KEMERDEKAAN YANG TERBEBANI ?: Saat Zakat dan Pajak Bertemu di Persimpangan

 KEMERDEKAAN YANG TERBEBANI ?: Saat Zakat dan Pajak Bertemu di Persimpangan

Oleh: Munawir Kamaluddin, Guru Besar UIN Alauddin Makassar

Pernahkah kita duduk sejenak dalam keheningan, lalu bertanya pada hati nurani yang paling jujur, apakah kemerdekaan yang diwariskan oleh para pejuang bangsa ini telah benar-benar menghadirkan kesejahteraan yang merata, ataukah ia masih sekadar bendera yang berkibar tanpa mampu menghapus jerit rakyat kecil?

Apakah pajak yang dipungut dari keringat dan peluh rakyat, benar-benar kembali pada mereka dalam wujud pendidikan yang bermutu, kesehatan yang terjangkau, lapangan kerja yang terbuka, dan keadilan yang nyata?

Ataukah ia terjebak dalam lingkaran birokrasi yang berliku, hingga rakyat kecil hanya bisa pasrah tanpa sempat bertanya, “Ke mana sebenarnya uang kami pergi?”

Dalam Islam, pertanyaan ini bukan sekadar keluh kesah, melainkan muhasabah yang mendalam. Sebab Allah SWT. telah menegaskan dalam firman-Nya:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.” (QS. An-Nisā’: 58)

Ayat ini seolah menjadi cermin bagi setiap pemimpin, bahwa setiap rupiah yang dipungut dari rakyat adalah amanat, dan amanat itu wajib kembali dalam wujud kemaslahatan, bukan kepentingan segelintir.

Sejarah Islam memberi kita teladan yang agung. Zakat adalah pilar utama distribusi harta dalam syariat.

Ia bukan sekadar kewajiban finansial, tetapi juga ibadah, pembersih harta, pengikat persaudaraan sosial, dan penyeimbang antara si kaya dan si miskin.

Rasulullah SAW. menugaskan para amil untuk mengumpulkan zakat, dan beliau selalu memastikan bahwa hasil zakat itu benar-benar sampai ke tangan mustahik.

Pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, bahkan beliau berperang melawan kaum yang enggan menunaikan zakat, sebab zakat adalah hak masyarakat yang tidak boleh diabaikan.

Namun dalam perjalanan sejarah, selain zakat, Islam juga mengenal kharaj (pajak tanah) dan jizyah (pajak perlindungan bagi non-Muslim).

Keduanya diberlakukan dengan penuh pertimbangan keadilan. Tidak ada kezaliman, tidak ada pungutan yang mencekik, dan tidak ada penyalahgunaan.

Sayyidina Umar bin Khattab RA pernah menangis ketika melihat rakyatnya terbebani, seraya berkata: “Seandainya seekor keledai jatuh di jalan Irak, aku khawatir Allah akan menuntutku mengapa aku tidak memperhatikan jalan itu.”

Betapa besar rasa tanggung jawab seorang khalifah terhadap kesejahteraan rakyatnya.

Lalu bagaimana dengan pajak dalam dunia modern kita hari ini?

Zakat memang telah dilembagakan melalui BAZNAS, sebuah institusi resmi yang mengelola kewajiban umat Islam. Namun kenyataannya, zakat sering kali tidak menjadi pilar utama dalam APBN kita, melainkan hanya pelengkap.

Pajaklah yang menjadi tulang punggung negara. Pertanyaannya: apakah sistem ini sudah selaras dengan maqaqasid as-Syari’ah, tujuan agung syariat yang menjunjung tinggi keadilan, kesejahteraan, dan kemaslahatan?

Jika pajak hanya menjadi beban tambahan tanpa mempertimbangkan zakat yang sudah berjalan, maka sesungguhnya rakyat menanggung kewajiban ganda.

Di satu sisi mereka wajib menunaikan zakat sebagai kewajiban agama, di sisi lain mereka juga dipaksa menunaikan pajak sebagai kewajiban negara.

Beban itu bisa terasa berat bagi masyarakat kecil, sementara mereka jarang merasakan langsung manfaat yang sepadan.

Inilah yang membuat sebagian ulama menilai pajak sebagai sesuatu yang harus dipertimbangkan ulang.

Imam Asy-Syaukani bahkan menegaskan: “كُلُّ مَكْسٍ حَرَامٌ”, setiap pungutan yang tidak ditetapkan syariat, dan dilakukan dengan paksaan, hukumnya haram.

Namun, sebagian ulama lain lebih bijak melihatnya. Ibn Hazm mengutip hadis Rasulullah SAW:
فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاة
“Sesungguhnya dalam harta ada hak lain selain zakat.” (HR. Tirmidzi)

Pernyataan ini memberi ruang bahwa dalam kondisi darurat, ketika kebutuhan negara untuk maslahat rakyat lebih besar daripada hasil zakat, maka pungutan lain boleh diberlakukan.

Dengan syarat: adil, transparan, tidak berlebihan, dan benar-benar kembali kepada kepentingan umat.

Di sinilah titik kritisnya. Pajak bisa menjadi instrumen maslahat, tetapi bisa pula menjelma alat kezaliman. Ia bisa menjadi wujud amanah, tetapi bisa pula bertransformasi menjadi kebohongan kolektif jika tidak dikelola dengan benar.

Rakyat diberi janji bahwa pajak adalah demi kepentingan mereka, tetapi kenyataan yang mereka lihat adalah jalan rusak yang tak diperbaiki, fasilitas publik yang terbengkalai, dan korupsi yang tetap merajalela.

Rasulullah SAW. pernah bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini seakan mengetuk hati para pemimpin, bahwa pajak bukan sekadar angka dalam laporan keuangan, melainkan amanat yang akan ditanya Allah di hari akhir.

Maka, solusi yang ditawarkan Islam adalah keadilan yang menyeluruh.

Pajak harus dikelola secara transparan, dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk nyata, dan disinergikan dengan zakat agar tidak menimbulkan beban ganda.

Yang kaya seharusnya membayar lebih, yang miskin seharusnya justru diringankan.

Pajak yang sah secara hukum negara bisa menjadi sah pula secara agama jika memenuhi syarat keadilan dan maslahat.

Tetapi jika tidak, maka ia hanya akan menjadi beban yang menyalahi tujuan kemerdekaan.

Sungguh, amanat kemerdekaan adalah menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Jika pajak benar-benar dikelola dengan amanah, maka ia adalah bagian dari ikhtiar mewujudkan cita-cita para pahlawan.

Tetapi jika pajak hanya menjadi instrumen penghisapan, maka sesungguhnya kita sedang mengkhianati darah dan air mata yang pernah tertumpah di medan perjuangan.

Saudaraku, marilah kita jadikan kemerdekaan ini bukan sekadar simbol, melainkan ruh yang hidup dalam kebijakan publik.

Mari kita jadikan pajak bukan sebagai beban yang mencekik, tetapi sebagai amanat yang menumbuhkan kesejahteraan.

Mari kita kawal agar pajak sejalan dengan zakat, agar keduanya menjadi instrumen maslahat, bukan instrumen penindasan.

Dan mari kita berdoa dengan penuh kerendahan hati:
اللَّهُمَّ اجْعَلْ أَمْوَالَنَا سَبَبًا لِرِضَاكَ، وَلَا تَجْعَلْهَا سَبَبًا لِسَخَطِكَ، وَوَفِّقْ وُلَاةَ أُمُورِنَا لِلْعَدْلِ وَالرَّحْمَةِ وَالأَمَانَةِ
“Ya Allah, jadikan harta kami sebagai sebab keridhaan-Mu, jangan Engkau jadikan ia sebagai sebab kemurkaan-Mu. Tuntunlah para pemimpin kami untuk berlaku adil, penuh kasih sayang, dan menjaga amanat.”

#Wallahu A’lam Bissawab🙏

Facebook Comments Box