RESHUFFLE EFFECT: Rekonsiliasi Politik atau Sekadar Tambal Sulam Kekuasaan?

Oleh: Munawir Kamaluddin, Guru Besar UIN Alaudin Makassar
Bangsa ini kembali berada di persimpangan sejarah. Seperti kapal yang diterpa badai, ia berlayar di tengah gelombang besar amarah rakyat.
Semuanya bermula dari sebuah tragedi, seorang pengemudi ojek online yang gugur dalam unjuk rasa.
Ia bukan pejabat, bukan tokoh besar, hanya rakyat kecil yang berjuang di jalanan demi sesuap nasi. Namun wafatnya ia menjadi percikan yang menyulut lautan api.
Apa yang semula hanya tuntutan sederhana atas keadilan berubah menjadi gelombang protes besar.
Jalanan menjadi medan, spanduk menjadi senjata, teriakan rakyat menggema menembus tembok kekuasaan.
Lalu api benar-benar menyala, bakar-membakar, pecah-pecahan, hingga penjarahan. Kota-kota mendidih oleh frustrasi yang tak lagi bisa disembunyikan.
Dan dari jalanan itu, suara rakyat menjalar ke istana. Kursi kekuasaan bergetar, kabinet pun diguncang. Maka lahirlah kabinet baru *Rusaffele.*
Namun pertanyaan besar pun menggantung di udara, apakah pergantian menteri ini hanya sekadar kosmetik politik? Ataukah benar-benar awal dari pemulihan bangsa?
Mungkinkah wajah-wajah baru di kabinet ini mampu memadamkan bara di jalanan dan menumbuhkan kembali harapan rakyat? Atau sebaliknya, ini hanyalah jeda sesaat sebelum badai yang lebih besar menghantam kita?
*Api di Jalanan, Guncangan di Kabinet*
Sejarah bangsa-bangsa menunjukkan bahwa kerusuhan sosial tidak lahir dari ruang hampa. Ia bukan muncul tiba-tiba, melainkan buah dari luka yang lama diabaikan.
Rakyat tidak serta-merta turun ke jalan hanya karena satu kejadian. Ia adalah akumulasi dari kesenjangan, ketidakadilan, dan rasa dipinggirkan.
Ketika harga kebutuhan pokok melambung tanpa kendali, ketika lapangan kerja menyempit, ketika kesenjangan antara elit dan rakyat jelata makin menganga, maka kemarahan menjadi keniscayaan.
Seorang pengemudi ojol yang meninggal hanyalah satu simbol, tetapi simbol itu mengandung jerit panjang jutaan rakyat kecil yang merasa diabaikan. Al-Qur’an mengingatkan kita dengan tegas:
وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ
“Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.” (QS. Asy-Syu’ara: 183)
Ayat ini tidak hanya bicara tentang transaksi dagang, tetapi juga tentang kebijakan negara.
Merampas hak rakyat, membiarkan mereka menderita sementara elit hidup mewah, adalah bentuk perampasan yang nyata.
Dan ketika rakyat kehilangan haknya, kerusakan sosial pun tak terhindarkan.
Api yang menyala di jalanan bukan sekadar kobaran bensin dan ban bekas, tetapi api nurani rakyat yang selama ini terinjak.
*Rusaffele Kabinet Solusi atau Ilusi?*
Pergantian menteri seringkali dijual sebagai obat mujarab. Ia disebut sebagai “reshuffle” yang membawa harapan.
Namun mari kita renungkan bersama, apakah benar sekadar mengganti orang mampu menyembuhkan luka yang dalam?
Bukankah akar masalah kita adalah korupsi yang merajalela, sistem ekonomi yang timpang, dan kesenjangan sosial yang terus melebar?
Bukankah yang merusak bukan hanya siapa yang duduk di kursi, tetapi budaya kekuasaan yang lebih mementingkan elit daripada rakyat?
Jika demikian, bukankah kabinet Rusaffele berisiko hanya menjadi ilusi pemulihan? Hiasan baru di rumah tua yang nyaris roboh?
Rasulullah SAW. pernah bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari-Muslim)
Kepemimpinan adalah amanah. Ia bukan sekadar tentang siapa yang duduk, melainkan bagaimana mereka menjalankan tanggung jawab.
Kabinet Rusaffele baru akan bermakna jika para menterinya sadar bahwa mereka kelak akan ditanya, bukan hanya oleh rakyat, tetapi juga oleh Allah di hari akhir.
*Ekonomi di Ujung Tanduk, Politik di Simpang Jalan*
Hari ini, ekonomi bangsa berada di ujung tanduk. Harga-harga terus naik, pengangguran menghantui, daya beli rakyat menurun drastis.
Bagi sebagian rakyat, hidup sehari-hari adalah perjuangan untuk sekadar bertahan.
Di sisi lain, politik pun rapuh. Rakyat kehilangan kepercayaan, sementara elit sibuk berebut kursi dan kekuasaan.
Politik kita kehilangan ruh pengabdian, berubah menjadi arena transaksi kepentingan.
Apa jadinya bangsa jika ekonomi hancur dan politik tak lagi dipercaya?
Sayyidina Umar bin Khattab RA pernah berkata:
إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ، وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَامٍ، وَلَا إِمَامَ إِلَّا بِطَاعَةٍ
“Tidak ada Islam tanpa jamaah, tidak ada jamaah tanpa pemimpin, dan tidak ada pemimpin tanpa ketaatan.”
Namun, ketaatan rakyat hanya mungkin lahir jika pemimpin menunjukkan teladan.
Bagaimana rakyat bisa percaya jika mereka merasa dikhianati? Bagaimana rakyat bisa taat jika mereka merasa dipermainkan?
Inilah inti dari krisis kita hari ini, krisis moralitas kepemimpinan.
Namun tidak cukup kita menyalahkan realitas yang terjadi, melainkan luka ini adalah sakit kita bersama.
Dan karena itu, kita harus berpikir , bertindak dan bergerak secara kolektif, bersinergi dan saling memotivasi serta saling memperbaiki tanpa menimbulkan gesekan yang menimbulkan luka baru, apalagi lebih fatal dari luka sebelumnya.
*Menegakkan Keadilan dan Amanah sebagai langkah solusif*
Sejarah Islam memberi teladan, bangsa bisa bangkit bukan hanya karena kekuatan senjata atau pembangunan fisik, tetapi karena kepemimpinan yang adil dan amanah.
Lihatlah bagaimana Rasulullah SAW. membangun Madinah. Ia menata masyarakat bukan dengan janji kosong, tetapi dengan keadilan nyata, dengan amanah yang ditegakkan.Allah SWT berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, maka hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.” (QS. An-Nisa: 58)
Ayat ini adalah kunci. Pemimpin sejati adalah yang menegakkan amanah dan keadilan.
Tanpa itu, reshuffle hanyalah permainan kursi. Namun sebaliknya, reshuffle akan menjadi awal kebangkitan jika dijadikan sebagai momentum perubahan dan restorasi menata bangsa yang lebih adil , berkomitmen dan bermartabat.
*Krisis Kepercayaan atau Krisis Kepemimpinan?*
Pergantian menteri dalam kabinet Rusaffele adalah momentum penting. Tetapi apakah ia akan menjadi pintu pemulihan atau sekadar ilusi, semua bergantung pada sejauh mana pemimpin berani menegakkan keadilan.
Pertanyaan terakhir yang seharusnya mengguncang nurani kita, Apakah kita ingin dikenang sebagai bangsa yang gagal menjaga amanah rakyat karena sibuk dengan kepentingan elit, ataukah sebagai bangsa yang mampu bangkit dari bara amarah rakyat menuju bangsa yang adil, bermartabat, dan diridai Allah?
Sejarah sedang menulis kita. Rusaffele hanyalah salah satu bab. Akankah bab ini menjadi catatan panjang dari kegagalan dan kejatuhan, atau titik balik kebangkitan dan keberkahan?
Itu semua bergantung pada moralitas kepemimpinan hari ini dan suppor positif dari seleruh elemen bangsa.
Namun kita harus tetap optimis karena masih banyak pemimpin kita yang memiliki nurani dan integritas tinggi untuk mendermakan baktinya bangkit dan membangun negeri kita yang kaya akan aneka potensi.
Optimisme juga adalah bahagian dari doa. Karenanya kita memberi kesempatan kepada pemimpin kita hari ini untuk menjawab dan meyakinkan rakyat bahwa Indonesia emas bukan hal yang utopis melainkan kenyataan yang akan kita raih dengan niat tulus dan spirit nasionalisme memberikan yang terbaik untuk rakyat dan persada ini.
Tentu semuanya berpulang dari spirit kebersamaan semangat altruisme yang tak boleh padam didada semau elemen bangsa.
#Wallahu A’lam Bis-Sawab