Sarifuddin Sudding Apresiasi Panjangnya Perjalanan Karir Agustinus sebagai Hakim, Mulai dari Pengadilan Tingkat Pertama hingga ad hoc di Mahkamah Agung

JAKARTA – Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PAN Sarifuddin Sudding mengapresiasi panjangnya perjalanan karir Agustinus sebagai hakim, mulai dari pengadilan tingkat pertama hingga ad hoc di Mahkamah Agung. Namun, ia menekankan bahwa peran hakim agung berbeda secara mendasar dibanding hakim di pengadilan bawah.
Hal itu disampaikan saat Komisi III DPR RI melanjutkan agenda fit and proper test calon hakim agung dan hakim ad hoc HAM Mahkamah Agung (MA) tahun 2025. Salah satu kandidat yang diuji adalah Agustinus Purnomo Hadi, yang kini mencalonkan diri sebagai hakim agung kamar militer.
“Kalau di Mahkamah Agung itu judex juris, sementara di tingkat bawah judex factie. Tentunya ketika seorang hakim agung menerapkan hukum untuk memberikan rasa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, dibutuhkan penalaran hukum yang sangat tinggi,” ujar Sudding di Gedung Nusantara II, DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (10/9/2025).
Judex juris adalah istilah hukum dari bahasa Latin yang merujuk pada hakim atau pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutus perkara berdasarkan penerapan hukum, bukan berdasarkan fakta-fakta dalam kasus tersebut.
Sedangkan, Judex facti adalah kewenangan suatu badan peradilan untuk memeriksa dan mengadili fakta-fakta suatu perkara, serta menguji bukti-bukti yang ada dalam suatu perkara di tingkat pertama atau tingkat banding, seperti Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi.
Ia lalu menyinggung persoalan kekosongan hukum yang kerap terjadi dalam praktik. Menurutnya, hakim agung perlu memiliki terobosan dalam menjawab persoalan hukum tersebut. “Ketika ada kekosongan hukum, tentu ada beberapa langkah yang bisa saudara lakukan, misalnya melalui rechstplending untuk memberikan keputusan yang adil, bermanfaat, sekaligus pasti. Bagaimana pandangan Saudara terkait hal ini?” tanya Sudding.
Selain itu, ia juga mengangkat isu penggunaan saksi mahkota atau justice collaborator dalam kasus pidana. Menurutnya, terdapat persoalan etis maupun yuridis apabila putusan hanya bertumpu pada keterangan saksi tersebut. “Ketika hanya mengandalkan justice collaborator, apakah ini bisa diterima, mengingat ada asas unus testis nullus testis, satu saksi bukanlah saksi? Bagaimana pandangan Saudara jika hal ini terjadi dalam satu perkara?” lanjutnya.