KEMATIAN SUNYI DEMOKRASI: Catatan Gelap Para Pemilik Sah Republik
Munawir Kamaluddin Bersama Ahmad Muzani
Oleh: Munawir Kamaluddin, Guru Besar UIN Alauddin, Makassar / Direktur LAPSENUSA (Lembaga Advokasi dan Pengembangan Sosial dan Ekonomi Nusantara)
Pertanyaan paling sunyi dalam sejarah bangsa ini bukanlah “siapa yang memimpin?”, melainkan “siapa yang sesungguhnya memiliki republik ini?”.
Pada suatu masa, kita dipaksa bertanya dalam lirih yang gemetar. Apakah demokrasi benar-benar masih hidup, ataukah ia hanya ritual yang dipentaskan setiap lima tahun. Disanjung dengan tepuk tangan, tetapi kehilangan ruh dan makna?
Gelisah itu lahir bukan dari keputusasaan, tetapi dari cinta yang terlalu besar pada tanah ini. Cinta yang membuat kita resah ketika melihat demokrasi berdiri seperti tubuh yang kehilangan jantung.
Seolah hidup, tetapi tidak berdenyut. Demokrasi perlahan menjadi nama tanpa makna, bangunan tanpa fondasi, dan janji tanpa pemenuhan.
Ia kehilangan cahaya bukan karena rakyat lemah, bukan karena bangsa ini kecil, tetapi karena kekuasaan diam-diam dipersempit menjadi milik segelintir orang.
Mereka yang tidak pernah dipilih rakyat, tetapi mengatur jalannya negara dari balik tirai. Di situlah oligarki tumbuh, tak bermahkota, tetapi memerintah, tak tampil di panggung, tetapi menguasai naskah.
Fenomena ini disinggung Al-Qur’an sebagai bentuk penghancuran terselubung:
يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُم بِأَيْدِيهِمْ
“Mereka merusak rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri.” (QS. al-Ḥasyr: 2)
Rasulullah SAW. menguatkan pesan itu dengan peringatan yang tajam:
إِذَا ضُيِّعَتِ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
“Jika amanah disia-siakan, maka tunggulah saat kehancuran.”
(HR. al-Bukhari).
Ketika jabatan diperjualbelikan, ketika suara rakyat diperlakukan sebagai komoditas, ketika hukum tunduk pada elit, maka sesungguhnya bukan demokrasi yang runtuh, tetapi martabat sebuah bangsa.
Namun dalam seluruh gelap itu, penderita paling sunyi bukan negara, melainkan rakyat. Pemilik sah republik.
Mereka yang hadir dalam pemilu, tetapi hilang dalam pengambilan keputusan. Mereka yang suaranya dipinjam lima tahun sekali, tetapi hidupnya diabaikan lima tahun berikutnya.
Allah menegaskan bahwa setiap manusia kelak akan ditanya atas amanah sosialnya:
وَقِفُوهُمْ إِنَّهُم مَّسْئُولُونَ
“Tahan mereka, sesungguhnya mereka akan dimintai pertanggungjawaban.”(QS. aṣ-Saaffat : 24)
Ayat ini bukan hanya untuk para pemimpin, tetapi juga untuk rakyat, sebab rakyat pun akan ditanya, apakah mereka membiarkan kezaliman tumbuh, oligarki berkuasa, dan demokrasi dirampas tanpa perlawanan?
Namun bangsa ini belum mati. Bara kecil selalu tersisa di dada rakyat, dan bara itu bisa menyala bila disentuh kepemimpinan yang benar.
Di tengah kegelapan itulah rakyat menaruh harapan besar kepada Presiden Prabowo Subianto, sebagai sosok yang dianggap selesai dengan dirinya sendiri sehingga akan fokus kepada rakyat dan bangsa ini.
Harapan itu bukan karena beliau sempurna, tidak ada manusia yang sempurna. Harapan itu tumbuh karena bangsa ini membutuhkan seorang pemimpin yang cukup kuat untuk menantang oligarki, cukup matang untuk merawat demokrasi, dan cukup jujur untuk mengembalikan kedaulatan kepada pemilik sahnya, yakni rakyat Indonesia.
Bukan kultus individu, bukan romantisme politik, tetapi kebutuhan sosiologis yang lahir dari luka panjang republik ini. Rakyat berharap Prabowo menjadi presiden pertama dalam dua dekade terakhir yang berani memutus mata rantai politik simbolik dan mengantarkan bangsa menuju demokrasi substantif.
Rasulullah SAW. pernah mengingatkan bahwa perubahan besar kadang datang dari tangan yang tidak kita duga:
إِنَّ اللَّهَ لَيُؤَيِّدُ الدِّينَ بِالرَّجُلِ غَيْرِ الصَّالِحِ
“Allah dapat menolong agama melalui seseorang yang tidak sempurna.”(HR. Muslim)
Jika agama saja bisa ditolong melalui sosok apa pun, maka republik pun demikian. Dan rakyat berharap, melalui kepemimpinan Prabowo, demokrasi yang lama ditidurkan oleh kepentingan segelintir orang dapat dibangunkan kembali.
Harapan rakyat itu sederhana namun tegas, yakni kembalikan demokrasi kepada pemilik sahnya. Kembalikan negara kepada rakyat. Kembalikan kedaulatan kepada suara terbanyak, bukan suara terkuat.
Rakyat tidak menuntut keajaiban. Mereka menuntut keberanian. Sebab hanya keberanian politik yang dapat mematahkan lingkar kekuasaan gelap yang selama ini tak tersentuh.
Sayyidina Umar ra. pernah berkata dengan ketegasan yang seakan ditujukan untuk zaman ini:
لَا خَيْرَ فِيكُمْ إِنْ لَمْ تَقُولُوهَا، وَلَا خَيْرَ فِينَا إِنْ لَمْ نَسْمَعْهَا
“Tidak ada kebaikan pada kalian jika kalian tidak menegur kami,
dan tidak ada kebaikan pada kami jika kami tidak mendengarnya.”
Inilah ruh demokrasi, pemimpin yang mau mendengar dan rakyat yang berani menyuarakan. Tanpa keduanya, kedaulatan hanyalah mitos.
Allah pun memberi rumus perubahan sosial yang sangat dasar:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.”(QS. ar-Ra‘d: 11)
Perubahan tidak lahir dari keluhan, bukan dari survei, bukan dari orasi di televisi. Perubahan lahir dari keberanian moral rakyat dan keberpihakan nyata pemimpin.
Jika rakyat menjadi penjaga moral terakhir bangsa, dan Prabowo memilih berdiri di sisi rakyat, maka oligarki akan kehilangan tahtanya. Bahkan struktur kekuasaan yang paling kokoh pun akan goyah bila kebenaran berdiri tegak di hadapannya.
Sebab Allah telah berjanji:
وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
“Kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang bertakwa.”(QS. al-Qasas:83)
Pada akhirnya, setelah perjalanan panjang menelusuri gelapnya lorong kekuasaan, kita memahami bahea demokrasi Indonesia belum mati. Ia hanya sedang ditidurkan. Ia menunggu tangan siapa yang akan membangunkannya, menunggu keberanian siapa yang akan menyalakan kembali cahaya rakyat.
Dan rakyat menyebut satu nama dalam doa dan harapannya: *Prabowo Subianto.*
Bukan sebagai penyelamat, tetapi sebagai pelayan rakyat, bukan sebagai pemilik kekuasaan, tetapi sebagai pengembali kepada yang berhak.
Allah menutup kegelisahan ini dengan kalimat penghiburan yang tak pernah basi:
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
“Tuhanmu tidak pernah lupa.”
(QS. Maryam: 64)
Maka selama rakyat tidak melupakan negaranya, dan pemimpin tidak melupakan rakyatnya, demokrasi akan menemukan jalannya kembali. Ia akan bangkit perlahan, seperti fajar yang muncul setelah malam yang panjang.
Dan ketika cahaya itu menyala, oligarki betapapun kuat, tidak akan mampu bertahan.
#Wallahu A’lam Bishawab
