Lamhot Sinaga: Krakatau Steel Perlu Diinvestigasi

JAKARTA – Indonesia telah mempunyai industri besi baja terpadu, yaitu Krakatau Steel (KS). Namun seluruh bahan baku besi Krakatau Steel masih memiliki ketergantungan impor. Padahal potensi biji besi yang dimiliki Indonesia sangat besar.
Hal tersebut mengakibatkan Indonesia kehilangan kesempatan memperoleh nilai tambah dari penjualan bijih besi, kehilangan kesempatan kerja, dan kehilangan devisa negara. Apabila pengolahan bijih besi di dalam negeri segera bisa direalisasikan, diperkirakan usaha penambangan biji besi di Indonesia memiliki prospek yang cukup baik, karena selama ini permintaan biji besi di dalam negeri masih dipasok dari bijih besi impor.
Krakatau Steel yang berpuluh puluh tahun selalu mengimpor biji besi sebagai bahan baku, padahal pada tahun 2008 Krakatau Steel telah membangun industri pengolahan bijih besi di Kalimatan Selatan. Industri ini tadinya akan memproses biji besi menjadi baja kasar dan besi spons.
Sedang untuk peleburannya akan dilakukan di pabrik Krakatau Steel, Cilegon dan diharapkan bisa menjadi industri baja terpadu yang dapat memproduksi baja dari hulu sampai hilir.
Tujuan pendirian industri besi baja ini adalah mengembangkan potensi nasional dalam rangka “Pengembangan Industri Besi Baja Berbasis Sumber Daya Lokal”, untuk mengurangi ketergantungan Importasi Krakatau Steel terhadap bahan bakunya. Namun disayangkan pabrik besi baja tersebut mangkrak sampai sekarang, padahal investasinya sangat luar biasa besar
Hal itu disampaikan Lamhot Sinaga dalam rapat dengar pendapat Komisi VII DPR RI dengan Dirjen Minerba Kementerian ESDM dan Dirjen ILMATE Kemenperin pada 28/09/21 yang membahas tentang Hilirisasi Minerba.
Lamhot menyoroti besarnya kebutuhan baja nasional menjadi alasan untuk mendorong Perbaikan Industri Hulu Baja karena industri hilir cenderung lajunya lebih cepat dari hulunya.
“Ini agar pertumbuhan komsumsi domestik dapat mendorong peningkatan produksi dan utilisasi kapasitas maka upaya Pengendalian Impor dan Peningkatan Daya Saing perlu untuk terus dilakukan,” kata Lamhot.
Berdasarkan data BPS 2020 bahwa tahun 2020 konsumsi baja untuk penggunaan konstruksi masih tumbuh terdorong oleh percepatan infrastruktur tahun 2020, konsumsi baja untuk penggunaan umum dan manufaktur memang menurun sebagai dampak dari pandemi Covid-19.
Lamhot menyampaikan, konsumsi Produk Baja dipengaruhi oleh Pertumbuhan Sektor Ekonomi dan Kebijakan Pemerintah. Konsumsi baja nasional tahun 2020 telah terkontraksi 5,3% menjadi 15,1 juta ton. Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi di tahun 2021 mencapai 5% dan terjadi pemulihan sektor-sektor ekonomi khususnya di sektor konstruksi, infrastruktur dan otomotif, maka konsumsi baja nasional di tahun 2021 diproyeksikan dapat tumbuh sekitar 4.0% menjadi 15,7 juta ton.
Namun Lamhot mengatakan, adanya brutal fact bahwa Krakatau Steel (KS) puluhan tahun mengimport bijih besi, sehingga tidak kompetitif dalam produknya.
“Kita tahu bahwa produksi bijih besi di Kalimantan Selatan tidak jalan sampai saat ini, logika saya, tidak mungkin dong KS membangun produksi bijih besi kalau gradenya tidak masuk spek,” jelas politisi asal Dapil Sumatera Utara II ini.
“Kalaupun grade-nya tidak masuk harusnya memanfaatkan teknologi apalagi dengan nilai investasi yang sangat besar, tetapi kok masih mangkrak, saya mendorong dilakukan investigasi”, ulang Lamhot.
Kenapa KS lebih memilih mengimport bahan baku dari negara lain dan sudah berlangsung puluhan tahun. Sehingga Lamhot mempertanyakan keberlanjutan industri bijih besi yang di Kalimantan Selatan.
“Apakah ini harus dibiarkan mangkrak atau bagaimana pimpinan? Saya menyarankan ini tidak boleh dibiarkan, bahkan jika perlu diadakan investigasi terhadap masalah ini, pembiaran ini adalah bentuk kenyamanan Krakatau Steel terhadap impor bahan bakunya secara terus menerus, bahkan jika diusut lebih lanjut tidak menutup kemungkinan adanya praktek kartel dalam importasi bahan baku. Ini yang sesegera mungkin kita harus lakukan investigasi untuk mengurai indikasi perilaku koruptif seperti yang diindikasikan oleh Menteri BUMN Erick Tohir melalui pernyataannya baru-baru ini diberbagai media,” jelasnya.
“Ada apa dibalik kecenderungan KS untuk melakukan impor lagi dan impor lagi malah meminta perlindungan terhadap impor HRC dengan biaya masuk anti dumping (BMAD)s, padahal Indonesia memilki kandungan bijih besi yang sangat besar. Mata rantai ini harus dibenahi, karena semakin kuat industri baja suatu negara, maka negara tersebut akan semakin kuat,” ujar Lamhot mengakhiri. (Kris)