Lemahnya Kekuatan Politik Umat Islam di Indonesia

 Lemahnya Kekuatan Politik Umat Islam di Indonesia

Saya bukan hendak bermaksud merespon banyaknya yang terkait latar belakang Non Muslim yang menempati jabatan menentukan di Republik ini. Selain Kapolri, kini muncul lagi yang membuat perhatian massa umat Islam tidak habis pikir.

Baiklah lupakan soal itu. Sebab hal itu merupakan akibat dari kekalahan dan ketidaklihaian umat Islam–tepaynya, elit-elit politik umat Islam–dalam menggelar format. Masih kalah dengan anak-anak muda 1928.

***

Umat Islam di Indonesia, belumlah dapat dikatakan kuat dan efektif. Selain karena terpecah belah secara agenda, kelembagaan politik, figur-figur, pandangan politik, prioritas politik, dan bahasa politik, juga realitasnya memang satu sama lain, malahan saling melemahkan, kalau bukan saling bersaing. Alhasil, fungsi umat Islam hanya sekedar pelengkap dan penambah warna saja.

Sebabnya adalah egoisme pribadi figur-figur pimpinannya dan juga dominannya kalkulasi nominal dan representasi figural. Politik umat Islam hanya memandang ukuran keberhasilan manakala figurnya terserap dalam jabatan-jabatan politik, bukan diukur sejauh mana agenda bersama umat Islam terakomodasi dan dijalankan secara terjamin.

Amat disayangkan, cara pandang politik nominal dan representasi figural masih saja menjadi ukuran praksis politik di Indonesia. Ramainya partai-partai yang mendaku perpanjangan aspirasi dan kepentingan massa Islam, bila ditilik masih saja berangkat dari kalkulasi di atas. Malahan yang parah, secara oportunis memamg menargetkan ceruk suara nominal umat Islam yang sudah terfragmentasi sedimikian rupa, meski tinggal sedikit namun tetap diteruskan, hanya oleh dorongan kalkulasi “bisnis politik” dan “perebutan pasar suara”.

Para pemain politik yang menyasar suara umat Islam ini masih saja dengan tega memanfaatkan sentimen keagamaan karena berbiaya murah. Mereka melupakan bahwa sebenarnya, sejak kemerdekaan dan negara sudah berdiri, sebagian besar massa umat Islam masih saja terseok-seok, tersisih dan terpinggir di bandingkan umat Katolik, Konghucu, Kristen, Budha bahkan Hindu.

Jebakan bahasa politik nominal dan sharing power ini, telah membuat massa umat Islam terjebak dalam ketertinggalan dan hanya mengangkat kemakmuran segelintir pemain politik saja.

Saat ini, bahasa politik dan isu kampanye politik sudah harusnya ditukar dari bahasa sentimen agama kepada bahasa dan isu objektif yang ditanggung dan menjerat umat Islam: yaitu bagaimana melepaskan umat Islam dari kemiskinan dan ketidakterdidikan.

Isu ini harusnya dapat digaungkan karena selain perintah agama, juga memang perintah konstitusi. Dan isu ini, akan membuat peta politik berbasiskan persaingan aliran dan agama di Indonesia, menjadi surut dan otomatis akan mengubah peta elit di Indonesia yang terekrut berdasarkan afiliasi dan afinitas keagamaan.

Ini semacam taktik mengubah VUCA yang diformatkan dalam konstruksi politik nasional seperti yang berjalan selama ini.

Mengenai VUCA ini, diuraikan dengan inspiratif oleh Hendrajit dalam menganalisa arti Sumpah Pemuda 1928 dalam menaklukkan format kolonialisme. Sebaiknya Anda dapat simak penjelasannya.

“Sumpah Pemuda Okober 1928 sejatinya merupakan prakarsa anak anak muda usia mileneal antara 21-24 tahun, dalam membangun fondasi berdirinya negara bangsa yang yang berbasis aneka ragam suku bangsa, agama dan bahasa.

Hasil kongres berupa IKRAR PEMUDA, bukti nyata para pemuda kita bukan saja kritis tapi inovatif dan kreatif. Mampu melawan skema penjajahan, tidak secara fisik, tapi lewat kekuatan gagasan. Sehingga mampu melawan dengan melancarkan kontra skema pada kolonialisme dan imperialisme Belanda.

Selain itu jangan lupa, pada usia2 milenial, para pemrakarsa Sumpah Pemuda Oktober 1928 berhasil membalas VUCA dengan VUCA. Apa itu VUCA? Nanti, sabar, akan saya jelaskan setahap demi setahap.

Dalam menjalankan politik devide et impera atau pecah belah, Belanda kalau istilah jaman sekarang melancarkan VUCA. Volotality, kekacauan dan ketidakteraturan. Uncertanty , ketidakpastian. Complexity, kerumitan dan keruwetan. Serta Ambiguity. Ambiguitas, sikap mendua, keragu-raguan. Bahkan kemunafikan.

Namun para pemuda yang memprakarsai kpngres pemuda di Kramat Raya 106 seperti Sugondo Joyopuspito, M Yamin dan Amir Syarifudin, cukup cerdas dan kaya imajinasi dalam membalas VUCA dengan VUCA juga. Ternyata, VUCA versi para pemuda itu nggak kalah ampuh juga.

Volatality sebagai kekacauan dibalas dengan VISION.VISI. Uncertainty sebagai ketidakpastian dibalas dengan CLARITY Kejelasan. Kompleksitas dijawab dengan UNDERDTANDING. Pemahaman. Ambiguitas dijawab dengan AGILITY. Kelincahan sikap, pemikiran dan tindakan.

Hikmah Sumpah Pemuda buat para mahasiswa dan pemuda sekarang. Untuk menjadi kekuatan sejarah yang menggerakkan perubahan tatanan yang tidak adil, harus berpedoman pada KIK.Kreatif, Inovatif, baru kemudian Kritis.

Apa persisnya VUCA versi pemuda buat membalas politik adu domba Belanda?

Kami Putra Putri Indonesia, bertanah air satu, tanah air Indonesia

Kami Putra Putri Indonesia, berbangsa satu, bangsa Indonesia

Kami Putra Putri Indonesia, berbahasa satu, bahasa Indonesia.

Hebat kan. Tanpa demo turun ke jalan, cukup berkongres di sebuah gedung asrama mahasiswa di Jakarta, VUCA versi pemuda , 17 tahun kemudian jadi kenyataan. Indonesia merdeka 17 Agustus 1945”

Jadi, memainstreamkan isu pelepasan massa umat Islam dari kemiskinan yang telah menjelma menjadi ikatan perbudakan, merupakan cara terbaik melawan VUCA sehingga lebih jelas dan sistematis.

~ Bang SED

Facebook Comments Box