Perimbangan dan Persaingan Ideologis di Indonesia

Belakangan ini ramai disorot meningkatnya dominasi golongan nasionalis-soekarnois dalam politik di Indonesia. Bahkan, mulai terlihat suatu gejala, meningkatnya peranan Megawati walaupun sebenarnya secara formal berada di luar pemerintahan. Yang paling menyita perhatian ialah patung-patung Soekarno berdiri banyak di tempat-tempat yang dahulu tidak pernah. Tujuannya ialah menyosialisasikan Soekarno kepada macam ragam komunitas dan publik. Hal ini tentunya dimugkinkan karena meningkatnya pengaruh golongan nasionalis-soekarnois.
Di Indonesia, seperti yang ditulis Soekarno, terdapat tiga arsiran atau belahan politik yang besar: yaitu nasionalis, marxis, dan islamis. Dari tiga belahan inilah sebenarnya pilar-pilar menuju Republik yang merdeka dari kekuasaan Belanda. Ketiganya bersaing, melembagakan diri dan mengambil segmen dan konsentrasi politiknya masing-masing. Sampai hari ini.
Setelah kemerdekaan, pesaing baru datang dari Angkatan Perang yang mendefinisikan diri tidak berada di antara ketiganya. Tetapi mengidentifikasi dirinya melampaui ketiga aliran tersebut berbasis pada identitas fungsional dirinya sebagai pengabdi pada negara. Kelak dikembangkan kesadaran politik tersebut sebagai Golongan Karya atau Golongan Profesi.
Sejak itu, bertambahlah dari tiga golongan politik yang sognifikan di Indonesia menjadi empat golongan: nasionalis, marxis, islamis dan fungsionalis.
Penggololangan ini sebenarnya untuk memudahkan kita saja untuk membaca peta besar politik ideologis di Indonesia. Sebetulnya keempat golongan ini tidak terpisah sama sekali. Ada irisan-irisan dan interkoneksi antar keempatnya. Misalnya, pada nasionalis semacam Soekarno nyata-nyata menggunakan dan menganut marxisme juga dalam analisa imperialisme, kolonialisme dan gejala ekonomi politik di Indonesia. Bahkan saya pernah membaca uraian M. Natsir, pemimpin Masyumi sebagai golongan islamis, tampaknya menggunakan metode marxis dalam menelaah problem historis kaum tani. Dan islamis seperti Natsir, tidak kurang nasionalisnya terkait Indonesia dibandingkan Soekarno. Terbukti, Natsirlah yang berhasil melancarkan siasat cerdik menggeser Indonesia dari Republik Serikat – Federal menjadi Republik Unitaris (Negara Kesatuan).
Hanya saja, tetap ada perbedaan tekanan, tendensi, prioritas (mengurut prioritas politik) dan cara melihat dan mereaksi berbasiskan ideologi antar masing-masing golongan tersebut. Misalnya, dalam menempatkan kedudukan Islam di arena negara, kedudukan kaum buruh, kaum bisnis dan investor, tentara dan kaum pribumi, sudah barang tentu terdapat perbedaan dengan argumentasinya masing-masing antar keempat golongan tersebut. Di artikel ini tak perlu lagi diulas hal tersebut. Akibatnya, dalam menyusun dan menentukan prioritas pembangunan dan haluan negara, keempat golongan tersebut musti berbeda kepentingan.
Pertama sekali yang menang dan berjaya menguasai Indonesia yaitu, golongan nasionalis yang diperankan langsung oleh Soekarno. Namun dalam perjalanan dinamika politik, terpaksa berubah. Untuk beberapa kali, Sjahrir sebagai seorang marxis non komunis, naik ke tampuk pemerintahan. Lalu Amir Sjarifuddin, seorang yang belakangan menjadi komunis. Secara tak berurut, Natsir pada 1950, juga naik. Ali Sastroamidjoyo, juga naik dari kalangan nasionalis yang dekat dengan golongan komunis.
Soekarno akhirnya mengambil alih negara pada 1959, setelah siklus pemerintahan menunjukkan ketidakstabilan. Mekanisme pemilu dan parlementer berhenti yang menutup jalan bagi kontestasi langsung antar aliran. Golongan komunis akhirnya mendapatkan ruang aktualisasi yang dijamin oleh Soekarno. Timbullah reaksi dari kalangan Angkatan Perang. Sebab Angkatan Perang mendefinisikan dirinya melampaui golongan-golongan politik. Lama kelamaan, Angkatan Perang berkembang menjadi pesaing paling kuat bagi Partai Komunis.
Yang ingin kita sampaikan ialah dalam setiap sesi persaingan kekuasaan sejak itu, golongan islamis karena sudah sudah tidak memiliki lembaga kepemimpinan politik seperti Masyumi, dengan mudah dimanfaatkan sebagai pemicu dan sekaligus didudukkan sebagai arena pertarungan kekuasaan. PPP memang sempat ada, tapi sebetulnya di bawah kontrol rezim militer Soeharto. Fungsi islamis ini, sebagai alat tekan dan perongrong bagi yang berkuasa, dan pasa saat yang sama, digunakan sebagai kambing hitam oleh penguasa untuk memukul mundur pesaing politik mereka.
Kasus bentrokan massa antar komunis dan massa Islam, menjadi sarana yang manis bagi suatu perebutan politik. Pada saat yang sama, memancing massa muslim untuk melalukan tindakan yang dikategorikan secara sepihak sebagai terorisme, dimanfaatkan sedemikian rupa sebagai tangga untuk meraih konsolidasi politik seperti yang terjadi selepas reformasi 1998.
Selain itu, yang perlu dicatat juga, giliran-giliran berkuasa di Indonesia, memperlihatkan kekalahan bagi golongan islamis. Ketika Megawati naik, maka kemudian yang berkuasa ialah SBY yang berasal dari Angkatan Darat. Ketika Jokowi naik, maka SBY praktis berada di luar arena, walaupun periode sekarang, masuk Prabowo dalam kabinet yang dipandang memiliki signifikansi politik selevel SBY.
Kemana golongan Islamis? Sudah mencair dan nyaris tidak berkutik lagi. Tapi harapan kita, jangan sampailah golongan islamis dimanipulasi dan dieksploitasi sekedar arena tarung antar nasionalis dan fungsionalis dalam memperebutkan kendali kekuasaan di Indonesia. Bagaimana caranya hal tersebut tidak terjadi, tergantung kewarasan dan komitmen moral para elit islamis di Indonesia.