Hikayat Seorang Anak Guru Pembawa Perubahan (Bagian I)

 Hikayat Seorang Anak Guru Pembawa Perubahan (Bagian I)

Jakarta, Lintasparlemen.com – Alkisah tentang seorang anak guru yang cerdas dan berani namun konyol. kisah hidupnya yang sejak kecil menjadi yatim piatu membuatnya dirinya tangguh bagai mental baja. kisah seorang anak yang sangat senang membaca, membawanya kepuncak ilmu pengetahuan yang tak tertandingi.

Dia adalah Rizal Ramli. Dia pengagum Albert Eistein, kerutan keningnya, rambutnya yang ikal dan lekukan pipinya hampir mirip dengan fisikawan yang dikenal dengan teori relativitasnya itu. Tercermin dari ruangan di rumahnya, mulai dari ruang tamu, ruang kerja hingga ruangan di atas yang dipenuhi berbagai buku, baik buku bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.

Kekagumannya pada Einstein sudah ia miliki sejak kecil, bahkan dirinya mengatakan ingin seperti idolanya itu. Berbagai buku, poster hingga patung kecil yang berbau Einstein ia miliki. Dia bermimpi seperti ilmuwan terbesar abad 20 itu.

Sejak berusia enam tahun, Ia sudah terpaksa pindah ke rumah neneknya, Ny. Rahmah, di Bogor, Jawa Barat.

Diusia 3 tahun, Rizal Ramli ternyata sudah bisa membaca. hal ini dikarenakan setiap saat ibunya mengajari dan membimbingnya mengenal huruf-huruf. “Ibu saya adalah seorang guru, jadi beliau mudah mengajari saya untuk cepat membaca. Dan bagi saya, pandai membaca adalah modal utama untuk bisa lebih baik,” kenang Rizal Ramli

Rizal Ramli menamatkan sekolah dasar hingga SMA di kota Bogor, Jawa Barat. Dirumah neneknya Ia tinggal bersama empat belas orang yakni kakak-kakak dan sepupu-sepupunya. Tak hanya itu, kebiasaanya Rizal Ramli adalah menemani sang nenek belaja ke pasar.

Di lingkungan sekitarnya, nenek Rahmah dipandang sebagai tokoh perempuan yang tak mudah menyerah dan giat menjalankan usahanya. “Waktu itu punya usaha industri ayam negeri, ayam petelur ataupun ayam broiler, ayam potong. Semua cucunya membantu nenek, meski hasilnya tidak seberapa, namun lumayan masih bisa makan, dan bisa membiayai hidup,” ujarnya

Karena kegemarannya membaca sangat tinggi, yang pada masa itu jumlah buku di Bogor juga masih terbatas, dia pun saat masih duduk di bangku SMA menulis surat ke luar negeri agar bisa mendapatkan bantuan buku lebih banyak. Buku-buku yang dia dapat pun dimasukkan ke dalam perpustakaan Pemda Bogor.

Setelah berhasil lulus SMA, Rizal kemudian mendaftar di Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan Fisika. Namun saat mendaftar mengaku telah bertekad jika tidak diterima di ITB, maka dirinya tak ingin memaksakan diri untuk kuliah di tempat lain. Sebab, selain karena dirinya sudah yatim piatu, Rizal juga tak ingin membebani neneknya yang sudah memeliharanya sejak kecil hingga bisa menyelesaikan SD, SMP dan SMA.

Alhasil, Dia dinyatakan diterima sebagai mahasiswa di ITB. “Saya hampir putus asa, karena jujur, nenek saya sangat sulit membiayai saya lagi untuk kuliah. Tetapi saya sudah bekerja sebagai mandor percetakan di Kebayoran,” katanya.

Penderitaan dan perjuangan tak sampai disitu, selama bekerja, Rizal mengaku setiap hari-hari harus serba berhemat dan mengencangkan ikat pinggang. “Makan pun saya harus ngirit, hingga berhasil ngumpulin uang, saya pergi ke Bandung untuk membayar uang muka dan biaya kuliah. Saya memang menabung, tetapi sebagian harus dipakai untuk makan, setelah enam bulan uang saya habis, untuk makan saja nggak bisa. Akhirnya sempat enam bulan saya tidak mengikuti kuliah,” kenangnya.

Meski dalam keadaan yang serba sulit itu, Rizal Ramli mendapat pertolongan dari teman-temannya. Tetapi lama kelamaan dirinya merasa malu juga. “Waktu itu saya berpikir, lebih baik saya berhenti kuliah sajalah..,”.

Bahkan, disaat dirinya telah hampir memilih untuk tidak lagi melanjutkan kuliah, pikiran ‘bisnis’ nya spontan bergerak. “Tiba-tiba saya sadar, kenapa saya nggak jadi penerjemah saja, Bahasa Inggris saya kan lumayan bagus,” ujarnya.

Kebetulan, ketika itu di Bandung banyak dosen dan mahasiswa yang berhubungan dengan tugas-tugas artikel ilmiah dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia atau sebaliknya dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris.

Ia mengaku mengawali profesinya sebagai penerjemah terbilang susah, sebab butuh sekitar 2 jam untuk 1 halaman. Namun karena telah terbiasa, akhirnya bisa cepat, yakni 10 menit saja untuk satu halaman.

“Ketika makin banyak pesanan yang minta diterjemahkan, saya pun mengajak teman sesama orang miskin sebagai partner. Saya yang membacakannya, dan dia yang mengetik. Dan saat itu waktu bisa saya tekan menjadi lebih cepat, yakni tujuh menit satu halaman,” katanya seraya menambahkan, bahwa bekerja sebagai penerjemah hanya dilakukannya usai Jumatan hingga Sabtu sore.

Ketika itu nama Rizal Ramli tiba-tiba menjadi populer karena bisa melanjutkan kuliah dan membiayai hidupnya secara mandiri melalui profesinya sebagai penerjemah. “Saya sangat bersyukur karena Tuhan selalu memberikan jalan kepada saya untuk maju, dan tidak mudah menyerah terhadap kondisi yang sesulit apapun,” katanya.

Selain sebagai penerjemah, Dia juga membuka jasa sekolah koresponden bagi anak-anak orang asing, karena ketika itu di Bandung belum ada sekolah internasional. RR melihat peluang orang-orang asing banyak yang bingung untuk menyekolahkan anak-anak mereka.

Karena tidak ada pilihan, katanya, akhirnya mereka pakai sekolah koresponden. Misalnya, bahan-bahan ujian dikirim dari Amerika, kemudian hasilnya dikirim lagi ke Amerika. Permasalahan yang mereka hadapi adalah hanya membutuhkan tenaga tutor yang bisa mengajar.

“Akhirnya saya organisir beberapa teman untuk mengajari anak-anak bule itu mengenai matematika, science dan sejarah. Saat itu kami dibayar mahal dalam dolar. Sehingga ketika itu kami mampu membiayai kuliah dan bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” ujarnya sambil menambahkan bahwa seluruh perjalanan hidupnya ia lalui dengan sangat berat dan tidak mudah.

Terutama sekali secara psikologis RR mengaku sering merasa tidak diperhitungkan oleh teman-teman lainnya karena statusnya sebagai anak yatim-piatu. Mereka terjamin, makan, minum dan kebutuhan lainnya bisa dipenuhi dengan tidak begitu susah karena berasal dari keluarga berada dan punya orangtua yang bisa menolongnya.

Itulah pula yang membuat RR kadang amat sedih ketika kembali mengingat mendiang kedua orangtuanya, terutama di saat lebaran tiba. Namun Rizal ramli mengaku buru-buru menarik nafas dan menegarkan hatinya agar tidak larut dalam kesedihan, sebab ia sadar bahwa perjalanan hidupnya masih panjang dan masih dibutuhkan oleh orang banyak.

Bersambung………

Facebook Comments Box