MERDEKA TANPA EGO: Jalan Lurus Menuju Persatuan

 MERDEKA TANPA EGO: Jalan Lurus Menuju Persatuan

Oleh: Munawir Kamaluddin, Guru Besar UIN Alauddin Makassar

Pernahkah kita bertanya kepada diri sendiri, apakah arti sebuah kemerdekaan, bila hati masih terpenjara oleh “aku” yang tak henti-hentinya merasa paling benar, paling berhak, dan paling utama?

Apakah bangsa ini sungguh-sungguh merdeka, bila anak-anaknya masih lebih sibuk memperjuangkan kursi dan kepentingan pribadi, dibanding menegakkan keadilan dan kemaslahatan bersama?

Apakah kemerdekaan tidak ternodai, bila gotong royong yang dahulu menjadi jantung bangsa kini tergantikan oleh individualisme yang membutakan hati?

Dan apakah kebebasan itu bukan sekadar ilusi, bila di balik kata “merdeka” kita masih diperbudak nafsu egoistis yang menafikan kepentingan umat?

Sesungguhnya kemerdekaan sejati bukanlah sekadar terbebas dari penjajahan fisik, melainkan terbebas dari perbudakan hawa nafsu dan ego diri. Allah SAW. telah mengingatkan dengan firman-Nya:
﴿ أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلٰهَهُ هَوٰىهُ ﴾
“Maka pernahkah engkau melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya?”
(QS. Al-Jatsiyah: 23)

Inilah penjara paling halus namun paling mematikan: ketika diri kita menjadi budak bagi ambisi pribadi, bukan hamba Allah yang sejati.

Maka, merdeka yang hakiki adalah ketika kita mampu menundukkan ego dan menyerahkan diri hanya kepada Allah, sembari memperjuangkan maslahat umat. Rasulullah SAW. bersabda:
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, melainkan orang yang mampu menahan dirinya ketika marah.”(HR. Bukhari dan Muslim)

Jika kekuatan sejati adalah kemampuan menundukkan ego dalam amarah, maka kemerdekaan sejati adalah kemampuan menundukkan ego dalam kehidupan sosial. Dengan memilih kata “kita” daripada “aku”, mengutamakan “kami” daripada “saya”.

Namun, betapa banyak orang terjebak dalam egosentrisme. Egosentris adalah saat seseorang mengukur dunia hanya dengan dirinya sendiri.

Ia melihat kehidupan dari kaca matanya semata, mendahulukan “saya” dibanding “kami”, menomorsatukan kepentingan pribadi meski merugikan banyak orang. Ali bin Abi Thalib RA pernah memperingatkan:
هَلَكَ النَّاسُ فِي اثْنَتَيْنِ: الخَوْفِ وَالطَّمَعِ
“Manusia hancur karena dua hal: rasa takut (berlebihan) dan keserakahan (egoisme).”
(Nahjul Balaghah)

Egosentris, pada hakikatnya, adalah wajah lain dari keserakahan batin.

Ia membutakan mata dari jeritan sesama, melahirkan perpecahan, dan menggerogoti fondasi bangsa.

Mengapa hal ini muncul? Pertama, karena merosotnya spiritualitas, manusia lupa bahwa hidup bukan untuk dirinya semata, melainkan untuk beribadah dan memberi manfaat. Allah berfirman:
﴿ وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ ﴾
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”
(QS. Adz-Dzariyat: 56)

Kedua, karena gelombang materialisme dan hedonisme yang membuat manusia sibuk mengejar kesenangan pribadi, harta, jabatan, dan popularitas, tanpa peduli pada keseimbangan sosial.

Ketiga, karena lemahnya kesadaran sosial: nilai ta’awun (tolong-menolong) dan gotong royong yang dahulu menjadi identitas bangsa perlahan memudar.

Ciri-ciri egosentris begitu nyata , diantaranya lidah yang lebih sering menyebut “aku” daripada “kita”, langkah yang hanya bergerak demi kepentingan pribadi meski menabrak banyak orang, telinga yang enggan mendengar kritik, hati yang merasa paling benar dan paling pantas, serta tangan yang enggan berkorban demi kepentingan bersama.

Namun Islam menawarkan jalan keluar. Solusinya adalah dengan kembali kepada Tauhid yang murni.

Menyadari bahwa semua adalah milik Allah, termasuk diri dan ego kita. Ego tidak berhak menjadi tuan atas diri ini. Selanjutnya, Islam menghidupkan nilai ukhuwah. Rasulullah SAW. bersabda:
المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضًا
“Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya bagaikan bangunan, yang satu menguatkan yang lain.”(HR. Bukhari dan Muslim)

Bangunan akan runtuh bila bata-batanya terlepas sendiri-sendiri.

Demikian pula umat dan bangsa, ia hanya akan kokoh bila tiap jiwa memilih untuk saling menopang, bukan saling menjatuhkan.

Umar bin Khattab RA menegaskan pentingnya produktivitas sosial dengan berkata:
إِنِّي لَأَكْرَهُ أَنْ أَرَى أَحَدَكُمْ سَبَهْلَلًا، لَا فِي عَمَلِ الدُّنْيَا وَلَا فِي عَمَلِ الْآخِرَةِ
“Aku benci melihat salah seorang dari kalian menganggur, tidak bekerja untuk dunia dan tidak pula untuk akhirat.”(HR. Ahmad)

Ini menegaskan bahwa seseorang yang hanya hidup untuk dirinya sendiri, tanpa kontribusi untuk dunia dan akhirat, adalah beban sosial.

Kemerdekaan menuntut tanggung jawab, bukan hanya hak, pengorbanan, bukan hanya kepentingan pribadi.

Untuk itu, hati mesti dididik dengan qana’ah dan zuhud. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menulis:
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ لَمْ يُهْلِكْهَا بِشَهَوَاتِهَا
“Barangsiapa mengenal dirinya, ia tidak akan membinasakannya dengan hawa nafsunya.”

Mengenal diri berarti mengenal batas, menundukkan ego, dan membebaskan jiwa dari ketamakan yang memperbudak.

Maka, merdeka sejati adalah ketika kita mampu berkata: “Aku bukanlah pusat segalanya, tapi ‘kita’ adalah kekuatan.

Saya bukanlah tujuan, tapi ‘kami’ adalah jalan peradaban.” Bangsa ini akan tegak dan kokoh bila anak-anaknya belajar menundukkan ego, membebaskan diri dari belenggu kepentingan pribadi, dan menghidupkan semangat kolektif yang menyatukan.

Karena kemerdekaan sejati adalah saat kita memilih bersama, bukan sendiri, memilih kebersamaan, bukan keangkuhan pribadi.

#Wallahu A’lam Bis-Sawab

Facebook Comments Box