La Tinro La Tunrung Sebut Sejumlah Rancangan Undang-Undang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU BPIP) Timbulkan Inkonsistensi
JAKARTA – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Dapil Sulsel III La Tinro La Tunrung menilai sejumlah Rancangan Undang-Undang tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU BPIP) seperti redaksi di Pasal 10 yang berpotensi menimbulkan inkonsistensi.
La Tinro mempertanyakan alasan penyebutan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada ayat (2), padahal ayat (1) sebelumnya telah menyebutkan unsur legislatif secara umum.
“Tadi disinggung masalah Pasal 10. Di situ ada Pasal 1 sudah dijelaskan penyelenggaranya badan hukum, badan usaha, setiap warga negara Indonesia, termasuk legislatif. Di ayat (2) disebutkan lagi bersama Majelis Permusyawaratan Rakyat, padahal di atas sudah menyebut legislatif. Apa maksudnya disebutkan lagi MPR di sini?” kata La Tinro dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) Penyusunan RUU BPIP yang berlangsung di Ruang Baleg, Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Senin (24/11/2025) kemarin.
Tak hanya itu, La Tinro kemudian menyinggung ketentuan dalam Pasal 3 mengenai pembentukan perwakilan BPIP di daerah. Ia mempertanyakan manfaat dan keselarasan kewenangan tersebut dengan kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) yang sudah diterapkan oleh Kementerian Pendidikan sejak tingkat SD hingga SMA.
“Mulai dari SD sudah ada pendidikan kewarganegaraan atau PKN. Apakah nanti tidak terjadi dualisme pembelajaran? Ada dari BPIP, sementara pemerintah sudah mengharuskan PKN dari SD sampai SMA,” katanya.
Lebih lanjut, La Tinro juga menyoroti rencana BPIP untuk membentuk perwakilan di setiap provinsi sesuai kebutuhan. Ia mempertanyakan bagaimana fungsi lembaga tersebut akan berinteraksi dengan kurikulum nasional yang telah berjalan, termasuk potensi tumpang tindih peran antara pemerintah daerah, Kemendikbud, dan BPIP.
Selain itu, ia mengkritik ketentuan mengenai monitoring dan evaluasi dalam Pasal 12. Menurutnya, jika hanya mengandalkan mekanisme tersebut, sulit untuk mengetahui tingkat keberhasilan pembinaan ideologi Pancasila. Ia mengingatkan bahwa sebelumnya terdapat survei per provinsi untuk mengukur pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai Pancasila.
“Monitoring evaluasi saja belum tentu menggambarkan keberhasilan BPIP. Yang lalu saya ingat ada survei per provinsi untuk mengetahui daya nalar dan kemampuan masyarakat memahami BPIP,” jelasnya.
Di akhir keterangannya, ia berharap agar catatan dan koreksi tersebut menjadi perhatian tim perumus agar RUU BPIP memiliki keselarasan dengan kebijakan nasional dan tidak menimbulkan tumpang tindih dengan aturan pendidikan maupun kelembagaan yang sudah berlaku.