LUDAH BUKAN UNTUK MELUDAHI: Alarm Keras bagi Etika Publik

 LUDAH BUKAN UNTUK MELUDAHI: Alarm Keras bagi Etika Publik

Oleh: Munawir Kamaluddin, Guru Besar UIN Alauddin, Makassar / Direktur LAPSENUSA (Lembaga Advokasi dan Pengembangan Sosial dan Ekonomi Nusantara)

Peristiwa yang belakangan viral seorang dosen berstatus ASN yang melakukan tindakan meludah kepada seorang kasir wanita, telah mengguncang ruang kesadaran publik dan merendahkan martabat kemanusiaan.

Bukan semata karena aktor pelakunya, melainkan karena simbol moral yang ia wakili. Dosen bukan sekadar profesi administratif atau pengajar materi akademik, melainkan figur etik, cermin adab, dan representasi nilai intelektual yang seharusnya meneduhkan ruang sosial dan meberi taladan yang terpiji.

Ketika tindakan yang lahir justru melukai martabat sesama, publik seakan diingatkan bahwa krisis terbesar bangsa ini bukan hanya soal ekonomi atau politik, tetapi krisis etika dan adab publik.

Dunia kampus, sebagai ruang pembibitan nilai peradaban dan cermin keperibadian etis tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab moral ini.

Kampus bukan hanya pusat transfer ilmu, melainkan tempat pembentukan karakter, kehalusan nurani, dan kedewasaan sikap.

Karena itu, ketika satu tindakan menyimpang muncul dari dalamnya, ia bukan sekadar kesalahan personal, tetapi menjadi alarm keras agar dunia akademik kembali melakukan refleksi kolektif, tanpa perlu saling menyalahkan, apalagi menjatuhkan institusi.

Islam sejak awal menempatkan adab di atas ilmu. Ilmu tanpa adab hanya melahirkan kecerdasan yang kering dari kemanusiaan.

Allah SWT. menegaskan bahwa kemuliaan manusia bukan diukur dari status sosial, jabatan, atau gelar akademik, melainkan dari kualitas takwa dan akhlaknya:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.”(QS. Al-Hujurat: 13)

Tindakan meludahi sesama manusia, apa pun latar belakangnya, bertentangan secara frontal dengan prinsip Islam tentang penghormatan terhadap martabat manusia.

Islam memandang setiap manusia sebagai makhluk mulia, bahkan sebelum ia dinilai dari keimanannya:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ
“Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam.”(QS. Al-Isra’: 70)

Nabi Muhammad SAW. menampilkan teladan etika publik yang begitu tinggi. Beliau tidak hanya mengajarkan kebenaran, tetapi menghadirkannya dengan kelembutan, kesantunan, dan penghormatan terhadap sesama, bahkan kepada mereka yang berbeda keyakinan atau bersikap kasar.

Dalam sebuah hadits ditegaskan:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad)

Meludah, dalam perspektif Islam, bukan sekadar tindakan fisik, tetapi simbol penghinaan. Bahkan terhadap benda suci sekalipun, Nabi SAW. menegaskan larangan meludah sembarangan, apalagi kepada manusia:
الْبُزَاقُ فِي الْمَسْجِدِ خَطِيئَةٌ
“Meludah di masjid adalah sebuah dosa.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Jika terhadap ruang ibadah saja dilarang, maka terhadap sesama manusia yang dimuliakan Allah, larangan itu tentu jauh lebih tegas secara moral dan spiritual.

Para sahabat Nabi SAW. memahami bahwa akhlak adalah mahkota keimanan. Umar bin Khattab RA. pernah berkata:
لَيْسَ الرَّجُلُ بِكَثْرَةِ صِيَامِهِ وَلَا صَلَاتِهِ، وَلَكِنْ بِصِدْقِ حَدِيثِهِ وَأَدَاءِ أَمَانَتِهِ وَوَرَعِهِ
“Seseorang tidak diukur dari banyaknya puasa dan shalatnya, tetapi dari kejujuran ucapannya, amanahnya, dan kehati-hatiannya dalam bersikap.”

Ulama besar Imam Malik bahkan menegaskan:
تَعَلَّمِ الْأَدَبَ قَبْلَ أَنْ تَتَعَلَّمَ الْعِلْمَ
“Pelajarilah adab sebelum engkau mempelajari ilmu.”

Kasus ini, jika dibaca dengan jernih dan dewasa, seharusnya tidak menjadi panggung hujatan atau perburuan kesalahan, tetapi momentum taubat sosial, kesadaran kolektif bahwa etika publik harus ditegakkan kembali.

Kampus, negara, dan masyarakat perlu berjalan seiring untuk memastikan bahwa jabatan dan status tidak menggerus kerendahan hati, dan kecerdasan tidak melahirkan kesombongan.

Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin mengajarkan bahwa setiap interaksi dengan manusia adalah ladang ibadah. Melayani, menghormati, dan menjaga lisan serta sikap adalah jalan menuju ridha Allah.

Bahkan Rasulullah SAW. menegaskan:
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya.”(HR. Bukhari dan Muslim).

Jika lisan dan tindakan menjadi sumber luka, maka di situlah iman sedang diuji. Ludah sejatinya diciptakan sebagai mekanisme biologis, bukan instrumen penghinaan.

Ketika ia berubah menjadi simbol perendahan martabat, maka yang ternodai bukan hanya individu korban, tetapi nilai kemanusiaan itu sendiri.

Saudarku yang budiman, tulisan ini dimaksudkan bukan untuk mendiskriditkan seseorang atau sebuah institusi, melainkan menjadi media evaluasi diri, sekaligus bertujuan untk membuka mata nurani kita agar dapat menghadirkan kesadaran dan keseimbangan emosional agar lebih arif dalam merespon berbagai dinamika dalam interaksi sosial .

Karena itu sekali lagi uraian dan narasi ini datang menyapa pembaca diharapkan dapat menjadi cermin dan berimbas pada upaya untuk menyadarkan,mematangkan dan mengintrospeksi kepribadian seorang pendidik akan tugas yang mestinya dia lakonkan.

Sekali lagi bukan untuk menjatuhkan apalagi menghakimi, melainkan mengembalikan martabat etika publik di era yang sangat rentan terpeleset oleh turbulensi interaksi sosial yang pincang dan tidak manusiawi.

#Wallhu A’lam Bish-Shawab

Facebook Comments Box