Menurut Saya, Indonesia adalah Sistem Penindasan Paripurna

 Menurut Saya, Indonesia adalah Sistem Penindasan Paripurna

Dari peristiwa banjir besar di tiga provinsi ini, banyak selubung terbuka. Kedok propoganda yang begitu tebal selama ini, seperti nasionalisme, demokrasi, HAM, dst, tiba-tiba tersingkap. Pertanyaannya mengapa elit-elit penikmat Indonesia selama ini, yang tambang dana raksasanya dari menjual alam Indonesia, digerakkan oleh tenaga murah manusia Indonesia serta ratusan juta mulut yang siap selalu jadi pasar yang berguna memakan umpan apa saja yang mereka sodorkan, tiba-tiba hakikatnya terbongkar. Jubah mereka tersibak sehingga kelihatan tubuh telanjang mereka yang menjijikkan. Mereka tiada rasa empati sama sekali. Mereka berusaha mati-matian menyembunyikan kerakusan dan kejahatan mereka di pedalaman hutan-hutan yang mereka lahap dan telan tanah-tanahnya sampai kemudian banjir besar pun memusnahkan kehidupan.

Belum reda kemarahan rakyat atas tamaknya perusahaan-perusahaan perambah hutan untuk sawit, tiba-tiba berita menantang arus tanpa malu, perusahaan milik First Resource yang berkantor di Singapura mendapatkan kucuran uang dari BRI sebesar Rp4,84 Triliun. Ironis sekali, bank yang diset untuk menolong rakyat kecil ini, justru menyirami kesuburan perusahaan besar yang salah satu wilayah operasinya berada di Pardomuan Kecamatan Angkola Selatan yang terdampak banjir itu. Ini memang benar-benar tiran.

Baca: Banjir Bandang Terjang Kelurahan Pardomuan, Puluhan Rumah Warga Terendam – DIVISI HUMAS POLRI – Pengelola Informasi dan Dokumentasi Polri https://share.google/pN1iJT5uSayvnhGVt

Baca: ANJ Group . ANJAS KEMBANGKAN PAKAN IKAN ALTERNATIF RAMAH LINGKUNGAN DARI GULMA DAN LARVA https://share.google/7B7NuRExvIBOc4VhD

Baca: https://market.bisnis.com/read/20251221/192/1938469/emiten-sawit-austindo-anjt-raih-fasilitas-kredit-bri-rp484-triliun.

Kalau kita selami data-data gilanya praktik kediktatoran kapitalis ini, sampai 1.000 halamam buku pun tidak habis-habis untuk mengupas dan menampilkan data dan informasinya. Kesimpulannya jelas bahwa Indonesia telah dibajak oleh para penopang sistem kediktatoran kapitalis ini, sampai kita buta, antara Indonesia di atas konsep dan Indonesia yang sesungguhnya berjalan.

Indonesia ternyata sudah menjelma merupakan sistem penindasan yang paripurna. Ditutupi mata rakyat sedemikian rupa agar hakikat penindasan itu tak bisa disingkap atau tak berani diungkap. Mengungkap penindasan itu, dibelokkan menjadi anti nasionalisme dan melanggar hukum. Padahal nasionalisme sebagai suatu perasaaan bersama sebagai bangsa untuk dapat menikmati kemewahan dari adanya negara, tidak dirasakan kebanyakan dari mereka yang terdaftar sebagai penduduk Indonesia. Mereka miskin di dalam negara yang berlimpah harta. Harta hanya dinikmati oleh segelintir saja yang mendapatkan akses kekuasaan dan memiliki modal untuk menjual dan mengolah harta kekayaan negara.

*Asal Mulanya*

Sejak Orde Baru, dimulailah penindasan dengan selubung tema pembangunan itu. Di masa itulah sekelompok yang menguasai negara dan menguasai akses modal, bersekutu dan berbagi peran dan keuntungan untuk menguasai kekayaan alam Indonesia sebanyak-banyaknya, sesingkat-singkatnya, dengan memastikan bekerjanya sistem penindasan guna menjamin tujuan-tujuan luas dan jauh mereka.

Maka kontradiksi pun selalu menjadi genangan pertanyaan dari waktu ke waktu hingga hari ini. “Ini negara kekayaan alamnya luar biasa. Sumber daya penduduknya tidak kering. Tapi kenapa rakyatnya miskin?”

Ya memang kaya. Isi laut dan tanahnya, melimpah. Tapi dibuat sengaja dalam kondisi miskin, agar sebagian kecil yang berkuasa secara politik dan ekonomi, langgeng berada di puncak kekuasaan dan rakyat miskin tidak punya kekuatan dan kesempatan untuk pintar dan sejahtera. Hasil akhirnya, supaya sebagian besar rakyat itu, dari generasi ke generasi, menggantungkan hidup kepada pihak yang jumlahnya sedikit, kaya raya dan tidak terikat dengan hukum yang berlaku. Bahkan mereka rapat di Singapura, buang hajat di Indonesia, bercengkerama tentang aliran uang di Zurich, ngopi-ngopi di New York, lalu ketemu anak dan mitra di Hongkong.

Situasi yang dialami rakyat Indonesia ini bagaikan suatu kutukan. Tapi saya kira karena kita sendiri yang membiarkan tanpa suatu penolakan. Inilah situasi yang dihasilkan oleh sistem kediktatoran kapitalis–meminjam lagi istilah Milan Zafirovsi.

Yang namanya kediktatoran, tidak boleh didiamkan. Mendiamkannya merupakan kehinaan diri sebagai manusia. Cuma saja, selama ini, kita agak ambigu dan kurang mengerti bagaimana merumuskan keadaan penindasan yang ditimbulkan oleh sistem yang dibangun sejak Orde Baru ini.

Tidak akan pernah ada kemakmuran dinikmati semua rakyat selama kediktatoran kapitalis ini tetap berfungsi dan bekerja. Cita-cita itu hanya omong kosong. Mereka akan tetap mempertahankan bagaimana pun caranya agar kediktatoran kapitalis tetap langgeng dan mengatur jalannya permainan di Indonesia.

Itulah sebabnya mereka berusaha bagaimana banjir besar di Sumatera sedapat mungkin jangan sampai menggugat eksistensi mereka. Tidak tersingkap secara luas dan detail oleh pers luar negeri. Maka status kebencanaannya tidak boleh menjadi nasional. Tidak ada yang dihukum dari mereka atas kejahatan mereka yang menimbulkan bencana itu. Mereka tentu saling melindungi.

Dari situ kita paham, Indonesia aktual–bukan yang ada di teks UUD–, memang7 suatu sistem penindasan oleh kediktatoran kapitalis dengan mengerahkan segala lini dan sektor guna menopang berkuasanya elit-sedikit, sembari menindas dan memeras rakyat banyak sampai tiada lagi ruang untuk melawan dan melepaskan diri.

Bhre Wira, Observer Tatanan Indonesia

Facebook Comments Box