Sampai Kapan Rakyat Kapok Jadi Ternak Para Penguasa?

Sesama rakyat saling tuding. Ada yang menuduh ternak mulyono. Maksud dari istilah ternak mulyono ialah, rakyat yang mendukung Jokowi dan membelanya. Tapi yang menuduh lupa bahwa dirinya juga sama lakon dan nasibnya. Dia tak lebih sebagai ternak prabowo.
Para penguasa di Indonesia tidak pernah berhenti mengaduk-aduk dan mengeksploitasi rakyat guna kelanggengan kekuasaan yang dinikmatinya. Ini bukan salah para penguasa semata. Tapi memang rakyat seolah mengundang para penguasa untuk mengeksploitasi mereka dengan sesukanya. Kenapa jadi bergitu? Karena rakyat betah dibodohi dan dieskploitasi. Seperti seorang masokis dalam sudut pandang psikologi.
Lihatlah misalnya kasus pesantren yang lagi disorot. Bukannya sadar bahwa mereka memang diperbudak, malah menyerang mereka yang hendak menyadarkan mereka. Tidak berhenti hanya itu. Para politisi bersahut-sahutan menggerakkan pengaruh negara untuk menghentikan upaya penyadaran terhadap perbudakan tersebut. Akhirnya, tayangan yang harusnya menjadi pemantik kesadaran tersebut, justru dikubur dan dibunuh. Atas nama apalah, atas nama itulah, tapi yang jelas mereka menolak sadar dari perbudakan. Apa tidak senang para penguasa dan politisi melihat keadaan yang empuk itu.
Kalau kita lihat fenomena bagaimana para penguasa meluncurkan instrumen-instrumen umpan manipulatif mereka, amatilah bagaimana pergeseran umpan dari Teddy ke Purbaya. Umpan itu digunakan dan dijejalkan ke mulut rakyat. Umpan itu diwarnai sedemikian menarik rupa agar enak ditelan rakyat lalu membius mereka.
Dulu umpan Teddy. Apa tujuannya waktu itu? Untuk menyihir mata rakyat bahwa citra Teddy yang gemoy dan cekatan itulah seolah citra pemerintahan baru Prabowo. Nyatanya hanya sekedar citra. Rakyat tak kunjung bisa menikmati hidup yang sejahtera, kecuali sedikit yang menjadi golongan dalam Prabowo.
Selesai masanya umpan Teddy. Sekarang dsulap lagi jadi-jadian umpan Purbaya. Media bertugas memasarkan umpan baru ini supaya ditelan rakyat hingga lupa masalah hidup mereka yang tak kunjung usai.
Umpan baru ini dimunculkan seolah sebagai juru solusi, peretas jalan buntu dan pendobrak kejenuhan. Ya…itu mengkonfirmasi pemerintahan Prabowo tidak ada solusi bagi rakyat, jalan buntu dan jenuh. Kehadiran sulap Purbaya hanya manipulasi mata publik saja.
Pertama, begitu dirinya diluncurkan ke jalanan, dia menggelontorkan 200 triliun untuk hanya sekedar geser parkiran uang. Sekarang mana efeknya bagi rakyat kecil.
Lalu dia katanya tidak mau bayar utang Woosh kee China. Tapi dia mau kucurkan uang negara buat beli pesawat-pesawat tempur dan kapal perang dari China juga. Bagi China yah tidak apa-apa kalian Indonesia jadwal ulang utang Wooshh, kalau kalian tetap setorkan uang besar ke China melalui cara lain, beli persenjataan dari China. Terserah kalian tipu rakyat kalian. Yang penting uang kalian tetap mengalir ke kami. Dan posisi kalian tetap rapat dan tak berubah posisi dari apa yang kami harapkan. Apa sih artinya utang Woosh jika kalian beli peralatan perang dari kami yang jauh lebih strategis dan berdampak jangka panjang secara politik dan ekonomi. Begitu sudut pandang China.
Jadi rezim ini mencoba menipu rakyat dengan mencitrakan diri mengurangi ketergantungan pada China melalui isu utang Woosh, tapi ketika mereka memborong pesawat tempur dan kapal dari China, citra tipuan itu tersingkap.
Para penguasa akan selalu menipu dan mengeksploitasi rakyat karena rakyat memang sudah kecanduan masokis ditipu dan dianiaya oleh para penguasa.
Hal ini memang berakar pada perkara sejarah. Rakyat Indonesia ini, terdiri dari berbagai golongan sejak pra penjajahan, masa penjajahan hingga masa sekarang setelah sudah bikin negara merdeka.
Ada golongan bangsawan. Golongan inilah yang merasa dirinya ditakdirkan boleh berbuat apa saja terhadap rakyatnya. Rakyat dipandangnya sekedar perkakas bagi dirinya. Para elit, politisi hingga penguasa, mewarisi sifat mental ini.
Kemudian ada golongan rakyat. Golongan rakyat ini di masa pra dan era penjajahan, banyak yang jadi budak. Bukan orang merdeka. Mereka dilelang dan diperjualbelikan. Dioper ke sana ke mari, oleh kumpeni dan pedagang timur asing. Sampai sekarang pun efeknya masih terasa dalam bentuk yang sedikit halus, yaitu kegiatan eksplor TKI dan human traficking. Karena memang secara mental, terwarisi sejak dahulu kala. Dan golongan inilah yang menikmati dirinya dipermainkan dan dieksploitasi saban pemilu. Merekalah dimobilisir hanya dengan lembaran uang transport dan nasi bungkus. Mereka mudah dipermak pendapat dan emosinya. Apalagi dengan menggunakan sentimen budaya dan keyakinan mereka. Pendidikan yang diselenggarakan, alih-alih mengikis mentalitas perbudakan dan pembodohan tersebut, justru melestarikannya agar bisa senantiasa dipanen oleh para penguasa dan politisi-politisi yang jahat.
Begitulah keadaan negeri ini. Lalu sampai kapan rakyat kapok diperbudak? Sampai kiamat barangkali. Apakah tidak ada jalan keluar? Ada. Kalau kesadaran bahwa memang adanya perbudakan sistematis melalui pendidikan, sistem sosial, praktik hukum, sistem ekonomi dan sistem politik, diakui lalu kemudian diperangi oleh kalangan terdidik.
*~ Bung Koesan*