal, lembur, dan pembatasan satu pekerjaan? Ini yang menjadi kekhawatiran,” ujarnya.

Menurutnya, di Bali, relasi antara PRT dan pemberi kerja cenderung bersifat kekeluargaan dan privat. Bahkan dalam banyak kasus, PRT diperlakukan seperti anggota keluarga sendiri.

“Mereka makan di meja yang sama, pakai kamar mandi yang sama, dan bila keluarganya sakit, PRT juga turut merawat. Kalau anaknya butuh uang sekolah, mereka ikut membantu. Kalau kita atur terlalu ketat, suasana kekeluargaan itu bisa hilang,” jelas legislator dari Dapil Bali tersebut.

Ia juga menyinggung aspek praktis dan ekonomi dalam penerapan RUU ini. Misalnya, jika PRT diwajibkan memiliki spesifikasi kerja tunggal—seperti hanya memasak, menyetrika, atau membersihkan—maka hanya keluarga berada yang bisa memenuhi ketentuan tersebut karena harus mempekerjakan lebih dari satu PRT.

“Realitanya di Bali, mayoritas PRT adalah kerabat dekat. Kasus kekerasan relatif sedikit. Satu dua ada, dan biasanya lebih karena ketidaksesuaian budaya, seperti PRT muda yang belum berpengalaman menghadapi anak-anak,” tambahnya.

I Nyoman juga menyoroti risiko praktik perdagangan orang (human trafficking) yang dapat terjadi jika PRT direkrut melalui pihak ketiga atau vendor. Ia mengungkapkan adanya praktik pemotongan upah PRT oleh vendor, yang menyebabkan pekerja rumah tangga kerap kabur setelah bekerja hanya satu atau dua minggu.

“Siapa yang melindungi majikannya? PRT dilindungi, tapi pemberi kerja tidak. Belum lagi upah PRT yang dipotong vendor—upah pertama, kedua, sampai keempat. Ini realitas yang terjadi dan perlu diantisipasi dalam perumusan RUU,” tegasnya.

 

Facebook Comments Box