KETIKA NEW YORK MENANTANG WASHINGTON: Zohran Mamdani dan Revolusi Moral yang Mengguncang Nurani Dunia

 KETIKA NEW YORK MENANTANG WASHINGTON: Zohran Mamdani dan Revolusi Moral yang Mengguncang Nurani Dunia

Munawir Kamaluddin Bersama Wakil Menteri Luar Negeri RI Anis Matta

Oleh: Munawir Kamaluddin, Guru Besar UIN Alaudin Makassar

Apakah nurani masih memiliki tempat di panggung politik global yang dikuasai oleh kepentingan modal dan ambisi kekuasaan?

Bisakah kejujuran moral menembus tembok hegemoni yang selama ini membungkam suara keadilan?

Mungkinkah seorang imigran Muslim keturunan Afrika–Asia Selatan mampu mengubah arah sejarah di negeri yang menjadi simbol kapitalisme dunia?

Pertanyaan-pertanyaan itu menggema ketika dunia menyaksikan kemenangan *Zohran Mamdani*,seorang walikota muda dari New York yang berani menantang struktur kekuasaan Washington.

Ia bukan sekadar pejabat publik, melainkan fenomena moral , simbol bahwa di tengah gelapnya politik global, masih ada cahaya yang menuntun pada kebenaran.

Kemenangannya bukan sekadar kemenangan elektoral, melainkan kebangkitan nurani kemanusiaan, bukan sekadar rotasi kekuasaan, tetapi revolusi nilai yang menghidupkan kembali makna politik sebagai ibadah sosial.

Dunia modern sering menjadikan politik sebagai ruang pertarungan kepentingan, tempat kekuasaan dijadikan tujuan, dan moralitas dianggap beban.

Namun, di tengah realitas itu, Mamdani hadir seperti hembusan udara segar yang membawa pesan dari hati, bahwa politik sejati adalah pembelaan terhadap manusia, bukan penguasaan atas manusia.

Ia lantang bersuara ketika banyak memilih diam. Ia menyebut Benjamin Netanyahu sebagai penjahat perang, menolak kebijakan diskriminatif Donald Trump, dan menyeru agar Palestina dibebaskan dari rantai penindasan.

Kata-katanya mengguncang diplomasi global, tapi justru di situlah letak kekuatannya , ia berbicara bukan dengan amarah, melainkan dengan nurani yang sadar akan kebenaran.

Islam sejak awal mengajarkan bahwa kebenaran yang diucapkan di hadapan penguasa zalim adalah jihad tertinggi. Rasulullah SAW. bersabda:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.”
(HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Inilah esensi yang dihidupkan Mamdani dalam wajah politik modern. Ia tidak membawa senjata, tapi suaranya mengguncang senjata moral dunia.

Ia tidak menaklukkan wilayah, tetapi menaklukkan hati manusia dengan keberanian berbicara benar di tengah kebisuan kolektif.

Kata-katanya seakan menafsirkan firman Allah Swt.:
وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ
“Dan janganlah kamu condong kepada orang-orang zalim, karena api neraka akan menyentuhmu.”
(QS. Hud: 113)

Ayat ini bukan hanya peringatan bagi penguasa, tapi juga bagi umat manusia: bahwa diam terhadap kezaliman berarti ikut melestarikannya.

Zohran Mamdani datang dari latar diaspora , darahnya memuat sejarah panjang kolonialisme, diskriminasi, dan perjuangan identitas.

Namun luka sejarah itu tidak membuatnya pahit, sebaliknya, ia menjadikannya sumber empati yang tak pernah kering.

Seperti Nabi Musa AS. yang tumbuh di istana Fir’aun namun memilih berpihak kepada kaum tertindas, Mamdani menempuh jalan moral yang sama.
وَنُرِيدُ أَنْ نَمُنَّ عَلَى الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا فِي الْأَرْضِ
“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi.”(QS. Al-Qashash: 5)

Ia sadar bahwa kekuasaan tanpa keberpihakan hanyalah kehampaan.
Karena itu, ia menjadikan politik bukan ajang perebutan jabatan, melainkan ruang untuk menegakkan ‘adl (keadilan) dan rahmah (kasih sayang).

Dalam pandangannya, setiap keputusan politik adalah amanah, bukan keuntungan.Sebagaimana firman Allah Swt.:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan.”
(QS. An-Nahl: 90)

Dan Rasulullah SAW.bersabda:
الظلم ظلمات يوم القيامة
“Kezaliman adalah kegelapan di hari kiamat.”(HR. Bukhari & Muslim)

Mamdani menolak kegelapan itu dengan cahaya keberanian. Ia melanjutkan pesan para ulama terdahulu yang tidak mau berdiam diri di hadapan ketidakadilan.
Sebagaimana Ali bin Abi Thalib RA. pernah berkata:
ما أُخِذَ اللهُ على العلماء أن لا يُقِرّوا على كِظَّةِ ظالمٍ ولا سَغَبِ مظلومٍ
“Allah telah mengambil janji dari para ulama agar mereka tidak membiarkan orang zalim hidup dalam kemewahan, dan orang tertindas dalam kelaparan.”
(Nahj al-Balāghah)

Dengan cara modernnya, Mamdani menegakkan warisan spiritual ini di jantung dunia kapitalis.

Dalam setiap pidatonya, ia menyeru dunia agar memikirkan kembali makna solidaritas global.

Ia menolak politik yang berpihak pada pemilik modal, dan memilih berdiri di sisi para pekerja, imigran, dan kaum miskin kota.

Ia menghidupkan kembali makna sabda Nabi SAW:
الخلق عيال الله، فأحبهم إلى الله أنفعهم لعياله
“Makhluk adalah keluarga Allah, dan yang paling dicintai oleh-Nya adalah yang paling bermanfaat bagi keluarganya.”(HR. al-Baihaqi)

Politik baginya bukan strategi kekuasaan, tapi ibadah sosial, ruang di mana kasih sayang diterjemahkan menjadi kebijakan, dan keadilan diwujudkan dalam tindakan.

Dan ketika ia berbicara tentang Palestina, dunia kembali terdiam.
Suara itu seperti menggema dari hati umat manusia yang telah lama lelah menyaksikan tragedi tanpa akhir.

Ia menolak kezaliman bukan karena kebencian, tetapi karena cinta terhadap kemanusiaan. Rasulullah SAW. bersabda:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang beriman dalam cinta dan kasih sayang mereka adalah seperti satu tubuh: bila satu anggota sakit, seluruh tubuh turut merasakannya.”
(HR. Muslim)

Dari New York, ia berbicara untuk Gaza, untuk dunia, untuk seluruh hati yang masih bergetar oleh rasa keadilan.

Ia menyalakan kembali api ukhuwah insaniyah persaudaraan kemanusiaan lintas agama, bangsa, dan ideologi.

Kini, dunia menyaksikan New York bukan hanya sebagai kota ekonomi dan hiburan, tetapi sebagai cermin nurani dunia.

Kemenangan Zohran Mamdani menunjukkan bahwa masih ada harapan bagi politik yang jujur, dan bahwa kekuasaan dapat menjadi sarana ibadah jika dijalankan dengan keadilan dan kasih sayang.
العدل أساس الملك
“Keadilan adalah dasar tegaknya pemerintahan.”

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah penegak keadilan, saksi karena Allah, meskipun terhadap dirimu sendiri.”(QS. An-Nisa: 135)

Jika hari ini New York berani menantang Washington dalam ranah moral, maka dunia Islam dan umat manusia dihadapkan pada pilihan besar , apakah kita akan terus berdiam, atau ikut menegakkan nurani di tengah gelapnya zaman?

Sebab politik yang memanusiakan manusia adalah satu-satunya bentuk kekuasaan yang layak disebut ibadah.

Dan Zohran Mamdani telah menyalakan api itu, kini giliran dunia untuk menjaganya, agar cahaya nurani tak padam di tengah malam panjang peradaban.

#Wallahu A’lam Bis-shawab

Facebook Comments Box