SERIGALA BERBULU DOMBA: Pura-Pura Baik Namun Menyimpan Niat Busuk

Oleh: Munawir Kamaluddin, Guru Besar UIN Alauddin Makassar
Saudaraku yang budiman, mari kita duduk sejenak… lalu tutup mata kita berlahan….Biarkan seluruh hiruk-pikuk dunia agak reda dan berangsur lepas.
Kemudian tanyakan pada diri dengan jujur tanpa alasan pembelaan ataupun uoaya menghindar.
Pernakah kita tersenyum manis di hadapan manusia, sementara hati kita merancang sesuatu yang menjerat mereka?
Pernahkah lisan kita menempuh kata-kata lembut untuk menutup niat yang miak-miak?
Bila seluruh lembar akuntansi hidup kita dibentangkan di hadapan langit, adakah satu baris pun yang kita tuliskan dengan niat yang bersih?
Bila diberi kuasa, kita akan menjadikannya jembatan kebaikan atau panggung untuk kepentingan diri yang berbalut kebaikan?
Jika jawabannya membuat kita terhenyak, maka suara itu adalah undangan: undangan untuk menoleh, bermuhasabah, dan kembali kepada jalan yang terang.
*Fenomena serigala berbulu domba*
Serigala berbulu domba bukan sekadar idiom; ia adalah fenomena batin dan sosial, manusia yang memilih topeng kebaikan untuk menutup niat licik.
Di permukaan mereka menampakkan kelembutan, kesopanan, atau kelemahlembutan; di balik itu mereka menyimpan rencana yang merugikan, penipuan, manipulasi, pengkhianatan amanah, atau persekongkolan untuk meraih keuntungan pribadi atas nama kebaikan bersama.
Dalam ranah profesional, sosial, dan keagamaan, bayang-bayang mereka mematikan kepercayaan, menumpulkan rasa aman, dan merenggut martabat kaum yang tertipu.
Kitab Suci menyingkap sisi ini dengan bahasa yang tajam, Allah menggambarkan sebagian manusia yang berpura-pura beriman namun batinnya tidak sejalan. Dalam firman-Nya:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ ۖ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا ۖ وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ
“Di antara manusia ada orang yang mengatakan, ‘Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian,’ padahal mereka bukan orang-orang beriman; mereka hendak menipu Allah dan orang-orang beriman, padahal mereka hanya menipu diri sendiri sedang mereka tidak sadar.” (QS. al-Baqarah: 8–9)
Ayat ini bukan sekadar teori; ia adalah cermin bagi komunitas yang perlu membedakan antara tampilan dan kenyataan.
*Mengapa serigala itu ada?*
Dari aspek analisis psikologis dan sosiologis menjelaskan bahwa, niat busuk jarang lahir dari ketiadaan penyebab.
Ada lapisan-lapisan yang melahirkan kebohongan berbalut kebaikan,
ketakutan kehilangan posisi, haus akan pengaruh, rasa cukup yang luntur, tekanan budaya yang menormalisasi kebohongan, dan sistem yang memberi insentif pada celah moral.
Kadang ia lahir dari luka masa lalu, dendam yang disembunyikan, kadang dari strategi bertahan hidup dalam birokrasi yang keras.
Di ranah sosial, ketika akhlak dipandang sebagai beban dan hasil domestik dihitung dari angka lalu, tak heran bila tipu daya bercokol.
Dalam kacamata Islam, akarnya adalah kerapuhan iman, hati yang tak lagi merasa diawasi Rabb, mulut yang lupa bahwa setiap kata tercatat, dan tangan yang lupa bahwa amanah itu titipan Ilahi.
*Ciri-ciri yang paling sering tampak*
bukan untuk menuduh, tetapi untuk mengenal dan mencegah
Serigala berbulu domba biasanya halus langkahnya.
Mereka lihai menyamarkan niat, dengan ucapan penuh simpati, aksi tampak benevolent, namun keputusan-keputusan penting menyingkap motif.
Ada tanda-tanda halus, inkonsistensi antara kata dan perbuatan, kebiasaan menunda atau mengaburkan informasi, keengganan pada transparansi; defensif berlebihan bila ditanya; dan ketika diberi kepercayaan, kecenderungan untuk menjadikan kepercayaan itu ladang keuntungan pribadi.
Nabi SAW. memberi kita petunjuk moral yang lugas tentang tanda orang munafik, dengan 3 indikator paling menonjol :
إِنَّ مِنْ أَشْرَارِكُمُ الْمُنَافِقِينَ مَن إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا أُؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda orang munafik ada tiga: apabila berbicara ia berdusta; apabila berjanji, ia mengingkari; dan apabila dipercaya, ia mengkhianati.” (HR. al-Bukhârî dan Muslim)
Hadits ini bukan sekadar celaan; ia juga alat deteksi moral,peringatan agar komunitas berhati-hati dan individu mengecek dirinya.
Dampaknya: ketika topeng menjadi penyakit kolektif
Kerusakan yang ditimbulkan serigala berbulu domba tidak hanya personal, ia meresap ke jaringan sosial.
Kepercayaan yang hancur membuat institusi rapuh, solidaritas tergerus, dan hukum moral menjadi mainan.
Ketika amanah diselewengkan di puncak, mereka yang di dasar tercekik, pelayanan publik menurun, sumber daya disalurkan pada yang salah, dan harapan akan keadilan pun memudar.
Lebih daripada itu, ada dampak spiritual: komunitas kehilangan rasa malu (haya’), mertautkan agama dengan kepentingan sempit, dan generasi muda belajar bahwa kepura-puraan lebih menguntungkan daripada ketulusan.
*Jalan pulang dan solusi berdasarkan moral dan etika Islam*
Islam menawarkan jalan yang holistik, dengan memperbaiki hati, memperkuat institusi, dan membangun budaya jujur.
Pertama, perbaikan pribadi: tazkiyat al-nafs (pembersihan jiwa) melalui muhasabah (menghitung diri), muraqabah (rasa diawasi Allah), taubat (pertobatan sungguh-sungguh), dan istiqamah pada adab. Umar bin al-Khattâb mengingatkan:
حاسبوا أنفسكم قبل أن تُحاسَبوا
“Hitunglah dirimu sebelum kamu dihitung.”
Muhasabah seperti ini menumbuhkan takut yang sehat pada hisab Ilahi sehingga kata-kata manis tidak lagi menjadi sarana menutup dosa.
Kedua, penguatan komunitas: pendidikan akhlak yang menanamkan nilai integritas sejak dini, budaya tabayyun (meneliti) dalam menerima kabar atau usulan, dan keberanian sosial untuk menegur bila ada yang menyimpang.
Allah memerintahkan umat-Nya untuk meneliti berita sebelum tersebar:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا
“Wahai orang-orang beriman! Jika datang kepadamu seorang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (QS. al-Hujurât: 6)
Ketiga, reformasi struktural: transparansi, akuntabilitas, mekanisme audit independen, rotasi jabatan, perlindungan bagi pelapor pelanggaran(whistleblowers), dan sistem yang memperkecil celah bagi permainan moral.
Di samping itu, tata nilai kepemimpinan perlu ditinjau: pemimpin adalah teladan, bukan sekadar perencana.
Keempat, penegakan etika bisnis dan muamalah: hadits Rasul SAW. menegaskan kebencian pada kecurangan:
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa menipu kami, maka ia bukan termasuk golongan kami.” (HR. Muslim)
Jadi, praktik yang menipu, baik dalam jual-beli, pengelolaan dana, atau administrasi publik, harus ditolak tegas oleh komunitas beriman.
*Kesadaran estetika moral*
mencegah topeng menjadi norma
Sastra spiritual Islam mengajarkan bahwa keindahan batin mengalahkan gemerlap luar.
Kata-kata suci para ulama menjadi cahaya penunjuk, Imam al-Ghazali mengingatkan akan bahayanya lidah yang tak terjaga, dan Imam Ali menekankan pentingnya mengenal diri sebelum mengenal Tuhan:
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ
“Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia telah mengenal Rabbnya.”
Mengenal diri membuka ruang muhasabah dan kemudian tekad untuk menggugah integritas.
*panggilan kembali, dari topeng kepada wajah sejati*
Serigala berbulu domba menebar luka, namun luka itu dapat disembuhkan bila kita memilih jujur sebagai praktik harian.
Jujur tidak selalu nyaman; ia menuntut keberanian, merobek topeng, dan menerima risiko kehilangan pencitraan.
Namun dari keberanian itulah tumbuh kepercayaan yang tahan lama, lembaga yang sehat, dan masyarakat yang bermartabat.
Marilah kita mulai dengan langkah kecil namun pasti: mengaudit hati, menegakkan tabayyun, mendidik generasi tentang integritas, membangun sistem yang menolak tipu daya, dan berdoa agar Allah menyelamatkan kita dari kezaliman batin. Seperti doa yang sederhana namun dalam:
اللَّهُمَّ طَهِّرْ قُلُوبَنَا مِنَ النِّفَاقِ، وَاجْعَلْ أَعْمَالَنَا صَادِقَةً وَلِوَاجِهِكَ، وَاحْفَظْ أَمَانَاتِنَا مِنَ التَّلَوُّثِ
“Ya Allah, sucikanlah hati kami dari kemunafikan; jadikanlah amal kami tulus karena-Mu; lindungilah amanah kami dari pencemaran.”
Wahai sahabat, bila hari ini engkau menemukan sedikit keretakan dalam hatimu, ketahuilah itu nikmat, sebab keretakan itu menandakan pintu masih terbuka untuk masuknya cahaya.
Jangan menunggu hujan penyesalan, basuhlah hati dengan taubat, perbaiki ucapan, benahi amal, dan biarkan wajah sejati kita bersinar tanpa topeng.
اللَّهُمَّ اجْعَلْ وَجْهَنَا كَمَا قُلُوبَنَا، وَقُلُوبَنَا كَمَا تُحِبُّ، وَنَقِّنَا مِنْ نِفَاقٍ وَخِدَاعٍ وَخِيَانَةٍ، وَاحْفَظْنَا مِنْ كُلِّ ذِئْبٍ فِي جِلْدِ حَمَلٍ.
“Ya Allah, jadikanlah wajah kami seperti hati kami, dan hati kami seperti yang Engkau cintai. Bersihkan kami dari kemunafikan, tipu daya, dan pengkhianatan. Lindungilah kami dari setiap serigala yang berkulit domba.”
#Wallahu A’lam Bis-Sawab