Pakar Ingatkan Bahaya Efek Domino Kerusakan Hutan

 Pakar Ingatkan Bahaya Efek Domino Kerusakan Hutan

JAKARTA – Direktur Eksekutif Human Studies Institute (HSI), Rasminto mengingatkan bahwa kerusakan hutan memicu efek domino yang memperbesar risiko banjir dan tanah longsor, terutama ketika kerusakan terjadi di wilayah hulu dan daerah aliran sungai (DAS). Peringatan itu ia sampaikan dalam diskusi Green Diplomacy Network bertajuk “Quo Vadis Konstitusi dan Krisis Ekologis: Belajar dari Bencana Hidrometeorologi Sumatera”, Selasa (23/12/2025).

“Gelombang bencana hidrometeorologi berupa banjir besar dan tanah longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pada akhir November 2025, tidak bisa dilihat sebagai fenomena cuaca ekstrem semata, melainkan berkaitan dengan degradasi hutan, erosi DAS, dan konversi ruang alam tanpa mitigasi ekologis”, Katanya kapada wartawan (23/12/2025).

Rasminto menjelaskan bahwa skala kerusakan hutan di Sumatera bersifat signifikan. Ia menyoroti sekitar 1,4 juta hektare hutan di Sumatera hilang pada 2016–2025, yang terkait aktivitas industri dan izin yang masif. Deforestasi ini, lanjutnya, berdampak langsung pada hilangnya fungsi hidrologis hutan sebagai penyerap dan penahan air hujan.

“Ketika tutupan hutan menurun, air hujan yang semestinya diikat oleh tanah dan vegetasi lebih cepat berubah menjadi limpasan permukaan. Akibatnya, sungai menerima debit puncak lebih cepat dan lebih besar, sementara lereng-lereng tanah menjadi lebih rapuh karena terpapar erosi serta kejenuhan air”, tandasnya.

Rasminto juga menyoroti dampak sosial yang luas dari rangkaian bencana, dengan tercatat sudah 1.112 korban meninggal dan 176 orang masih hilang, disertai ratusan ribu warga mengungsi. Dampak bencana turut memicu kerusakan infrastruktur besar, ribuan rumah rusak, fasilitas sosial terganggu, hingga akses jalan terputus dan memukul aktivitas ekonomi di banyak kabupaten.

“Fakta-fakta tersebut menegaskan bahwa krisis ekologis bukan isu teknis sektoral, melainkan isu keselamatan publik yang memerlukan koreksi kebijakan lintas bidang”, tegasnya.

Rasminto mengapresiasi langkah pemerintah yang mengumumkan rencana pencabutan sekitar 20 izin PBPH seluas ±750.000 hektare, termasuk zona terdampak bencana di Sumatera. Apalagi, menurutnya, sebelumnya pemerintah telah mencabut 18 izin PBPH seluas ±526.144 hektare pada Februari 2025, serta terdapat rencana moratorium izin baru PBPH dan investigasi sumber material kayu yang terbawa banjir.

“Kita apresiasi langkah tegas pemerintah ini, namun langkah-langkah tersebut perlu dipastikan konsisten dan berdampak struktural, dengan disertai pembenahan tata kelola, audit risiko ekologis, serta penegakan hukum yang bisa mencegah kerusakan berulang,” ujarnya.

Rasminto kemudian menegaskan bahwa perlindungan lingkungan hidup harus diposisikan sebagai mandat dasar negara, merujuk pada arsitektur konstitusi yang mengafirmasi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta prinsip pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

“Bencana ini menguji seberapa serius konstitusi bekerja di lapangan, apakah instrumen hukum memaksa evaluasi izin di wilayah rawan bencana sebelum kerusakan menjadi sistemik, dan apakah mekanisme perlindungan lingkungan cukup kuat menghadapi tekanan ekonomi jangka pendek,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan adanya dinamika perang narasi yang kerap membonceng isu bencana dan penegakan hukum kawasan hutan. Menurutnya, ruang publik dapat dipenuhi disinformasi, framing selektif, hingga serangan karakter yang memperkeruh upaya pembenahan tata kelola lingkungan dan kehutanan.

“Perang narasi yang membonceng pada isu bencana ini perlu disikapi lebih bijak, sehingga tidak mereduksi substansi dari upaya serius negara dalam menanggulangi situasi krisis bencana alam ini”, pungkasnya.

Facebook Comments Box