I Nyoman Parta: Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Daerah Tuai Konflik

 I Nyoman Parta: Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Daerah Tuai Konflik

JAKARTA – Kapoksi Badan Legislasi DPR RI Fraksi PDI Perjuangan I Nyoman Parta, SH angkat suara terkait polemik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan Pemilu Nasional dan Daerah. Bagi I Nyoman, putusan itu banyak hal yang bertentangan dengan UUD 1945 dan wajar menjadi polemik di tengah masyarakat.

I Nyoman menyebutkan, dalam UUD 45 Pasal 22E dinyatakan: “(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.”

“(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”

Sementara Putusan MK No: 135/PUU-XXII/2024: “Pemungutan suara diselenggarakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden diselenggarakan secara serentak untuk memilih anggota DPRD Provinsi, Anggota DPRD Kabupaten/Kota, Gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota.”

I Nyoman menjelaskan, jika Pemilu DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan pada tahun 2029 berarti frasa dua tahun atau paling lama dua tahu enam bulan dari 2029 adalah 2031.

“MK memang tidak menyebut angka tujuh tahun, namun dengan pemilu 2029 sudah dipisah dan hanya berlaku pemilu Nasional, maka jabatan DPRD harusnya berakhir 2029. Namun karena Pemilu untuk DPRD tidak dilakukan lalu bagaimana cara mengisi kekosongan itu? Karena pemilu daerah baru dilaksanakan dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan kemudian ?,” kata I Nyoman pada wartawan beberapa waktu lalu.

“Mungkinkah jabatan DPRD dikosongkan? tentu tidak, namun jika diparpanjang lagi dua tahun atau paling lama lagi dua tahun enam bulan, maka jabatan DPRD menjadi tujuh tahun tanpa ada melalui mekanisme pemilu dan inilah yang berpotensi bertentangan dengan Pasal 22E UUD 1945,” sambungnya.

Lebih lanjut, I Nyoman menegaskan, konflik Norma berikutnya sifat dari keputusan MK bersifat Final dan mengikat, Jika keputusan MK harus dilaksanakan, karena sifatnya itu walaupun bagaimanapun kontroversialnya bahkan ada yang menyebut inkonstitusional sekalipun, namun harus dilaksanakan. Seperti contoh putusan syarat umur calon Wakil Presiden yg memuluskan pencalonan Gibran, tetap dilaksanakan.

“Sesuai pasal 24C UUD 45 ayat 1, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang­undang terhadap Undang­ – Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang­ Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum,” jelasnya.

“Frasa menguji UU terhadap UUD yang dimaksud adalah MK menguji jika ada UU yang bertentangan dengan UUD bukan malah membuat keputusan yang berpotensi bertentangan dengan UUD.”

“Masalahnya jika MK melebihi kewenangannya belum ada mekanisme untuk mengoreksi keputusannya. Padahal dalam sumpah/janji hakim MK adalah “memegang teguh UUD NRI 1945”

 

Facebook Comments Box